Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bergerak Bersama Dunia Imajinasi Bernama Animasi

Dalam dunia animasi, apa pun menjadi sangat mungkin. Kemajuan teknologi membuat film animasi menjadi lebih sempurna dan luwes dalam bertutur. Studio besar akhirnya lebih suka menjamah teknologi mutakhir. Hasilnya, hampir separuh dunia dikuasai Disney dengan resep yang sama sejak meledaknya Beauty and the Beast: kompugrafik, musik yang menjadi roh film; aneka bintang Hollywood sebagai pengisi suara, dan berbagai merchandise yang ditebarkan melalui kerja sama dengan restoran waralaba terkemuka. Namun, diam-diam, animasi Jepang juga mengintip untuk merebut pesona dunia. Bagaikan angin ribut, semuanya masuk ke negeri ini. Bagaimana pula kiprah film animasi di Indonesia di tengah kemenangan animasi Amerika dan Jepang? Ikuti aktivitas para animator Indonesia yang sudah berkecimpung di belakang layar studio Disney.

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Bergerak Bersama Dunia Imajinasi Bernama Animasi
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Jakarta sudah memasuki sebuah senja bulan November silam. Seorang ibu tergopoh-gopoh menggandeng dua anaknya yang masih kecil. Dengan mata penuh harap, si anak tak kalah berjalan dengan cepat. Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki hari itu penuh sesak. Film animasi Finding Nemo—yang sebetulnya sudah per-nah diputar di bioskop jaringan 21—diputar kembali dalam acara Festival Film Animasi Internasional. Meski film sudah berjalan separuh cerita, mereka tak peduli. Ketiganya tetap menyesakkan tubuh ke dalam untuk menikmati kisah ikan-ikan di laut itu.

Kekuatan film animasi karya studio Hollywood macam Pixar dan Disney memang belum menemukan kompetisi dalam soal keberhasilan popularitas dan kehebatannya menangguk keuntungan. Tak aneh jika festival animasi yang sebetulnya juga memutar karya animasi Jerman, Belanda, dan Jepang itu juga tetap dirubung penonton yang merasa lebih kenal dengan karya Disney.

Sebenarnya tak mengherankan bila film asal Amerika masih tetap menjadi favorit. Hal itu terjadi karena, sesuai dengan karakternya yang lebih banyak unsur rekreatifnya, animasi Amerika mampu memberikan kebutuhan itu. Dan, kita mafhum, film animasi yang berasal dari kawasan industri hiburan dunia itu memiliki kemampuan untuk itu. Finding Nemo, yang jadi incaran ibu dan dua anaknya itu, selain tampilannya penuh pesona, isi ceritanya sendiri juga luar biasa: kisah seekor ikan mencari anaknya yang hilang.

Pemandangan itu bukan sekali waktu saja terjadi. Bisa dipastikan setiap kali film animasi masuk ke bioskop kita, wabil khusus yang punya cap Disney pasti akan membuat para orang tua rela antre di depan loket, membelikan karcis masuk untuk anak-anaknya. Alasannya cuma satu: selain kerap menyajikan gambar karakter yang lucu, dari segi tema, film yang dibuat Disney memang terbilang aman: minim adegan ke-kerasan dan mengajarkan budi pekerti yang terpuji.

Film Brother Bear, yang akan beredar di Jakarta dalam beberapa pekan depan, berkisah tentang persahabatan antara manusia dan binatang. Disajikan dengan gambar-gambar yang hidup, geraknya luwes, dan tentu saja sesekali menawarkan tawa yang segar. Tentu ini berbeda dengan animasi yang bertajuk Muhammad, the Last Prophet, produksi Badr International. Ini kisah tentang Nabi Muhammad yang sebetulnya sangat penting untuk ditonton anak-anak. Pemilihan teknik animasi pun cerdas, dengan harapan sejarah Nabi bisa dipelajari dengan cara populer. Namun teknik penggarapan dan gambar yang kurang hidup itu malah membuat film ini gagal menarik penonton. Sialnya pula, film itu—entah kenapa—disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia.

Apa boleh buat, Disney memang masih menjadi raja dalam tayangan animasi. "Film Disney memang selalu terkesan manis. Bukan saja gambarnya tapi juga jalan ceritanya," kata Denny Ahmad Djoenaed, animator yang pernah menimba ilmu di studio Disney di California, beberapa tahun silam. Masih menurut Denny, yang sehari-hari mengajar di Institut Kesenian Jakarta, keberhasilan Disney adalah kesetiaannya pada resep yang dibuat sejak awal, bahwa animasi produksi Disney adalah tontonan keluarga. Untuk itu, menurut Denny, para animator Disney terkenal kuat dalam risetnya. "Sebuah film bisa dibuat dalam jangka waktu lima tahun," katanya.

Kalaupun Disney menjadi raja animasi, tentu bukan terjadi begitu saja. Disney, yang memiliki banyak karakter kartun yang sudah terkenal ke seluruh jagat, memulai industrinya hampir bersamaan dengan sejarah film. Hal itu dimulai saat karakter Mickey Mouse tercipta pada dekade 1930. Saat itu Disney sudah menjadi yang terdepan dalam tayangan animasi. Beberapa karya yang sempat keluar ketika itu antara lain Three Little Pigs pada 1933, yang ketika itu bersaing seru dengan tayangan Charlie Chaplin yang banyak dige-mari pada zamannya. Kemudian menyusul film animasi klasik Snow White and Seven Dwarfs, dan yang tak kalah fenomenal film Pinocchio. Saking kuatnya Disney menguasai pasar, para ahli pemasaran film mengukuhkan Disney sebagai penguasa hiburan animasi.

Adapun MGM Studio, yang sebelumnya sudah wara-wiri dengan film layar lebar, mulai melebarkan sayapnya. Seiring dengan perjalanan waktu, apalagi di- tambah dengan makin majunya industri televisi tahun 1960-an, muncul pula berbagai perusahaan lain yang ikut-ikutan mencari peruntungan dari industri ini. Satu yang fenomenal adalah Hanna and Barberra Produc-tion, yang didirikan oleh dua orang penting di MGM ketika itu, yakni William Hanna dan Joseph Barbera. Serial animasi yang mereka buat sungguh luar biasa, seperti The Flintstones, The Smurfs, Yogi Bear, The Shirt Tales, dan Scooby-Doo, yang sampai sekarang masih menjadi tontonan wajib penggemar animasi.

Hingga dasawarsa 1970, duet ini merupakan penyumbang tontonan yang paling besar. Dalam dekade 1970 hingga 1990, serial animasi mengalami masa keemasan, yang menjejali acara pada Sabtu pagi di berbagai stasiun televisi di Amerika Serikat. Sayang, seiring dengan surutnya era itu, yang mulai ambruk pada tahun 1990-an, perusahaan ini kehabisan tenaga dan tak mampu lagi berduel dengan para pemain baru. Perusahaan ini runtuh dan jatuh ke sindikasi broadcast yang dikuasai Time Warner. Itu sebabnya, film mereka kini muncul di Cartoon Networks.

Dekade baru ini memang menjadi perjalanan berat bagi animasi klasik seperti karya-karya William Hanna. Salah satu sebabnya, pada saat itu muncul tren: animasi tidak lagi menjadi sekadar milik anak-anak. Ketika itu mulai bergulir gelombang animasi yang juga menyabet target orang dewasa. Hal ini ditandai dengan serial The Simpsons, karya Matt Groening, yang dibuat berdasarkan sebuah animasi pendek dalam bagian The Tracy Uan Show, yang merupakan serial pada jam utama pertama sejak The Flinstones yang banyak diminati orang.

Serial The Simpsons untuk beberapa ke depan kelak menjadi sebuah ikon baru di kalangan generasi 1980-an. Berkisah tentang sebuah keluarga menengah bawah AS, The Simpsons menggunakan skenario film drama. Kelebihan serial ini justru pada cerita film, karakterisasi, dan dialog yang menggigit, terkadang pahit tapi tetap menyemburkan humor. Tokoh yang berkisah tentang Bart Simpson, anak lelaki nakal yang berhati baik, dengan ayahnya Homer, pekerja pabrik yang sesekali tergelincir pada keinginan manusiawi; ibunya, Marge, yang memiliki sikap demokratis dan pengertian; adiknya, Lisa Simpson, pemain saksofon yang cerdas, pandai bicara, dan penggemar musik blues; serta si bungsu Maggie yang masih bayi, pandai meniru adegan-adegan film dan identik dengan dot di mulutnya. Visualisasi para tokoh utama The Simpsons tidak menampilkan idealisasi wajah Hollywood. Para tokoh tampil dengan kesengajaan pemiuhan di berbagai bagian wajah: mata yang bulat nyaris terlempar keluar dari kelopak mata; rambut berdiri bak landak (Bart) atau menjulang bak gunung (Marge). Justru karakterisasi wajah inilah yang kemudian menyebabkan The Simpsons menjadi ikon: sebuah simbol keluarga kelas menengah bawah Amerika yang menatap hidup yang pahit ini dengan humor.

Tumbuhnya film animasi untuk kaum dewasa ini tak lepas dari pengaruh eksplorasi dari banyak animator yang ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Pada 1989 sebuah festival animasi pendek, yang di-organisasi oleh Craig Decker and Mike Gribble di San Diego, mulai memutar film-film animasi pendek di berbagai bioskop di sana. Film-film pendek yang dibuat oleh mahasiswa Institut Kesenian California itu dibiayai oleh Dewan Nasional Film Kanada. Festival ini pula yang kemudian melahirkan karya John Lasseter, Nick Park, dan Mike Judge. Salah satu karya Mike Judge, Frog Baseball, menjadi salah satu kemunculannya, sebelum sukses dengan karakter yang kontroversial Beavis and Butthead.

Namun, yang paling penting, perkembangan dunia animasi langsung meluncur deras saat teknologi komputer kian maju. Gara-gara itu pula, Disney, penguasa lama hiburan ini, kembali menjadi jagoan. Tapi bedanya bukan di kotak kaca televisi, melainkan di layar bioskop. Hal itu dimulai saat muncul film Who Framed Roger Rabbit karya Robert Zemeckis, yang meng- gabungkan teknik animasi yang luar biasa.

Sejak itu teknologi komputer mulai dilirik. Film Beauty and the Beast kemudian menjadi film animasi yang menggegerkan di panggung Academy Award karena kemampuannya menampilkan adegan-adegan animasi—adegan dansa walsa, adegan menyanyi—seperti adegan film, dengan jasa teknologi dahsyat ber-nama kompugrafik (teknik ajaib yang kemudian menjadi primadona). Setelah sukses Beauty and the Beast, menyusul karya Disney lainnya seperti The Lion King (adegan ribuan binatang yang berlari yang menyebabkan kematian Mufasa, ayah Simba), Aladdin (adegan permadani melayang), Pocahontas (adegan pohon-pohon yang memiliki roh), dan seterusnya, yang menggunakan resep sama: penggunaan kompugrafik; musik menjadi nyawa film; aktor dan aktris terkemuka sebagai pengisi suara, dan jangan lupa… kerja sama yang mesra dengan McDonald's untuk melengkapi kegilaan anak-anak terhadap merchandise Disney. Yeah....

Hal itu terjadi karena pada saat yang bersamaan, ketika bentuk efek animasi seperti ini memasuki film besar Hollywood seperti Jurassic Park atau juga The Lord of the Rings, yang benar-benar memanjakan mata.

Kemajuan teknologi itulah yang kemudian membuat animasi mendapatkan tempat terhormat di ajang Academy Award sendiri. Sejak 2001, Academy of Motion Pictures Arts and Science, penyelenggara penghargaan Oscar, memperkenalkan sebuah penghargaan baru untuk kategori film panjang animasi. Keluar sebagai pemenang, pertama kalinya adalah Shrek, yang merupakan produk Dreamworks.

Namun sebelumnya para animator Disney berjaya. Mereka langsung menghasilkan sebuah film panjang yang berbasis pada efek seperti itu dengan karya Beauty and the Beast. Bahkan pada 1995, bekerja sama dengan Pixar, mereka memproduksi Toy Story, yang merupakan film pertama yang dibuat oleh komputer. Fenomena film ini kemudian yang menumbuhkan gejala baru di Hollywood dengan maraknya peng- gunaan animasi komputer.

Disney memang agresif. Dalam teknologi, cgi (computer generated imagery) bekerja sama dengan Pixar dengan melakukan perjanjian selama sepuluh tahun dengan lima film panjang yang biaya dan keuntungannya dibagi dua. Pilihan yang tak keliru. Pixar merupakan spesialis dalam teknologi mutakhir teknologi komputer grafis yang menghasilkan software RenderMan, yang menghasilkan kualitas tinggi. Tak perlu heran, karena Pixar dimiliki oleh Steve Jobs, pendiri sekaligus bos Apple Computer. Awalnya, perusahaan ini merupakan bagian dari Lucas Film tapi kemudian dalam perkembangannya dibeli oleh Jobs pada 1986 dengan harga sekitar US$ 10 juta.

Namun sesungguhnya bintang dari cgi ini tak lain adalah Pixar, yang jauh sebelum berkongsi dengan Disney dalam Toy Story, mereka sudah menyabet penghargaan Oscar untuk animasi pendeknya, Tin Toy. Bukti lainnya, saat Disney mencoba membuat sendiri film dengan basis komputer grafis yakni Dinosaur, hasilnya tidaklah menggembirakan.

Studio lain yang mencoba membuat hal yang serupa adalah Dreamworks—yang dibentuk oleh Jeff Katzenberg, yang tak lain merupakan orang penting di Disney yang kemudian membentuk studio bersama Steven Spielberg dan David Geffen. Setelah mereka mengeluarkan Antz dan Small Soldiers, yang masih juga kalah dari Disney-Pixar A Bug's Life dan Toy Story, akhirnya mereka bisa merebut hati dengan film Shrek. Tak tanggung-tanggung, film tentang raksasa hijau ini menjadi box office dan merebut penghargaan Oscar, menumpas film Disney yang berjaya pada tahun itu, Atlantis. Juga, mengalahkan buatan 20th-Century Fox, Ice Age.

Perkembangan animasi pun kian menggila. Pada 2001, muncul sebuah film dengan menggunakan teknologi yang lebih maju—dengan memakai foto realis dari manusia—yakni Final Fantasy, The Spirits Within. Meski banyak dicerca, film berbasis pada kisah dari video game ini cukup mendulang uang yang tidak sedikit.

Kemajuan teknologi ini membuat banyak studio meninggalkan animasi klasik. Tak terkecuali Disney dan Dreamworks, yang meninggalkan animasi tradisional dan mulai menggauli animasi komputer sejak tahun ini. Sedangkan animasi yang menggunakan sel akan lebih banyak berada di televisi.

Tamatkah era animasi klasik? Ternyata tidak. Dalam Academy Award tahun ini, ternyata mereka yang tampil dengan amunisi teknologi yang mumpuni, dengan teknologi tiga dimensinya, harus bertekuk lutut pada permainan animasi yang luar biasa dari Negeri Matahari Terbit, yang mengeluarkan film animasi panjang yang bertitel Spirited Away, atau dalam judul aslinya Sen to Chihiro no Kamikakushi, arahan Hayao Miyazaki. Sebelumnya, dia juga mengejutkan dengan karyanya Prince of Mononoke.

Ancaman animasi Jepang ini bukan yang pertama kali. Pada dekade 1960, produk anime mulai masuk ke pasar Amerika Utara, dengan serial Astroboy dan Speed Racer, kemudian disusul dengan Battle of the Planets dan Star Blazers pada dasawarsa 1970, serta Voltron dan Robotech pada tahun 1980-an.

Tentu saja ini merupakan hal yang menarik. Pasalnya, pada awalnya animasi Jepang tumbuh dirintis oleh orang-orang yang sekadar mempunyai minat terhadap animasi yang lebih dulu berkembang di Amerika Serikat. Malah, pada awalnya mereka lebih banyak menjiplak karakter yang sudah terkenal, seperti Felix the Cats, yang kemudian disisipi dengan dramatisasi kebanyakan cerita rakyat di negeri itu.

Barulah pada tahun 1930-an, mereka mulai mengadaptasi cerita dan karakter dari komik yang ada. Misalnya, Private 2nd-Class Norakuro, karya Mituyo Seo tahun 1934, yang mengambil komik strip Suihou Tagawa yang berkisah tentang anjing tentara yang selalu sial. Selanjutnya, seiring dengan maraknya anime atau kartun Jepang, animasi mereka pun mulai mendapat bentuk dan mulai meruyak ke berbagai penjuru dunia.

Tentu saja mereka tidak bisa nyelonong begitu saja. Sesuai dengan kebijakan di sana, setiap serial animasi yang masuk harus melalui sensor yang ketat. Meskipun dampak mereka terhadap seni di Amerika Utara kecil, diam-diam mereka mulai mendapatkan tempat. Apalagi ketika serial Robotech, dengan jalan cerita yang lebih lengkap dan pengurangan unsur kekerasannya, mereka mulai menuai popularitas. Pada tahun 1990-an. Serial animasi seperti Pokemon, Doraemon, Sailor Moon, dan Digimon akhirnya menyebar, termasuk ke Indonesia, melalui berbagai stasiun televisi.

Seperti dalam banyak hal, Indonesia lebih banyak berperan sebagai penikmat, tak terkecuali dalam soal animasi ini. Setelah kita berbuih-buih membicarakan animasi Amerika dan Jepang yang dahsyat, yuk kita menjenguk animasi Tanah Air. Dan mari kita menghela napas. Produksi animasi Indonesia dimulai pada dekade 1950. Ketika itu Perusahaan Film Negara mulai mengirimkan orang-orangnya ke studio Disney untuk belajar membuat film animasi. Hasilnya, muncullah Si Doel Memilih, yang tak lain merupakan sebuah film propaganda pemilu. Lama tayangan film ini pun cuma lima menit.

Namun perkembangan yang mencolok terjadi ketika televisi mulai dinikmati bangsa ini, tepatnya dengan program Manasuka Siaran Niaga, yang tak lain merupakan program iklan. Tapi toh produk animasi kita sama sekali tak pernah muncul. Dahulu sekali, ketika kita masih kanak-kanak, di TVRI pernah muncul serial Huma. Sayang, setelah iklan dilarang masuk televisi, industri ini pun kemudian mandek (lihat Animasi Indonesia di Tengah Kemegahan Animasi Dunia).

Industri animasi nasional sendiri baru bergerak kembali setelah diizinkannya stasiun televisi swasta mengudara. Sejak itulah, industri ini seperti masuk jalan tol yang bebas hambatan. Tapi tentu saja tidak langung ngejegur seperti bom. Mereka berkembang perlahan. Maklum, dengan infrastruktur seperti ini, para animator seperti Denny Djoenaed, dosen IKJ yang juga memiliki studio animasi, banyak mengerjakan animasi untuk iklan.

Tentu saja bukan tak berarti mereka tak membuat terobosan. Beberapa dari mereka mencoba memanfaatkan media baru seperti video compact disc. Namun, ndilalah, karya mereka malah menjadi santapan para pembajak. Alhasil, membuat film panjang, seperti kerap dilakukan Disney, menjadi seperti awan di langit biru tak tergapai.

"Biayanya memang mahal," kata Chandra Endroputro, sutradara film Janus, Prajurit Terakhir—film yang menggabungkan teknik animasi tiga dimensi. Film yang menyedot biaya hingga Rp 2 miliar itu makin membengkak bila dibuat dengan animasi murni. Akibatnya? Animasi Indonesia seperti tentara yang latihan baris-berbaris alias jalan di tempat.

Alhasil, tak banyak yang bisa dikerjakan. Animator Indonesia lebih banyak bermain-main dalam pengerjaan bagian-bagian tertentu dari sebuah film animasi. Cuma, nama mereka tidak muncul dalam credit tittle. Maklumlah, mereka juga melakukan pekerjaan tukang atau yang lazim disebut in between. Salah satu karya yang menonjol adalah Petualangan Carlos, yang diproduksi Castle Animation. Mereka hanya melakukan pekerjaan kasar, karena seluruhnya, mulai dari cerita hingga karakternya, berasal dari negeri Spanyol.

Namun ada kabar baik. Dari Yogyakarta Studio Kasatmata dan Visi Anak Bangsa sedang sibuk menggarap film animasi panjang pertama, judulnya Homeland yang akan dirilis awal tahun depan. Mudah-mudahan, film ini bisa memberikan tiupan napas baru.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus