Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden Prabowo Subianto mendominasi kebijakan dan diplomasi politik luar negeri.
Presiden tak mau didikte dalam mengambil keputusan untuk urusan luar negeri.
Keputusan yang diambil tanpa kajian matang membuat kegaduhan di dalam negeri dan dunia internasional.
DUA hari setelah dilantik sebagai presiden, Prabowo Subianto mengutus Menteri Luar Negeri Sugiono ke Rusia. Sugiono mewakili Prabowo untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi BRICS Plus di Kazan, Rusia, 23-24 Oktober 2024. Pertemuan itu dihadiri, antara lain, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di forum itu Sugiono menyampaikan pesan Prabowo bahwa Indonesia ingin bergabung dengan kelompok ekonomi yang didirikan oleh Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan (BRICS) tersebut. “Kami hadir di KTT BRICS sebagai utusan khusus Presiden untuk menyampaikan keinginan Indonesia bergabung dengan BRICS sebagai sebuah upaya untuk meng-engage negara-negara yang tergabung di dalam BRICS dan menjadi bridge builder,” kata Sugiono dalam rapat kerja bersama Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat pada Senin, 2 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRICS merupakan aliansi ekonomi alternatif dari Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang berada di bawah pengaruh kuat Amerika Serikat dan sekutunya. Dua bulan setelah kunjungan tersebut, Indonesia resmi menjadi anggota BRICS, padahal sebelumnya Indonesia sudah melamar untuk menjadi anggota OECD.
Prabowo kemudian memulai lawatan internasional pertamanya ke berbagai negara selama 8-23 November 2024. Ia mengunjungi Beijing, Cina, untuk bertemu dengan Xi Jinping. Dari sana, Prabowo terbang ke Amerika Serikat menemui Presiden Joe Biden dan kemudian berkunjung ke Peru, Brasil, Inggris, Uni Emirat Arab, Mesir, Malaysia, dan India.
Kunjungan kerja Prabowo ke berbagai negara itu bukan tanpa alasan. Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menjelaskan bahwa Prabowo berkomitmen memperluas kemitraan dengan banyak negara dan membuka peluang kerja sama di berbagai bidang. Ada 24 kesepakatan antarnegara dan 20 kesepakatan bisnis senilai US$ 21,3 miliar atau setara dengan Rp 345 triliun di bidang energi, ketahanan pangan, pendidikan, infrastruktur, dan industri yang dihasilkan dari lawatan tersebut. “Kami mencari mitra seluas mungkin dan peluang-peluang yang ada. Bukan hanya ekonomi, melainkan juga peluang kerja sama yang luas,” ujar Arif pada Jumat, 17 Januari 2025.
Di India, Prabowo bertemu dengan Presiden Droupadi Murmu dan Perdana Menteri Narendra Modi. “Ada sejumlah nota kesepahaman (MOU) sektoral yang ditandatangani lembaga terkait dari kedua negara, seperti kesepakatan soal kesehatan, mutu obat tradisional, keselamatan maritim, pertukaran kebudayaan, dan pengembangan digital,” ucap Duta Besar Indonesia untuk India, Ina Hagniningtyas Krisnamurthi, pada Selasa, 28 Januari 2025.
Presiden Prabowo Subianto berada di kereta kuda saat menjadi tamu utama dalam parade Peringatan Ke-76 Hari Republik India di New Delhi, India, 26 Januari 2025. Antara/Hafidz Mubarak A
Sikap aktif Prabowo di luar negeri ini berbeda dengan Joko Widodo. Selama menjabat presiden, Jokowi lebih berfokus pada urusan dalam negeri dan bahkan tidak pernah menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagian besar diplomasi luar negeri Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Sebaliknya, sejak terpilih sebagai presiden tapi belum dilantik pun Prabowo sudah berkeliling ke 20 negara.
Menurut Direktur Eksekutif Bidang Penelitian Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Shafiah F. Muhibat, Prabowo menaruh perhatian besar pada politik luar negeri. Hal ini tecermin dari berbagai lawatannya ke mancanegara hingga keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS. “Kalau mencoba memaklumi, beliau ini sudah lama sekali ingin menjadi presiden. Ide-ide ini mungkin sudah dari 10-15 tahun yang lalu (ada), sekarang setelah menjadi presiden semua dilakukan dalam dua-tiga bulan pertama,” katanya dalam diskusi kelompok terarah (FGD) bersama Tempo pada Rabu, 15 Januari 2025.
Tingginya minat Prabowo terhadap isu-isu internasional membuat kebijakan politik luar negeri kini didominasi Presiden dibanding Menteri Luar Negeri. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan Prabowo cenderung tak mau didikte oleh Kementerian Luar Negeri dalam menentukan kebijakannya. “Ini yang membuat masukan-masukan dari Kementerian mungkin akhirnya mentah,” tuturnya dalam FGD tersebut.
Hikmahanto khawatir masukan dari Kementerian Luar Negeri tidak menjadi pertimbangan Prabowo dalam mengambil keputusan. Padahal, sebagai presiden, Prabowo semestinya mendengarkan birokrat karena politikus bisa datang dan pergi sesuai dengan periode pemerintahan, sementara birokrat adalah elemen penting yang berpengalaman di lembaganya.
Kestabilan suatu negara, kata Hikmahanto, banyak ditentukan oleh birokrasi, termasuk dalam hal hubungan internasional. “Ini yang tidak saya lihat di masa pemerintahan sekarang. Birokrasi ini seolah-olah justru harus menyesuaikan dengan keinginan Prabowo dalam mengambil keputusan,” ujar doctor of philosophy dari University of Nottingham, Inggris, itu.
Hal senada disampaikan oleh Profesor Riset Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Dewi Fortuna Anwar. Politik luar negeri saat ini, menurut dia, banyak ditentukan oleh Presiden ketimbang Menteri. “Ada kesan Presiden sudah menentukan ini yang harus dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri sehingga dipilih Menteri Luar Negeri yang belum punya identitas sendiri,” ucapnya. “Ini very much a presidential show policy.”
Prabowo kemudian menjadi tokoh sentral dalam kebijakan luar negeri. Diplomasi Indonesia, kata Dewi, lalu terjadi “di level tingkat tinggi dan dipersonalkan”.
Arif Havas Oegroseno membantah bila Presiden disebut tak mendengarkan masukan dari Kementerian Luar Negeri. Ia mengatakan koordinasi tetap berjalan lancar. Sebelum melawat ke luar negeri, menurut dia, Prabowo selalu meminta masukan dari Kementerian. Ketika melakukan kunjungan bilateral, misalnya, Prabowo akan menggelar rapat tentang topik yang bakal dibahas bersama Kementerian. “Jika diperlukan, akan ada rapat kabinet untuk mendengarkan pendapat kementerian lain,” tuturnya.
Seorang diplomat menuturkan ihwal rumitnya melayani Presiden Prabowo. Jadwal kunjungan Presiden, kata dia, sering kali diumumkan secara mendadak dengan jam kedatangan yang tidak jelas sehingga menyulitkan kedutaan besar Indonesia di luar negeri untuk menyambut rombongan Presiden.
Kesulitan juga terjadi dalam urusan lahan parkir pesawat. Pasalnya, dalam setiap kunjungan, pesawat yang digunakan oleh delegasi Indonesia lebih dari satu. Saat ke Lima, Peru, misalnya, ada enam pesawat yang melayani penerbangan Prabowo dan rombongan. Begitu pula dalam kunjungan kerja Prabowo ke India pada Kamis, 23 Januari 2025, ada tiga pesawat yang digunakan—satu pesawat kepresidenan untuk Prabowo bersama Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya dan para ajudan, satu untuk mengantar Menteri Sugiono yang baru tiba dari acara KTT ASEAN, dan pesawat lain digunakan oleh para menteri.
Belum lagi permintaan Prabowo yang kadang sulit dipenuhi, seperti ingin disediakan mobil mewah merek tertentu, kolam renang air hangat dengan suhu 32 derajat, hingga air kelapa. Diplomat tersebut menyatakan jenis mobil yang digunakan Prabowo haruslah Mercedes-Maybach S-Class. Sejak menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo selalu minta diantar-jemput dengan mobil yang seri paling murahnya dibanderol seharga Rp 7,5 miliar ini. “Kadang tak semua negara ada Maybach. Saat kunjungan ke Turki, misalnya, akhirnya digunakan Mercy S600,” ujarnya. Prabowo melawat ke Turki pada akhir Juli 2024.
Ina Hagniningtyas membantah cerita itu. Menurut dia, Kedutaan Besar RI di New Delhi tak mendapat permintaan aneh dari Prabowo. “Fasilitas yang diberikan kepada rombongan Presiden Prabowo sesuai dengan yang disediakan pemerintah India. Tidak ada fasilitas istimewa yang diminta secara khusus. Penginapan dan kendaraan juga sudah disiapkan pemerintah India,” ucapnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, enggan menanggapi hal ini. “Silakan saja tanya sama yang memberi info-info tersebut. Kami sebagai sebuah sistem memiliki metode kerja yang jelas yang tidak harus diterangkan kepada publik, termasuk cara engage dengan media,” katanya dalam pesan tertulis pada Ahad, 26 Januari 2025.
Salah satu langkah Prabowo yang membuat gaduh adalah pernyataannya bersama Presiden Xi Jinping yang berhubungan dengan Laut Cina Selatan. Sejak awal Indonesia tegas menolak klaim sembilan garis putus-putus oleh Cina karena bertentangan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Indonesia juga selama ini tak punya sengketa wilayah Cina di perairan tersebut. Namun dalam pernyataan itu seolah-olah Indonesia mengakui adanya “wilayah yang tumpang-tindih” dan bersepakat menjalin “pengembangan bersama” di wilayah tersebut.
Lokasi Laut Natuna Utara pada peta baru Indonesia di Jakarta, 14 Juli 2017. Reuters/Beawiharta
Pernyataan kontroversial itu membuat Kementerian Luar Negeri kelabakan dan sibuk membuat klarifikasi. Hal ini menjadi gejala umum dalam diplomasi Indonesia. “Kementerian harus menyiapkan dan kemudian barangkali kalau ada kesalahan cepat-cepat memadamkan kebakaran itu,” tutur Dewi Fortuna Anwar.
Sikap Prabowo langsung berubah arah saat bertemu dengan Presiden Joe Biden di Amerika Serikat. Prabowo dan Biden membuat pernyataan bersama yang salah satunya menyatakan bahwa mereka bersepakat menegakkan UNCLOS di Laut Cina Selatan. Dengan kata lain, kedua kepala negara tak mengakui klaim garis putus-putus Cina. “Ini kan membingungkan banyak pihak. Indonesia mau ke mana? Padahal menjaga konsistensi itu penting,” ujar Hikmahanto Juwana.
Seorang narasumber yang dekat dengan Kementerian Luar Negeri menuturkan ihwal kontroversi pernyataan bersama Prabowo dan Xi Jinping tersebut. Menurut dia, rancangan dokumen pernyataan bersama itu sudah ada sebelum Prabowo dilantik sebagai presiden. “Cina menyerahkan dokumen ke Sugiono, lalu oleh Menteri Luar Negeri diserahkan ke pejabat di Kementerian Luar Negeri. Dokumen yang sudah disempurnakan itu diserahkan kembali ke Menteri, tapi Prabowo meminta agar naskah dokumen dikembalikan ke bentuk aslinya,” kata sumber yang bermukim di Cina itu pada Jumat, 24 Januari 2025.
Arif Havas Oegroseno menjelaskan, Prabowo tak menginginkan terjadinya konflik di wilayah tersebut dan ingin menurunkan ketegangan di Laut Cina Selatan dengan memberi contoh cara penyelesaian konflik kepada negara-negara yang bersengketa dengan Cina. “Di tingkat ASEAN sudah ada code of conduct yang membahas Laut Cina Selatan, tapi belum memadai untuk meredakan ketegangan,” tuturnya.
Menteri Luar Negeri Sugiono tiba di KTT BRICS di Kazan, Rusia, 24 Oktober 2024. Kirill Zykov via Reuters
Kerja sama di kawasan itu, kata Arif, harus memperhatikan faktor eksternal dan internal. Dalam konteks eksternal, Indonesia berpegang teguh pada ketentuan dalam UNCLOS. Sementara itu, faktor internal yang harus diperhatikan adalah perjanjian bilateral dengan sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Vietnam.
Arif menegaskan bahwa Indonesia tak mengakui klaim Cina soal sembilan garis putus-putus di Laut Cina Selatan. Posisi Indonesia tidak berubah dan tetap berpegang teguh pada ketentuan UNCLOS. “Garis kita adalah garis yang sesuai dengan Konvensi Hukum Laut. Sudah ada juga garis yang disepakati dengan Malaysia ataupun Vietnam,” ujarnya.
Langkah lain Prabowo yang dinilai mengagetkan adalah keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS. Dewi Fortuna Anwar menilai keanggotaan penuh Indonesia di BRICS mengesankan bahwa Indonesia tak mau ketinggalan dengan negara lain. “Ini seperti FOMO, takut ketinggalan,” ucapnya dalam FGD dengan Tempo.
Keanggotaan Indonesia di BRICS bagaikan dua sisi mata uang. BRICS, kata Hikmahanto Juwana, bisa memberi alternatif pasar. Namun Indonesia harus mewaspadai pula ancaman pengenaan tarif impor 100 persen dari Presiden Amerika Donald Trump jika BRICS menerapkan mata uang sendiri. “Ini perlu dikaji kaitannya dengan ekspor Indonesia ke Amerika, seperti tekstil misalnya, apakah berpengaruh atau tidak.”
Presiden Prabowo Subianto melambaikan tangan sebelum bertolak ke India di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusama, Jakarta, 23 Januari 2025. Antara/Galih Pradipta
Arif menjelaskan bahwa prinsip politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif, bukan netral. Bebas artinya independen atau tidak bergantung pada pihak mana pun, termasuk bebas memilih negara yang menjadi mitra. Adapun aktif berarti Indonesia harus aktif di dunia internasional. Dengan prinsip bebas aktif itulah, ujar Arif, Indonesia bergabung dengan BRICS.
Menurut Arif, ancaman Trump itu berlaku untuk semua negara yang menyebabkan defisit terhadap Amerika. “Jadi tidak ada hubungannya dengan BRICS. Itu dikait-kaitkan dan menurut saya tidak pas,” tuturnya.
Ketertarikan Prabowo pada isu-isu internasional dinilai tak diimbangi dengan perhatian ke ASEAN. Dewi Fortuna Anwar mengatakan Prabowo tak menjadikan ASEAN prioritas dalam membangun hubungan diplomatik. Prabowo, misalnya, tidak mengirim Menteri Luar Negeri atau wakilnya dalam pertemuan informal di Bangkok, Thailand, untuk membahas isu Myanmar pada 19-20 Desember 2024. Saat itu Kementerian Luar Negeri mengutus pejabat eselon I. “Ada Menlu dan tiga Wamenlu. Masak, salah satu dari tokoh politik itu tidak bisa hadir?” ucapnya. Prabowo juga jarang menyebut ASEAN dalam pidatonya.
Arif Havas membantah anggapan tersebut. Indonesia, kata dia, tetap memprioritaskan kerja sama di kawasan ASEAN. Komitmen ini sudah dipegang oleh Prabowo sejak masih menjabat Menteri Pertahanan dengan mengunjungi negara-negara tetangga. “ASEAN memegang peran kunci dalam politik luar negeri Indonesia karena itu adalah kawasan kita, rumah kita,” ujar bekas Duta Besar Indonesia untuk Jerman ini. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Ketika Presiden Terus Tampil di Depan