POSO masih menyisakan luka. Jalanan di sudut-sudut kota dijamuri pos-pos penjagaan tentara dan polisi. Razia di mana-mana. Mereka terus siaga dengan senjata otomatis, berkelebat begitu muncul keriuhan dan gelagat mencurigakan. Begitu lamat-lamat terdengar suara tembakan di Kelurahan Kasiguncu, Jumat pekan lalu, sekelompok pasukan gabungan itu langsung menyerbu sumber suara. Tapi masyarakat memilih tutup mulut saat ditanya. ”Di sini, makin banyak intel beroperasi,” kata seorang penduduk.
Kecemasan warga masih terasa. Apalagi dalam suasana Ramadan, saat yang kerap ditandai dengan tradisi ”perang amaliah”. Ini kebiasaan yang hidup di komunitas muslim, untuk siap bertempur di medan laga—mereka kumandangkan sebagai ”berjihad” menghadapi kelompok Kristen. Selebaran jihad bertebaran diam-diam, dicetak dalam kertas kopian warna-warni, disebarkan sampai ke kuburan. Ketika Rahmat Jeba, seorang tokoh yang tertembak aparat, dimakamkan di pekuburan muslim Lawangsa di tengah kota, pekan lalu, kertas-kertas menyeramkan itu dibagi-bagikan kelompok ”Mujahidin”.
Bara paling hangat terjadi di Poso dan Morowali, dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah itu, Kamis dua pekan lalu. Saat itu, berkat serangan gencar tim gabungan polisi dan tentara yang menyisir kawasan hutan Mompane, dekat Beteleme, Morowali, mereka berhasil menembak mati enam orang yang diduga kelompok ”pasukan misterius” dan menangkap 13 orang lainnya. Dibilang ”misterius” karena mereka—sebagaimana kesaksian para saksi mata— beroperasi bak siluman, berbaju hitam-hitam, dan menutup mukanya dengan cadar.
Serangan ke Morowali itu menewaskan 13 warga desa. Gaungnya sampai ke telinga para pejabat pusat di Jakarta. Agak aneh, memang. Sebab, sudah setahun kota di Teluk Tomini ini aman dan damai. Tak ada letusan senjata dan nyala api membakar rumah di daerah yang didera konflik yang menewaskan sekitar 240 warga sipil sejak akhir 1998 lalu itu. Ulah mereka membuat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, mengancam segera menurunkan pasukan tempur dari TNI dan Polri selama enam bulan. Targetnya: mengejar gerombolan bersenjata itu.
Di awal kejadian, muncul tudingan aparat ikut memperkeruh suasana. Sebab, ada temuan lapangan berupa amunisi buatan Pindad, sebuah perusahaan senjata dan amunisi milik negara, dan penggunaan senjata organik TNI. Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafi’i Ma’arif, menduga ada segelintir aparat ikut terlibat. Ia menyitir secuil informasi dari seorang pastor yang juga aktivis LSM di Poso. ”Tapi saya tak mau berspekulasi, meski itu bukanlah hal yang mustahil,” katanya kepada para wartawan usai meneken nota kesepahaman Muhammadiyah dan NU tentang pemberantasan korupsi di Gedung Museum Nasional, Jakarta, Rabu dua pekan lalu.
Namun, sinyalemen ini segera ditepis markas besar tentara di Cilangkap. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto melihat penyerangan itu bukan sekadar tindak kriminal biasa. Jika ada selongsong peluru milik TNI, tak bisa langsung disimpulkan TNI terlibat. ”Kalau kemudian memang terbukti prajurit yang seharusnya mengamankan justru merupakan bagian dari permasalahan, di-jedor saja kepalanya,” kata Panglima, geram.
Polisi segera bergerak cepat. Ada dua perwira tinggi polisi yang turun ke Beteleme. Kepala Badan Reserse Kriminal, Komisaris Jenderal Pol. Erwin Mappaseng, sempat ikut memeriksa ke-13 tersangka yang ditahan di Kepolisian Sektor Beteleme. Turunnya ”bintang-bintang” polisi di Poso bukan tanpa sebab. Seorang sumber di Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menyebut kasus ini terbilang kakap: mengarah pada kelompok Jamaah Islamiyah. ”Para tersangka merupakan kelompok yang pernah mereka latih,” kata seorang perwira polisi yang sibuk menyidik.
Jamaah Islamiyah di Poso? Apa kaitan organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut sebagai organisasi teroris internasional dan memiliki kontak dengan Al-Qaidah yang dipimpin Usamah bin Ladin itu di sana? Satu-satunya pernyataan resmi Jakarta pernah diungkapkan Kepala Badan Intelijen Negara, Hendropriyono. Saat rapat kerja dengan DPR di Senayan, Jakarta, Desember 2001 lalu, ia pernah menyebut ada kamp Al-Qaidah di kawasan yang terletak sekitar 300 kilometer di tenggara Palu, ibu kota Sulawesi Tengah itu.
Ada sedikit jawaban. Sumber TEMPO, seorang pentolan Jamaah di Poso, menduga serangan itu untuk menunjukkan eksistensi kelompok bawah tanah itu. ”Ini peringatan setahun bom Bali,” katanya. Sudah setahun ini kelompok yang didirikan oleh almarhum Abdulah Sungkar di Malaysia itu kocar-kacir di Jawa dan Sumatera. Beberapa dedengkotnya, seperti Imam Samudra, Ali Gufron alias Muchlas, dan Hambali, yang dituduh berperan di balik bom Bali, sudah diciduk aparat. Para pentolan sisanya lari menuju posko lain di Riau, Nunukan, dan Pulau Sebatik di Kalimantan Timur. Ada yang berkelebat ke Palu dan Poso. ”Kelompok Solo” dan ”Kelompok Lamongan”—dua kawasan asal tersangka teroris—turut lari ke Poso.
Dari para tersangka yang tewas, diindikasikan temuan menarik. Salah satu di antaranya adalah Sadam alias Sahdan, yang ternyata warga Lamongan, Jawa Timur, tak jauh dari tempat Amrozi, Ali Gufron, dan Ali Imron, si trio bersaudara biang bom Bali, tinggal. Sedangkan komandan penyerbuan, Muhamadong, yang tewas diterjang peluru polisi di dekat hutan Mompane, adalah mantan murid Mustofa alias Pranata Yudha, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh penting Jamaah Islamiyah yang pernah memimpin sebagai Ketua Mantiqi III di kawasan Sulawesi, Maluku, dan Filipina Selatan (lihat, Panglima Idola dari Ampana).
Mustofa pernah meninggalkan jejak. Pria yang kini meringkuk di sel tahanan Polda Metro Jaya, Jakarta, dalam pemeriksaan polisi itu mengaku pernah empat kali datang ke Poso pada 2001. Selama di sana, ia tinggal di rumah yang ditinggalkan pemiliknya di Desa Gebang Redjo, Poso. Ia melatih laskar perakitan bom dan teknik dasar pertempuran Mujahidin. Seorang rekan Madong, Ikhwanudin, meyakini Mustofa adalah instruktur kamp pelatihan Gunung Buyung, Kateda, Malei, yang waktu itu memakai nama samaran Abu Syahid. Mustofa juga dikenal sebagai pengajar pada Akademi Militer Al-Islami Al-Jama’ah di Muaskar Hudaibiyah, Filipina Selatan, tahun 1997-1998.
Mustofa banyak menjalin kontak. Ia berkarib erat dengan Khaeruddin alias Mohammad Nazir Abas, yang kemudian menggantikannya sebagai Ketua Mantiqi III (lihat, Mereka di Balik Bara Poso). Lewat kakak ipar Ali Gufron itulah Mustofa berhasil memperoleh senjata dan bahan peledak dari Filipina. Ingat bahan peledak dan amunisi yang ditemukan di rumah kontrakan di kawasan Taman Sri Rejeki, Semarang, Jawa Tengah? Mustofa pernah menyebut sebagai titipan muslimin Poso. ”Barang-barang itu akan dipergunakan kembali ke Poso jika terjadi keributan antara Islam dan Nasrani,” katanya.
Ketegangan politik lokal juga punya andil. Sumber organisasi bawah tanah yang lama ditempatkan di Poso menduga penyerangan itu juga mengambil momentum konflik lokal di Morowali. Sebagai kabupaten baru, Morowali sedang mempersiapkan ibu kota kabupatennya. Warga Islam menghendaki ibu kota kabupaten itu berada di Bungku, sesuai dengan aturan pemekaran. Sedangkan kelompok Kristen dan juga Bupati Andi Muhammad, dengan alasan belum ada fasilitas, ngotot minta pusat pemerintahan kabupaten berada di Konodalu, yang masuk permukiman Kristen. Ribut-ribut berujung disanderanya Ketua DPRD Morowali oleh warga Bungku pada 11 Oktober lalu.
Para ”pemain” keributan sudah di kantong polisi. Toh, sejauh ini Kepala Polri Jenderal Da’i Bachtiar agaknya masih ”keder” untuk menunjuk hidung organisasi militan Islam di balik serangan Poso. Seorang sumber di Mabes Polri mengatakan, Jenderal Da’i khawatir berisiko. Polisi bisa kembali menjadi bulan-bulanan politikus dan organisasi Islam, seperti yang terjadi saat seru-serunya upaya paksa badan atas para aktivis Islam sebulan lalu. Yang jelas, kelompok ini, kata Da’i, ”Sengaja meniupkan dendam lama agar terjadi penyerangan.”
Kini di tangan polisi sudah ada 13 tersangka penyerangan. Ini hasil penyergapan di sekitar hutan Mompane, Kamis dua pekan lalu. Kedatangan petugas diketahui kelompok yang sering menggunakan sandi ”pepaya” dan ”roti” jika berkomunikasi dengan sesama anggota. Terjadi tembak-menembak sengit. Hasilnya, tiga mayat anggota gerombolan ditemukan, antara lain Ali Lasawedi alias Gendut alias Asma (30 tahun), Ari alias Taufik alias Upik (25 tahun), dan Salman alias Sadam alias Sahdan (22 tahun), yang diketahui warga Lamongan, Jawa Timur. Sedangkan tiga orang lainnya luka-luka, antara lain Abdul Hair, Hasyim, dan Ridwan (Lihat, Pertempuran di Hutan Mompane).
Belum semua tersangka tertangkap aparat. Saat diciduk, mereka mengungkapkan masih ada sembilan rekannya yang lolos dari penyergapan itu. Namun, polisi kemudian berhasil menangkap 10 anggota gerombolan lain setelah dilakukan pengejaran. Belum jelas apakah ke-13 orang itu semuanya anggota kelompok Madong. Sebab, menurut orang dalam Jamaah, masih ada dua kelompok lagi yang beroperasi dengan 20 anggota dan kerap melakukan aksi penembakan misterius.
Namun, ada yang meragukan keterangan versi polisi. Seorang pengacara Tim Pembela Muslim Palu, Harun Nyak Item, dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako, tak mau menerima keterangan resmi ini. Harun curiga, para korban disiksa lebih dahulu sebelum dihabisi. Pada tubuh Ari, misalnya, dari hasil autopsi ditemukan bekas cekikan. ”Kami sedang menyiapkan memori gugatan,” katanya. Sebaliknya, para warga tak berdosa, juga aparat, juga harus bersiap terhadap kemungkinan aksi maut berikutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini