Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bagi Eni, Encep Tetap Si 'Bageur'

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENGAH malam yang dingin, lama lampau. Ending Isamuddin terjaga dari nyenyaknya. Di dipan sederhana yang sama, Eni Maryani tergolek amat lelap. Sang istri tampak amat keletihan mengurus keluarga besar mereka. Dengan berjingkat, guru sekolah dasar di Cianjur, Jawa Barat, ini turun untuk melakukan salat malam. Dalam doanya, ia memohon kepada Tuhan agar ke-12 anaknya—termasuk Encep Nurjaman—terhindar dari bahaya. Tapi, sekitar 20 tahun kemudian, panggang menjauh dari api. Si anak kesayangan justru berkumbah bahaya. Bahkan lelaki kelahiran Kampung Pamokolan, Desa Sukamanah, Karang Tengah, Cianjur, ini gencar diincar aparat keamanan karena diduga sebagai pengatur serangkaian aksi teror di Asia Tenggara dan Amerika Serikat. Di Indonesia saja, kata polisi, ia disangka menjadi dalang 41 peledakan bom dalam kurun 2000-2003. Juga dikenal sebagai Hambali alias Riduan Isamuddin, nama lelaki 39 tahun ini melambung setelah dianggap sebagai pentolan Jamaah Islamiyah, satu jaringan teroris Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin. Di depan ribuan prajuritnya di pangkalan militer Miramar, dekat San Diego, California, dua pekan lalu, Presiden AS George W. Bush memakinya sebagai "pembunuh". Polisi Australia (menurut berita terakhir) berhasil mencokok Hambali—saat ia memakai paspor Spanyol dengan nama "Daniel"—bersama istrinya, 11 Agustus lalu. Itu terjadi di Apartemen Boonyarak, Ayutthaya, sekitar 80 kilometer di utara Bangkok. Ia diserahkan ke AS, tapi istrinya, Noralwizah Lee (aslinya: Lee Yin Yen), warga Malaysia, dibalikkan ke kampungnya buat diinterogasi. Keluarga Encep anteng saja diterpa tuduhan gawat itu. "Dia pahlawan bagi umat muslim, pejuang Islam, bukan teroris," ujar Khan Khan. Rumah orang tuanya di Pamokolan pun ramai. "Ada yang jadi tukang bakso atau tukang sol sepatu," kata adik keenam Hambali ini tentang para intel yang datang menyamar. Calon orang kedua "paling berbahaya" di dunia setelah Usamah itu dibesarkan orang tuanya dari gaji pegawai negeri sipil dan tangkapan ikan di empang belakang rumah mereka. Prestasi sekolahnya biasa saja, baik di Madrasah Ibtidaiyah (SD) dan Madrasah Tsanawiyah (SMP) Manrul Huda maupun di SMA Islam Al I'anah—kini SMU Al-Azhary. Bagi para teman sekampungnya, Encep anak biasa. "Sikapnya wajar-wajar saja," ujar Muhammad Ridwan, bekas adik kelasnya. Tapi, soal beribadah, Hambali terbilang tekun. Soalnya, mungkin, dalam diri si pendiam mengalir darah K.H. Mubarok, ulama kondang di Cianjur dan pendiri pondok pesantren yang kini bernama Manarul Huda. Menginjak usia 20 tahun, tulang punggung keluarga ini merantau ke Malaysia. Di sana, sambil berdagang batik, Hambali berdakwah keliling dan aktif berdiskusi. Ia menikahi wanita setempat dan tinggal di desa. Kabarnya, ia sempat bertetangga dengan Abu Bakar Ba'asyir—yang disebut-sebut sebagai amir (pemimpin) Jamaah Islamiyah. Belakangan Hambali dinobatkan menjadi wakil Ba'asyir di organisasi yang ingin mendirikan negara Islam regional itu. Encep lalu ke Afganistan, selama tiga tahun, buat berjihad mengusir tentara Uni Soviet. Balik ke Malaysia, 1990, ia kembali aktif berdakwah sambil mengumbar pengalaman berperang dan pertemuannya dengan Usamah, tokoh yang paling dicari Amerika. Bisnis jual-beli batik membuat dia bolak-balik Malaysia-Cianjur. Namun polisi Indonesia mulai memburu Hambali karena "bisnis" yang lain. Tapi ia bergegas hengkang dan tak kembali sejak serangkaian peledakan bom malam Natal di sejumlah kota Indonesia pada tahun 2000. Enam bulan bertahan di Malaysia, ia kabur ke Pakistan, lalu ke Thailand. Awal 2002, Hambali kembali mengacak-acak Asia Tenggara, termasuk merencanakan pengeboman Bali. Merasa Thailand tak lagi aman, Hambali lari ke Kampong Champ di Kamboja Selatan. Di sini justru lebih berbahaya dan itu membuatnya buru-buru balik ke Thailand dan ngumpet di komunitas muslim Thai di Pattani, pertengahan 2002. Ibunda Hambali, Nyonya Eni, 63 tahun, hanya bisa menghela napas panjang mendengar tudingan bahwa si Encep gembong teroris. Namun ia belum yakin benar bahwa lelaki mirip Encep dalam tayangan di televisi adalah anaknya yang dulu rajin membantunya menimba air sumur. Ia berkata lirih, "Naha eta siga si Encep, tapi mani gendut jeung jembrosan sagala, nya" ("Lo, itu kayak si Encep, tapi kok gendut dan bercambang segala, ya"). Apa pun kata orang, si anak kedua tetap si bageur (anak baik) bagi Nyonya Eni. Yang paling ia harapkan kini, sosok yang muncul di media cetak dan elektronik itu bukanlah si Encep.... Jobpie Sugiharto dan Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus