Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USIANYA 15 tahun ketika Tenzing Sonam, di sekolah Yesuit di Darjeeling, India, melihat surat kabar yang ditempel di dinding buletin sekolah. ”Ada judul berita di halaman muka yang berbunyi seperti ’Bandit Tibet, Pemimpin Perang, Ditangkap’. Ketika saya baca, baru saya tahu yang mereka maksud itu ayah saya,” katanya kepada The Daily Telegraph. Saat itu musim panas 1974.
Meski bingung, Tenzing memilih diam dan masuk kelas. Ia hanya tahu selama ini Lhamo Tsering, ayahnya, bekerja untuk pemerintahan Dalai Lama di pengasingan. Sang ibu datang ke sekolah dan menyampaikan apa yang terjadi, sejauh yang ia tahu. Ternyata Tsering ditangkap di Nepal. Tudingannya, ia menjadi koordinator gerakan bawah tanah yang disponsori intelijen Amerika, dengan nama kode ST Circus.
Tenzing lahir di India pada 1959, tahun ketika Dalai Lama datang mencari suaka politik. Setelah lulus dari Universitas Delhi, dia bekerja sebentar untuk pemerintahan Tibet di pengasingan, sebelum kuliah film di Universitas California, Berkeley.
Bersama Ritu Sarin, sang istri yang juga sutradara, Tenzing mendirikan White Crane Films dan fokus membuat film dokumenter tentang Tibet: The Reincarnation of Khyentse Rinpoche, The Trial of Telo Rinpoche, A Stranger in My Native Land, The Shadow Circus: CIA in Tibet, dan satu film fiksi, Dreaming Lhasa, yang memberikan potret menarik akan rasa asing dan kegelisahan yang dialami generasi muda Tibet di tanah pengasingannya. Semua filmnya telah masuk beberapa festival film internasional. Hampir semuanya, pada Maret lalu, diputar di Galeri Foto Jurnalistik Antara sebagai peringatan pendudukan Cina di Tibet.
Berikut petikan wawancara Tempo dengan Tenzing, yang tinggal di New Delhi, India, melalui surat elektronik yang dikirim Kamis pagi lalu:
Film A Stranger in My Native Land melukiskan perasaan keterasingan yang kuat sekali antara Anda yang lahir di pengasingan dan tanah leluhur. Seberapa sulit membuatnya?
Saya beruntung mengetahui dengan jelas di mana keluarga saya tinggal di Tibet. Salah satu sepupu dari pihak ayah yang tinggal di sana juga sempat bertandang ke India, di mana kami sempat bertemu. Di India, dia belajar bahasa Tibet dalam dialek Lhasa yang kami gunakan di pengasingan. Tapi ternyata di kampung ayah saya—sekitar Biara Kumbum—tak ada lagi yang bicara bahasa Tibet. Jadi saya beruntung punya sepupu yang bisa menerjemahkannya untuk saya.
Yang paling sulit diterima adalah bagaimana kampung ayah saya itu sudah demikian kuat pengaruh Cinanya. Sama sekali tidak mirip ide yang romantis akan Tibet. Jauh lebih mudah di Lhasa, kampung ibu saya, karena kami berbahasa yang sama. Tapi ketika saya pergi ke Lhasa pada 1995 itu, situasinya tegang. Saya gelisah sekali, merasa kami diikuti ke mana-mana. Akibatnya, kami jadi sangat-sangat hati-hati dalam mengambil gambar.
Bagaimana rasanya tumbuh besar di India?
Komunitas Tibet di India punya situasi yang sangat unik. Ada eksistensi yang sangat paralel dengan dunianya sendiri sebelum itu, dunia yang sangat Tibet. Ini berarti kami dibesarkan dengan rasa ke-Tibet-an yang sangat dalam. Kami selalu percaya kami akan kembali ke Tibet yang merdeka. Inilah tujuan dari perjuangan kami dan eksistensi kami di pengasingan. Saya juga tumbuh dengan rasa rindu luar biasa pada tanah air yang belum pernah saya lihat.
Bagaimana pengalaman pertama Anda pergi ke Tibet?
Ya, sewaktu membuat film itu, itulah untuk pertama kalinya saya menginjak Tibet. Tentu saja sangat menyentuh dan jadi pengalaman yang depresif. Saya tahu betapa luas dan beragamnya Tibet, tapi tak berkutik di bawah pengaruh ketat dari Tiongkok. Tapi pada saat yang sama, saya entah bagaimana merasa kehadiran Cina di Tibet hanya sementara, seolah seperti mereka tak punya tempat di situ. Dan saya menjadi lebih bersemangat lagi ketika melihat betapa kuatnya identitas Tibet, meski dalam kungkungan demikian rupa.
Apakah Anda penganut Buddha yang taat? Anda pernah belajar di biara?
Saya tak bisa mengatakan saya taat, meski saya selalu berusaha hidup sesuai dengan prinsip Buddha. Tidak, saya tak pernah dibesarkan di biara. Saya justru pergi ke sekolah Katolik di Darjeeling!
Di mana dan bagaimana Anda mempelajari masa lalu Tibet, sebelum Cina datang? Siapa yang mengajari dan apa pendapat Anda tentang itu?
Ibu yang mengajari saya tentang kehidupan Tibet sebelum Cina datang. Tentu saja saya besar dengan berbagai imaji tentang Tibet sebagai tanah yang indah, yang warganya hidup damai dan bahagia. Kemudian, saya banyak baca sejarah Tibet dan menemukan, seperti juga semua bangsa lain, ada yang baik, ada yang buruk pada Tibet di masa lalu. Masalah paling besar datang dari betapa konservatifnya kelas penguasa, yang merupakan kombinasi dari kalangan biara dan ningrat, yang tak mengizinkan adanya perubahan atau modernisasi. Inilah yang membawa ke invasi Cina ke Tibet.
Apakah Anda ingin membuat potret masa lalu Tibet dalam film?
Tentu saja, saya ingin mengeksplorasi sejumlah hal dari masa prakomunis. Salah satunya tentang tradisi musik Lhasa di masa lalu.
Secara politik, apakah Anda ingin melihat Tibet merdeka sebagai bangsa? Bagaimana bentuk yang terbaik?
Semua orang Tibet percaya, Tibet punya hak untuk hidup sebagai negara merdeka yang menguasai sendiri nasibnya. Saya percaya, demokrasi parlementer adalah yang terbaik.
Bagaimana cara memperolehnya? Bagaimana langkah negosiasi dengan Cina mestinya digagas?
Rezim penguasa Cina saat ini telah menegaskan, mereka tidak akan melakukan negosiasi tentang status Tibet dengan Dalai Lama atau siapa pun. Strateginya adalah menunggu Dalai Lama meninggal (tahun ini ia sudah 75 tahun), dan berharap masalahnya selesai. Penguasa yang sekarang tak akan bergerak dari posisinya.
Karena itu, yang paling masuk akal bagi warga Tibet adalah memastikan perjuangannya tetap kuat untuk waktu yang lama. Saya percaya, Cina akan berubah, dan ketika perubahan itu datang, warga Tibet harus siap untuk mengambil alih. Ini artinya perjuangan kemerdekaan harus siap diubah. Pada waktu yang sama, sangat penting pemerintahan Tibet di pengasingan harus terus melanjutkan sisi demokrasi yang kuat, meski suatu saat Dalai Lama tak lagi memimpin.
Punya kritik untuk Dalai Lama?
Saya percaya bahwa ”Pendekatan Jalan Tengah” Dalai Lama—yang bersedia tidak merdeka asalkan mendapat otonomi murni yang juga mencakup wilayah Amdo dan Khan yang dicaplok Cina—telah mencapai jalan buntu. Tiba saatnya kami berpikir tentang alternatif baru. Saya setuju bila kami kembali ke ide merdeka.
Apa harapan Anda untuk masa depan Tibet di Dharamsala?
Harapan saya yang terbesar adalah agar komunitas Tibet di pengasingan bisa merealisasikan masyarakat demokratik, yang menjalankan agama dan politik secara terpisah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo