Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika pemilihan presiden dilakukan sekarang, Megawati Soekarnoputri akan mengalahkan Susilo Bambang Yudhoyono di Kota Blitar. Itulah hasil survei Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Pusdeham) Surabaya, Agustus lalu. Tapi pemilihan umum masih dua tahun lagi dan lebih dari 80 persen penduduk Blitar belum menentukan pilihannya. Bukan tidak mungkin, pada hari-H nanti, Yudhoyono akan kembali mengalahkan jagoan PDI Perjuangan itu.
Bagi Megawati, Blitar memang sebuah anomali. Dalam pemilihan legislatif pascareformasi, PDI Perjuangan terus-menerus menjadi jawara. Selain itu, kader partai banteng bermoncong putih itu, Djarot Syaiful Hidayat, sudah dua kali ini terpilih menjadi Wali Kota Blitar. Tapi, dalam pemilihan presiden tiga tahun lalu, di tanah leluhur tempat ayahnya, proklamator Soekarno, dimakamkan, Megawati keok baik di putaran pertama maupun putaran kedua.
Kekalahan itu tentu saja menyesakkan. Kota Blitar sudah seperti kampung halaman Megawati. Selain ayah, kakek-nenek Megawati juga dimakamkan di sana. Makam Bung Karno di Bendogerit bahkan seperti magnet bagi para pendukung Megawati di seantero Nusantara. Setiap tahun, ratusan ribu orang berziarah di makam tersebut. Namun tetap saja tidak ada figur hidup yang mewakili hadirnya Megawati di Blitar.
Berbeda dengan Yudhoyono. Meskipun Kota Blitar bukan kampung halamannya, ada figur hidup yang setidaknya mewakili dia, yakni ibundanya, Siti Habibah. Sejak bercerai dengan Soekotjo, Habibah memang menetap di Blitar hingga kini. Bekas anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Blitar, Rita Triana, mengatakan kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden 2004 akibat pintarnya Partai Demokrat memanfaatkan ibunda Yudhoyono.
Habibah cukup rajin berkampanye mendulangkan suara untuk anak satu-satunya itu. Ia banyak mendatangi pertemuan warga, dari pengajian dan selamatan sampai kegiatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional. Apalagi Yudhoyono juga kerap mengunjungi Blitar untuk sekadar sungkem ke ibundanya. "Inilah yang membangkitkan kedekatan orang Blitar ke SBY ketimbang ke Megawati," katanya.
Selain itu, kata Direktur Pusdeham Surabaya, Muhammad Asfar, kalangan nasionalis di Blitar melihat kandidat Partai Demokrat itu tak berbeda dengan Megawati. Keduanya dianggap sebagai simbol yang mewakili kaum nasionalis. Ditambah dengan kehadiran Habibah, Yudhoyono pun mampu mengalahkan Mega. Apalagi suara PDI Perjuangan pada pemilu legislatif 2004 memang jauh menurun ketimbang 1999, ketika partai itu meraih separuh suara di Blitar.
Meskipun demikian, pada Pemilu 2009, Yudhoyono harus cerdik memikat kembali pendukungnya di Kota Blitar. Jika survei Pusdeham dijadikan acuan, bisa dikatakan sebagian kecil warga Blitar sudah memilih Megawati. Sebagian besar yang lain masih menunggu apa yang akan dihasilkan Yudhoyono dalam dua tahun ke depan.
Hasil Pemilihan Presiden 2004 Kota Blitar Sumber: KPU
Putaran PertamaSBY-Kalla33.576Megawati-Hasyim29.143Wiranto-Salahuddin8.384Amien-Siswono5.058Hamzah-Agum1.319
Putaran KeduaSBY-Kalla40.396Megawati-Hasyim35.787
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo