Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyemai Radikalisme di Sekolah

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berbelok Menuju Syariat
Sikap intoleransi kian merambah sekolah-sekolah negeri. Guru menjadi ujung tombak perubahan pandangan murid.

"JILBAB itu bukan pilihan, tapi kewajiban". Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Yogyakarta, Suharno, berkali-kali menegaskan prinsipnya itu kepada Tempo, akhir Mei lalu. Pandangan itu kemudian ia terapkan di sekolahnya. Suharno mewajibkan semua murid perempuan yang beragama Islam mengenakan jilbab. Peraturan ini dituangkan dalam tata tertib sekolah. "Aturannya sudah sesuai dengan Al-Quran," katanya.

Tata tertib sekolah juga mengatur pakaian murid perempuan yang tidak beragama Islam. Mereka diwajibkan mengenakan rok panjang. Suharno menjelaskan, model baju bagi murid perempuan nonmuslim itu meniru model baju yang dikenakan Bunda Maria. "Kalau roknya pendek, bisa jadi bahan pelecehan," ujarnya.

Sebagai salah satu sekolah favorit, SMP Negeri 5 Yogyakarta sempat disorot pada awal tahun lalu. Salah satu orang tua murid pernah mengeluhkan maraknya praktik risak terhadap murid di sana dalam status Facebook. Anaknya adalah satu-satunya murid beragama Kristen di kelas. DIa kerap diintimidasi siswa lain dengan sebutan "kafir". "Teman-temannya mengolok bahwa Tuhannya ada tiga," ucap paman si murid yang menolak disebutkan identitasnya kepada Tempo, Mei lalu.

Kewajiban berjilbab dan intimidasi terhadap keyakinan murid nonmuslim adalah contoh yang kini berkembang di sekolah-sekolah Tanah Air. Lewat penelitian yang dipublikasikan pada 2011, Maarif Institute mengingatkan peningkatan intoleransi ini. Penelitian yang hampir mirip dipublikasikan pada Januari lalu. Hasilnya, fenomena itu kian menyebar di sekolah-sekolah. Mereka bahkan menemukan ada sekolah menengah atas negeri di Aceh yang hanya menerima siswa beragama Islam serta SMA di Sukabumi, Jawa Barat, yang hanya menggelar tadarus, salat duha bersama, dan ceramah untuk menggantikan upacara bendera.

Wahid Foundation turut melansir temuan serupa. Hasil penelitian mereka yang dipublikasikan pada Februari lalu menyebutkan bahaya radikalisme yang bertumbuh di sekolah-sekolah. Dari 1.626 murid yang menjadi responden, 41 persen menyetujui Indonesia diubah menjadi negara Islam dan menggunakan konsep khilafah. Mereka yang menjadi responden adalah para aktivis kegiatan ekstrakurikuler rohani Islam (rohis). "Ada 60 persen responden menyatakan siap berjihad di masa mendatang," kata Direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh.

Hampir semua penelitian itu menyoroti aktivitas personel rohis di sekolah-sekolah. Mereka dianggap kelompok yang paling rentan. Peneliti dari Maarif Institute, Pipit Aidul Fitriyana, mengatakan para aktivis rohis umumnya tak memiliki basis keagamaan seperti di pesantren. Mereka pun mudah disusupi berbagai ideologi. Pemahaman keagamaan mereka tak terikat, misalnya, dengan Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah. "Untuk hal-hal tertentu, mereka setuju dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), di sisi lain mereka mendukung Front Pembela Islam," ujar Pipit.

Aktivis rohis banyak yang turun gunung dalam beberapa peristiwa politik di Tanah Air. Saat pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, misalnya, banyak yang terang-terangan bersikap menolak kepemimpinan nonmuslim. Salah satunya Ketua Ikatan Pelajar Masjid Al-Kautsar SMA Negeri 1 Garut, Gema Febri Alfarisi. Ia mengatakan para pemimpin di Indonesia haruslah beragama Islam. "Agar segala kebijakannya tidak merusak muslim," kata Gema kepada Tempo, awal Juni lalu.

Pemikiran ini disokong oleh guru-guru pendidikan agama Islam di SMAN 1 Garut. Ridwan Wahyudi, salah satu guru agama di sekolah itu, mengatakan pemimpin nonmuslim hanya akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat. "Kalau memperbolehkan pemimpin berasal dari nonmuslim, berarti itu sekuler," ujarnya.

Peneliti dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta, Dadi Darmadi, mengatakan pandangan guru membentuk pemikiran murid. Penelitian PPIM UIN tahun lalu menyimpulkan sebanyak 78 persen dari 175 guru agama Islam sekolah negeri di 11 kabupaten dan kota yang mereka wawancarai menyetujui penerapan syariat Islam. "Ada guru agama Islam yang berkali-kali menyarankan muridnya agar nanti duduk di DPR lalu memperjuangkan syariat Islam di sana," kata Dadi pada Mei lalu.

PPIM UIN menemukan banyak sekali fakta unik dalam penelitian kepada para guru agama Islam itu. Mereka tak menyetujui pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Mayoritas guru juga tidak menyetujui kepemimpinan nonmuslim jauh sebelum kasus penistaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mencuat. Hampir 80 persen dari para guru itu bahkan tak setuju jika ada guru nonmuslim di sekolahnya. "Mereka tidak peduli meski guru agama lain itu pintar, mereka akan tetap menolaknya," ujar Dadi.

Maarif Institute dalam penelitiannya menemukan fakta bahwa sekolah-sekolah sudah "dikuasai" aliran dan organisasi radikal lewat alumnus dan guru-gurunya. Bahkan ada guru fisika yang malah mengajarkan tarbiyah di sekolah. "Ada sekolah yang dikuasai HTI, tapi kepala sekolah malah membiarkannya," kata Pipit Aidul. Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi pengusung khilafah yang kini hendak dibubarkan pemerintah karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Berseminya pelajaran tentang agama Islam, menurut Pipit, sejak digalakkannya materi pendidikan karakter di sekolah. Seharusnya pendidikan ini diisi materi soal tenggang rasa, setia kawan, dan tolong-menolong. Karena tak ada panduan yang jelas dari pemerintah, pendidikan karakter ini berbelok menjadi pendidikan syariat.

Di sisi lain, guru-guru agama Islam itu ternyata tak memiliki landasan pendidikan yang kuat. Penelitian PPIM UIN menemukan mayoritas guru agama Islam yang mereka wawancarai menerima pengetahuan dasar tentang Islam hanya dari pengajian. Untuk memperluas wawasan, mereka mengandalkan dari informasi yang berkembang di Internet, yang terkadang manipulatif dan provokatif. "Ada korelasi antara orang yang mendapatkan sumber pengetahuan dari Internet dan sikap intoleran," ucap Dadi Darmadi.

Guru-guru yang memiliki latar belakang pendidikan di pesantren, kata Dadi, memiliki pemahaman Islam lebih baik dan toleran. Mereka, menurut dia, lebih mengedepankan hukum negara ketimbang syariat Islam. Sementara itu, fenomena guru-guru intoleran muncul karena ketidakpuasan mereka terhadap penerapan hukum dengan masih maraknya korupsi, kemiskinan, dan ketidakadilan di masyarakat. "Maka mereka memilih hukum agama," kata Didin Syafruddin, peneliti PPIM lainnya. Salah satunya diaplikasikan dalam peraturan berbusana para siswa.

SMAN 1 Yogyakarta juga disebut sebagai salah satu sekolah yang mewajibkan jilbab. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Sri Sumilir mengatakan pihaknya tetap mengedepankan peraturan pemerintah yang tak menerapkan kewajiban mengenakan jilbab bagi siswi muslim. Pihaknya cuma mewajibkan siswi mengenakan seragam yang menutupi dada, tubuh bagian belakang, dan lekukan pinggang. "Di masyarakat, yang berkembang soal sekolah ini malah ekstrem dengan jilbabnya," ucap Sri.

Praktik intoleransi akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan di Yogyakarta. Wakil Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta Antonius Fokki Ardiyanto mengatakan sejumlah sekolah di sana telah membuat peraturan yang mengarah ke perilaku intoleransi. Guru-gurunya pun kerap dilaporkan telah mengarahkan para siswa menjadi fanatik terhadap ajaran agama tertentu. "Praktek intoleransi itu terjadi di sekolah negeri dan itu berbahaya," kata Fokki.

Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DI Yogyakarta Kadarmanto Baskara Aji memastikan terus mengawasi sekolah-sekolah negeri agar tidak mewajibkan jilbab kepada para murid perempuan. Namun pihaknya kesulitan menemukan bukti praktik intoleransi. Sejauh ini mereka hanya menyebarkan ancaman sanksi pemecatan ke semua sekolah. "Tak boleh ada radikalisme dan ujaran kebencian di sekolah," ucapnya. Mei lalu, polisi melansir ada 30 murid yang sudah dibaiat kelompok radikal di Kota Pelajar itu.

Suharno tak percaya intoleransi muncul di kalangan pelajar. Ia menagih bukti. Ia justru menyalahkan media massa dan media sosial yang menyampaikan berbagai informasi dan tayangan vulgar yang merusak perilaku para pelajar dan masyarakat. "Tidak ada sekolah yang membedakan murid muslim dan nonmuslim," katanya.


Aktivis rohis banyak yang turun gunung dalam beberapa peristiwa politik di Tanah Air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus