Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Desainer Bom yang Paling Dicari

Polisi mencurigai keterlibatan Hambali dalam pengeboman Marriott. Beberapa temuan menguatkan tudingan itu.

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMBALI masuk pelubang, siapa yang riang mendengar kabar ini? Ada. Dia Iqbaluzaman. Lelaki 39 tahun berkulit putih, berbadan pendek itu berdiri di antara barisan narapidana blok barat Penjara Sukamiskin, Bandung. Siang 17 Agustus itu, dalam rangkaian peringatan Hari Kemerdekaan, tubuh Iqbaluzaman tampak lebih gemuk daripada saat ditangkap polisi, Januari lalu. Tapi lihatlah matanya yang berbinar-binar, dan senyumnya yang terus mengembang di wajahnya.

Senyum itu bukan saja karena ia baru mendapat keringanan hukuman (remisi) tiga bulan. Guru mengaji para narapidana itu juga mendapat kabar baik. Orang yang menjebloskannya ke penjara—ya, Hambali itu—tertangkap di Thailand.

"Saya sangat gembira mendengarnya. Sebab, satu-satunya harapan yang bisa mengungkap siapa sebetulnya dalang dan para pelaku peledakan bom ada pada Hambali," kata bekas pedagang gula merah di Pasar Kiara Condong, Bandung itu. Iqbal boleh berharap, namun jangan terlalu jauh. Soalnya, sampai akhir pekan ini polisi Indonesia belum beroleh izin memeriksa Hambali, yang kini dalam pitingan Amerika.

"Polisi masih menunggu upaya pemerintah," kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Inspektur Jenderal Erwin Mappaseng, Kamis pekan lalu. Hari-hari ini, para perwira Mabes Polri lagi bekerja keras, mencari bukti keterlibatan Hambali alias Encep Nurjaman, dalam aksi pengeboman paling anyar di Jakarta, Hotel JW Marriott, 5 Agustus lalu.

Tudingan keterkaitan bom Marriott dengan Hambali, menurut Erwin, berasal dari pengakuan Li Li. Warga Malaysia yang orang dekat Hambali ini ditangkap lebih dulu oleh operasi gabungan polisi Thailand dengan agen intel Amerika, CIA, di Ayutthaya, Thailand utara. Menurut Erwin, dalam pemeriksaan Li mengaku telah mentransfer uang ke sebuah bank di Indonesia.

Ke bank mana dan siapa penerima di Jakarta, polisi tak mau menyebutnya. Erwin hanya mengatakan, "Polisi masih menyelidiki." Namun polisi menduga duit Hambali US$ 45 ribu, atau sekitar Rp 380 juta, diterima Nordin M. Top. Menurut beberapa tersangka bom Marriott yang sudah ditangkap, Nordin berpangkat komandan lapangan peledakan bom di hotel mewah itu. Ia dan Dr. Azahari, menurut polisi, pernah menginap di rumah Asmar Latin Sani di Bengkulu. Asmar, menurut keterangan polisi, ikut tewas bersama bom bawaannya di depan Restoran Syailendra Hotel Marriott, Mega Kuningan, Jakarta.

Walaupun yakin bahan yang dipakai melumatkan Marriott adalah sisa bom Natal dari kelompok Tony Togar di Pekanbaru, polisi tak mau meremehkan transfer uang Li Li. Dan, jika benar Hambali terlibat pengeboman yang memakan 12 korban tewas itu, inilah aksi brutal Hambali terakhir, yang sekaligus memperpanjang daftar karier terornya di Indonesia.

Memang, pada awal penyilidikan peledakan Marriott, polisi menduga bom itu berasal dari kelompok Mustofa, Semarang. Namun bukan tidak mungkin Hambali masih terkait dengan bahan bom yang hampir dua ton itu. Apalagi Mustofa dan Hambali termasuk angkatan pertama relawan mujahidin Indonesia ke Afganistan. Mereka bersama Zulkarnaen alias Daud, Panglima Perang Asyakari Jamaah Islamiyah, yang juga buron bom Bali.

Nama Hambali pertama muncul dalam aksi peledakan pada malam Natal 24 Desember 2000. Lebih jelas lagi setelah terjadi ledakan tidak sengaja di bengkel milik Haji Atjeng, di Jalan Terusan Jakarta, Antapani, Bandung. Bom ini menewaskan perakitnya, Jabir. Dia orang kepercayaan Hambali sekaligus operator semua peledakan di Jawa Barat pada malam kudus itu.

Menurut Iqbal, melalui Jabirlah ia pertama kali mengenal Hambali. Perkenalan berlanjut dengan dua kali pertemuan di Bandung. Dalam pertemuan pertama di Cicadas, Hambali mengaku bernama Umar, pedagang batik dari Malaysia. Ia menemui Iqbal untuk meminta bantuannya mencarikan istri, karena ia tahu Iqbal memiliki banyak santri wanita.

Pertemuan berlanjut, seminggu sebelum ledakan, di Hotel Rinjani. Saat itu Hambali memberikan 25 ribu ringgit ke Jabir. Uang itu, katanya, adalah hibah untuk perjuangan kaum muslim dari seorang perempuan Malaysia. "Namun saya tidak tahu, untuk apa uang itu digunakan oleh Jabir," kata Iqbal.

Selain dari "nyanyian" Iqbal, polisi juga punya bukti kuat sepak terjang lelaki asal Cianjur itu dari telepon genggam Jabir. Bukti-bukti inilah yang dibawa polisi untuk mengejar Hambali ke Malaysia.

Ternyata, cerita Hambali dari Negeri Jiran lebih seru, terutama seperti dikisahkan para pesakitan Malaysia dan Singapura. Dua negeri ini sejak pertengahan 2001 getol menangkap kelompok Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM) dengan perangkat Internal Security Act (ISA)—semacam undang-undang antisubversi.

Salah satu yang ditahan pemerintah Goh Chok Thong adalah Faiz bin Abu Bakar Bafana, warga negara Malaysia. Kepada polisi Jakarta yang ikut memeriksa kontraktor dari Amfy Trading itu, Hambali mengaku sangat terpukul dengan kematian Jabir. "Di depan Faiz, Hambali menangis saat menceritakan Jabir," ujar seorang perwira polisi.

Dari para tahanan itu pula, polisi mulai mengetahui lebih dalam sepak terjang anak guru agama asal Desa Sukamanah, Cianjur itu. Hambali ternyata berwilayah "kerja" melintasi banyak negara di Asia. Dialah Ketua Mantiqi I dalam struktur Jamaah Islamiyah—jabatan yang kemudian dialihkan ke Ali Gufron alias Muchlas, tersangka utama bom Bali. Bekas pendiri Gerakan Pemuda Islam (GPI) Karang Tengah, Cianjur, ini juga menjabat Sekretaris Jenderal Rabitatul Mujahidin. RM adalah forum beranggotakan pentolan jihad di Asia Tenggara.

Menurut Ketua GPI, Khaerudin Amin, di Malaysia memang banyak terdapat sponsor bagi yang siap mati syahid di medan Afganistan. "Yang jelas, di Malaysia banyak orang Indonesia yang menggunakan fasilitas itu. Seperti Hambali dan adik-adiknya," ujar Khaerudin. Dulu, Hambali diberi jalan oleh para sponsor. Setelah kini mapan di Negeri Jiran, Hambali diduga kuat ganti jadi sponsor.

Namun berbagai atribut seram yang disandang Hambali ternyata berimbas bagi warga Cianjur lainnya yang hendak mencari peruntungan di Malaysia. Dengar paparan Zaenudin, 47 tahun, asal Sayang, Cianjur, yang sehari-hari berjualan makanan di dekat Kampus Universitas Islam Antar Bangsa, Selangor, Malaysia. Katanya, setiap pendatang asal Cianjur dikarantina lebih dulu oleh pemerintah Malaysia, atas dasar ISA. Polisi Diraja Malaysia kian getol memelototi warga Cianjur yang tinggal di negeri tetangga itu, setelah terjadi pengusiran pendatang gelap di Nunukan, akhir 2002.

Nama Hambali makin jadi momok sesudah rangkaian ledakan malam Natal 24 Desember 2000, di 10 kota Indonesia. Ledakan-ledakan itu amat dahsyat, karena disiapkan matang dengan mengerahkan 41 bom. Memang tidak semuanya meledak, namun tercatat 20 orang tewas dan puluhan lainnya terluka di Medan, Jakarta, Bandung, Sukabumi, Ciamis, dan Mojokerto.

Hambali diduga tidak terlibat langsung dalam perakitan bom. Seorang perwira Markas Besar Polri menyebutnya sebagai desainer, bukan pelaksana. Dalam peledakan bom Bali 12 Oktober 2002, reputasinya sebagai teroris makin kuat. Seperti dikatakan Wan Min bin Wan Mat, warga Malaysia yang disebut Bendahara JI, ia menyerahkan dana dari Hambali kepada Ali Gufron, komandan umum pengeboman Bali.

Bahkan salah satu terdakwa bom Bali, Ahmad Roihan alias Sa'ad, kepada polisi mengakui bahwa Hambali sempat ke Indonesia, sebelum dan sesudah Bali meledak. Saat itu, ia memimpin pertemuan para Wakalah JI di Tawang Mangu, Jawa Tengah. Pertemuan kemudian dilanjutkan lima hari setelah peledakan, 17 Oktober 2002. Begitulah dikuatkan oleh Nasir Abbas—ditangkap di Bekasi, April lalu—yang kakak ipar Ali Gufron, dalam persidangan di Bali, Juli silam.

Aksi keji Hambali inilah—jika benar ia pelakunya—yang seharusnya menjadi bukti dan alasan untuk membawa dan mengadilinya di Indonesia. Sehingga, rasa penasaran dan harapan Iqbal untuk mengungkap siapa dalang bom yang melibatkannya bisa tercapai. Untuk itu, dari balik jeruji besi Penjara Sukamiskin yang dingin, ia akan lebih segut berdoa.

Edy Budiyarso, Upiek Supriyatun (Bandung), Jalil Hakim (Denpasar), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus