Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Meretas Nestapa Sampai ke Taiwan

Para pria Taiwan ramai-ramai "turun" ke Jakarta mencari perempuan "Cina Benteng" untuk diperistri. Dengan melibatkan molang (perantara) kedua negara, mereka hanya perlu menyediakan Rp 5 juta untuk menggaet gadis idaman dalam sebuah proses lamaran (sangjitan) yang ringkas. Kemelaratan menahun dan pendidikan yang terbatas membuat para gadis Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, ini lebih memilih jalan pintas. Ada yang mujur, banyak yang malang. Wartawati Tempo, Istiqomatul Hayati, melacak praktek ini sejak dari tempat tinggal para gadis itu di Kampung Belakang hingga Taiwan.

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Meretas Nestapa Sampai ke Taiwan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Foto pengantin itu terasa ganjil. Seorang pria paruh baya bersandingkan gadis belia yang dipoles riasan tebal. Pria bernama Ahian tersebut tampak berusaha terlihat mesra. Sedangkan si gadis hanya tersenyum datar. Bedak dan gincu tak kuasa menyembunyikan kemudaannya.

"Saat itu saya baru 13 tahun," ujar Keke, si gadis dalam potret itu. Sedangkan Ahian, pria Taiwan, sudah 50 tahun-lebih tua dari ayah Keke. Pernikahan itu bukan sekadar pose kosong. Sebelum naik pelaminan, proses perkenalan hingga lamaran telah mereka jalani. Bedanya, semuanya dijalani secara instan lewat proses perjodohan (chesaw).

Adalah Cin Lo, nenek Keke sendiri, yang menge-nalkan dia kepada Ahian di sebuah hotel di Mangga Besar, Jakarta, pertengahan 2005. Bersama Keke, waktu itu ada lima perempuan muda yang datang dengan maksud serupa. Mereka datang untuk "diseleksi" Ahian. Ternyata Ahian memilih Keke.

Esoknya, proses lamaran atau sangjitan dilakukan. Ahian mendatangi rumah Keke dan menyatakan niatnya meminang si gadis. Proses ini ditandai dengan penyerahan uang Rp 5 juta kepada calon mertua. Hari itu juga diadakan pesta makan di restoran dan diakhiri dengan potret pengantin di studio. Sejak itu, "resmilah" Ahian dan Keke jadi suami-istri-tanpa ke catatan sipil atau disahkan secara agama.

Tidak ada satu orang pun yang memaksa Keke melakukan itu. Dia sendiri yang mengajukan diri. "Untuk meringankan beban orang tua," ujar gadis yang tinggal di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, itu. Kawasan ini juga dikenal sebagai salah satu sentra permukiman koloni Cina Benteng (baca: Melarat Sejak Dulu).

Keke hanyalah salah satu contoh perkawinan ala sangjitan yang marak di komunitas Cina Benteng belakangan ini. Nenek Keke, yang kerap berperan sebagai molang (perantara), mengaku bisa menjodohkan tiga pasang dalam sebulan. Di Kampung Belakang, bukan cuma Cin Lo yang menjadi molang.

Molang juga tak hanya ada di Kampung Belakang. Mereka ternyata masih punya "atasan" di Jakarta kota. Mereka inilah yang berhubungan dengan molang di Taiwan yang memegang kendali biro jodoh. Mereka biasanya orang Singkawang atau Medan yang sudah lama menikah dengan orang Taiwan.

l l l

Beberapa perempuan Kampung Belakang yang ditemui Tempo mengaku rela menjalani perjodohan macam itu untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan yang sudah mendera mereka berabad-abad. Apa boleh buat, sudah lama komunitas masyarakat ini memang tak beruntung secara ekonomis.

Saat Tempo menyusuri Kampung Belakang, pemandangan getir segera menyergap. Rumah kontrakan saling berimpitan dan hanya disekat gang sempit. Jika sebuah sepeda motor melintas, yang lain harus menunggu giliran lewat.

Warga Kampung Belakang kebanyakan bekerja di sektor informal: tukang ojek, kuli, pemulung, buruh cuci, hingga pedagang nomor buntut. Sungguh bukan jenis pekerjaan yang menjanjikan pendapatan besar. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan harian, "Untuk membayar kontrakan saja sering nunggak," kata Uin Nio, yang bekerja sebagai tukang masak di vihara setempat. Harga kontrakan di sana berkisar Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan.

Kemiskinan dan pendidikan yang rendah membuat gadis Kampung Belakang tak punya banyak pilihan. Mereka bagai putus harapan sampai kemudian merebak gejala perkawinan lewat perjodohan (chesaw) ala Taiwan ini. Perjodohan inilah yang kini menjadi salah satu cara sebagian perempuan muda Kampung Belakang yang ingin mengubah garis nasibnya.

Adalah Hwang Li Na alias Yana, yang menjadi awal cerita ini. Ayah Yana penarik ojek, dan ibunya berjualan nomor buntut. Tiba-tiba suatu hari ia dikenalkan dengan pria Taiwan bernama Ie Sek. Singkat cerita, lelaki seberang itu tertarik dan terjadilah sangjitan. Saat itu, ia memberikan Rp 2,5 juta untuk orang tua Yana. Pesta pun digelar. Kini Yana hidup sejahtera di Kota Chiayi (baca: Bintang Kampung Belakang).

Sejak itu, chesaw dianggap sebagai jalan pintas untuk lolos dari jerat kenestapaan. Peluang ini akhirnya memunculkan molang seperti Cin Lo. Dia memulainya tiga tahun lalu dengan menjodohkan anaknya sendiri, Elik dan Yeye, dengan orang Taiwan. Setelah itu banyak gadis datang kepadanya. Belakangan, katanya, kian banyak orang menjadi molang. Wajar saja, untuk setiap perjodohan yang berhasil, molang akan mendapat fee Rp 3 juta. Amat besar untuk ukuran Kampung Belakang.

Dia menambahkan, order untuk melakukan perjodohan datang lewat telepon oleh "atasannya" di kawasan Jakarta Kota. "Dia mengabarkan ada orang Taiwan yang akan turun mencari istri," katanya. Maka, para molang segera berkeliling di Kampung Belakang mencari gadis yang bersedia dinikahi Orang Taiwan. Kadang molang-seperti Cin Lo- sudah punya catatan perempuan yang bersedia dikawin.

Setelah itu, molang akan mengantarkan "si calon istri" ke hotel di kawasan kota. Di sana biasanya sudah menunggu lima perempuan lain yang dibawa molang pesaing. Mereka lalu dipajang.

Jika ada yang cocok, calon istri "terpilih" akan diberi tanda jadi Rp 1 juta untuk belanja persiapan sangjitan. Lalu keesokan harinya dimulailah proses sangjitan. Usai proses ini, kedua mempelai menginap di hotel bak suami-istri yang sah.

l l l

Para molang sepenuhnya tahu bahwa perkawinan ini amat berisiko. Maka sejak awal mereka memasang radar untuk membaca karakter pria Taiwan yang "turun" itu. "Kalau kelihatan kurang baik, tidak saya izinin diteruskan," kata Cin Lo.

Perkara itu tampaknya bahkan lebih penting ketimbang soal absah-tidaknya perkawinan itu sendiri. Cin Lo, misalnya, beranggapan, meski tak bersandar pada agama, praktek itu halal. "Mereka tetap menikah meski tidak di depan Tuhan." Yang penting, katanya, restu orang tua si gadis sudah didapat. "Lagi pula cara ini yang diminta para pria Taiwan."

Untuk memuluskan kerjanya, molang lokal punya hubungan dengan biro jodoh di Taiwan. Biro inilah yang dipasrahi orang Taiwan untuk mengurus perjodohannya di Indonesia. Dengan 300 ribu NT (the new Taiwan dollar), setara dengan Rp 84 juta (1 NT=Rp 280), mereka tak perlu pusing memikirkan biaya perjalanan dan akomodasi, uang sangjitan, dan angpau. Harga itu sudah termasuk untuk pengurusan surat nikah dan imigrasi.

Surat nikah? Ya, biasanya setelah berbulan madu di hotel, sang "suami" akan kembali ke Taiwan. Kelak, setelah enam bulan, pengantin wanita baru akan diboyong ke Taiwan setelah para calo kelar mengurus surat nikah dan administrasi.

Dari sinilah bermacam kisah bisa terjadi. Tak jarang dengan berbagai alasan sang pria tak kembali dan perkawinan batal begitu saja. Keke adalah salah satu korbannya. Hingga kini pak tua yang telah merenggut kegadisannya tak terdengar kabarnya.

Nasib Heni, 21, setali tiga uang. Ia sudah menjalani sangjitan dengan pria 65 tahun. Setelah setahun Heni menunggu, pria gaek itu tak juga datang menjemputnya. Alhasil, kekecewaanlah yang kini ia rasakan. Tetapi itu hanya sebentar. Seorang anak buah kapal Taiwan berumur 56 tahun saat ini sudah meminatinya.

Untuk mereka yang akhirnya jadi berangkat ke Taiwan, seribu kemungkinan juga menunggu. Yana mungkin bernasib mujur-seperti halnya Lian (baca: Demi Susu Anak). Kedua perempuan itu beruntung mendapat suami dan keluarga baru yang menerimanya dengan baik.

Tetapi selalu ada sisi kelam dalam sebuah kisah. Yanti, anak Cin Lo yang lain, kini terpaksa bekerja serabutan di Taiwan setelah bercerai dengan suami yang kerap menyiksanya. Kini ia sering menemani para pria di tempat karaoke guna menutup biaya hidupnya yang tinggi (baca: Elegi untuk Yanti). Ketidakberuntungan juga menyergap Melcy, yang "terjebak" dikawini pria pengidap keterbelakangan mental (baca: Suaminya Murah Senyum).

Gejala perkawinan internasional pria Taiwan ini tak luput dari pengamatan Li Hsiu-Lin, staf Rerum Nova Rum, lembaga swadaya masyarakat lokal yang mengadvokasi pekerja asing. Menurut Li, tidak hanya gadis dari Indonesia, pria Taiwan juga suka mencari perempuan dari negara lain, terutama Vietnam.

Menurut Li, fenomena ini marak karena perempuan terdidik Taiwan tidak kebelet nikah buru-buru. Alasan lain, konon pria Taiwan banyak yang tak mampu membayar mahar yang tinggi.

Entah alasan mana yang benar. Suami Lian mengaku menikah dengan perempuan asing setelah perkawinannya dengan wanita setempat gagal. Sementara Ie Sek mencontoh keberhasilan kerabat mereka yang kawin dengan orang asing.

l l l

Apa boleh buat, perkawinan sangjitan ini terasa kental aroma bisnisnya. Seribu risiko sudah disadari, tapi kemelaratan menahun menyaput semua itu, seperti Keke yang tak pernah menyesali kegagalannya menggapai harapan ke Taiwan. "Saya sudah sumpek di sini," katanya. Lulusan SD ini berharap kelak nasibnya lebih baik.

Begitu pula dengan Yanti. Kegagalan itu tak membuatnya keder untuk kembali ke Taiwan mengadu peruntungannya. Dan apa kata Cin Lo yang mengaku rutin pergi ke gereja dua kali sepekan? "Saya titipkan Yanti pada Tuhan saja."

TW/Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus