Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengeras Sejak Dini

Organisasi Islam garis keras masuk lewat kegiatan unit kerohanian di sekolah. Banyak pelajar setuju negara Islam.

19 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASJID AL-Kautsar di kompleks Sekolah Menengah Atas Negeri 11 Garut, Jawa Barat, terlihat ramai. Tiga puluhan siswa meriung di dalam masjid hingga menjelang ashar, Rabu awal Juni lalu. Padahal, selama Ramadan, kegiatan belajar hanya berlangsung sampai pukul 12.30.

Mereka yang berkumpul di masjid itu adalah anggota Ikatan Pelajar Masjid Al-Kautsar (Ipmaka). "Masjid ini tidak pernah sepi. Selalu ada diskusi keislaman setelah pulang sekolah," tutur Ketua Ipmaka, Gema Febri Alfarisi.

Menurut Gema, tema kajian Ipmaka tak melulu seputar akhlak dan nilai keislaman. Ipmaka juga kerap membahas isu masa kini. Misalnya, mereka mendiskusikan rangkaian "Aksi Bela Islam" di Jakarta, penetapan pentolan Front Pembela Islam Rizieq Syihab sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya, dan berkembangnya jumlah pendukung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Indonesia.

Berdasarkan hasil diskusi, Gema menuturkan, Ipmaka menolak Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta. "Pemimpin pemerintah itu harus Islam," kata siswa kelas XI ini. "Agar kebijakannya juga sesuai dengan umat Islam."

Meski pengurus unit kerohanian Islam (rohis) sekolah tersebut menolak pemimpin nonmuslim, guru agama SMA Negeri 11, Susi Erni Wahyuni, mengatakan sekolah tidak mengajarkan radikalisme. "Pemikiran kritis itu diperoleh dari sumber lain," kata Susi. "Kami di sekolah mengajarkan toleransi."

Bukan hanya Gema dan kawan-kawan yang menolak pemimpin nonmuslim. Hasil penelitian Maarif Institute menemukan pandangan serupa di kalangan pengurus rohis sejumlah SMA negeri. "Banyak pengurus rohis semakin radikal," kata Pipit Aidul Fitriyana, peneliti Maarif Institute.

Pada 2011, Maarif Institute menggelar penelitian di empat kota: Pandeglang, Cianjur, Surakarta, dan Yogyakarta. Laporan lengkap penelitian itu diterbitkan dengan judul "Pemetaan Persoalan Radikalisme di Kalangan Pelajar".

Menurut Pipit, radikalisme subur di kalangan pengurus rohis seiring dengan masuknya organisasi Islam garis keras ke sekolah. Sejumlah SMA negeri di Cianjur, misalnya, sudah lama dimasuki jaringan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang menyerukan pendirian negara Islam (khilafah). "Organisasi itu masuk lewat jalur alumni," ujar Pipit.

HTI juga menyusup ke sekolah yang tidak diteliti Maarif Institute. Annisa Sari, alumnus Universitas Negeri Surabaya, termasuk yang tertarik pada HTI sewaktu duduk di bangku SMA pada 2006. "Saya masuk HTI setelah membaca selebaran di sekolah," kata perempuan 29 tahun ini. Selebaran yang dimaksud Annisa adalah buletin Al-Islam, media dakwah yang diterbitkan HTI.

Annisa bercerita, ketika bersekolah di Mojokerto, Jawa Timur, dia membaca tulisan Al-Islam yang mengulas larangan jilbab bagi siswa sekolah umum di Prancis. Annisa pun bertanya-tanya tentang larangan tersebut. Saat itulah dia diajak kakak kelasnya bergabung dengan HTI. Namun, ketika kuliah, Annisa memutuskan keluar dari HTI. "Dakwahnya berat. Saya sampai sakit dan cuti kuliah," ucapnya.

Penelitian mutakhir oleh Wahid Foundation berkesimpulan senada dengan temuan Maarif Institute. "Lebih dari 60 persen aktivis rohis siap jihad," kata Direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh dalam diskusi bertajuk "Bhinneka Indonesia: Modal Sosial Bernegara" di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, medio Februari lalu.

Survei Wahid Foundation melibatkan 1.626 pelajar sebagai responden. Mereka pengurus unit rohis yang ikut perkemahan bertema "Membangun Generasi Emas Ramah dan Bermartabat" pada 2-6 Mei 2017. Acara di Cibubur, Jakarta Timur, itu diadakan Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama.

Menurut Zannuba, sebanyak 41 persen responden setuju atas pendirian khilafah islamiyah, cita-cita yang diusung HTI. "Mereka setuju Indonesia menjadi negara Islam," kata perempuan yang biasa dipanggil Yenny Wahid ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus