Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Shiu Cen: Elegi Seorang Yanti

Frustrasi pada lelaki dan kemelaratan membuat dia nekat ke Taiwan. Nasibnya tak kunjung berubah.

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Shiu Cen: Elegi Seorang Yanti
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Haryanti tak seberuntung Yana. Setelah mengalami masa-masa sulit dengan suami-nya, perempuan 27 tahun itu kini terpaksa rela kos di kamar berdinding tripleks tanpa ventilasi. Perempuan bernama Tionghoa Shiu Cen ini tinggal di lantai dua sebuah bangunan di belakang stasiun Kota Tao Yuan—60 kilometer dari Taipei. Pemilik rumah itu adalah seorang kakek yang menjual barang elektronik bekas di lantai bawah.

”Saya sudah empat bulan tinggal di sini. Sebelumnya berpindah-pindah,” kata wanita yang biasa disapa Yanti ini. Kamarnya tak bisa dibilang rapi. Ketika disambangi Tempo akhir November silam, barang-barang seperti tisu, alat-alat make up, obat-obatan, gelas kotor, dan sisa makanan bercampur-baur di atas meja. Dua kantong plastik sampah tampak teronggok di sudut ruangan. Serombongan lalat berpesta di sekitar sampah berbau itu.

Memang ada mesin pendingin udara untuk kamar bertarif 3.500 NT atau hampir sejuta rupiah per bulan itu. Tetapi pendingin udara murahan itu tak mampu mengatasi kepengapan ruangan. Dari pemilik kos, Yanti juga menikmati fasilitas televisi 21 inci, ranjang, dan sebuah kamar mandi dengan keran air panas.

Untuk menopang hidup, Yanti bekerja serabutan. Saat ini dia bekerja pada ”pengusaha” nasi bungkus dengan upah 3.000 NT per bulan (Rp 840 ribu). Bagi Yanti, uang itu jauh dari cukup untuk mengongkosi hidupnya yang berselera. ”Saya sudah nggak bisa hidup miskin. Saya ingin kaya.”

Untuk menutup kekurangannya—upahnya tak cukup untuk menutup biaya kontrakannya—perempuan bertubuh mungil ini bergantung pada pacar-pacarnya. Ya, ia memang suka gonta-ganti pacar untuk memanfaatkan uang mereka. ”Kalau dia mau biayai hidup saya, akan saya beri pelayanan paling oke.”

Yanti sepertinya sudah letih dengan kesengsaraannya selama ini. Ia terdampar ke Taiwan setelah beberapa kali dicampakkan lelaki saat masih di Kampung Belakang, Kamal, Kalideres, Jakarta Barat. Frustrasi karena selalu ditendang, ditambah kemelaratan, anak ketiga lima bersaudara ini mencoba melongok Taiwan. Lalu ia mendatangi tetangganya, Lin Che, yang biasa menjadi perantara pernikahan dengan pria Taiwan.

Lin Che sendiri masih punya atasan di Jakarta Kota. Orang itu punya adik bernama Abi, yang menikah dengan orang Taiwan dan kini tinggal di Taipei. Rupanya, di sana Abi adalah seorang bos besar ”biro” perjodohan itu. Maka beberapa bulan kemudian Yanti diantar ke rumah Abi—meninggalkan anaknya hasil pernikahan pertamanya dulu. Di sana ia ditampung bersama tiga perempuan senasib.

Seraya menunggu lelaki yang meminang, ia membantu usaha jahitan Abi. ”Upahnya makan dua kali sehari.”

Sejumlah peminat berdatangan, tapi Yanti masih ogah. Ia memang pemilih. ”Masa, mau jadi suami seumur hidup pilih yang jelek,” katanya kenes. Akhirnya Yanti bersedia dikawinkan dengan seorang kepala pengawas pabrik setempat. Kepada Tempo, Yanti enggan mengungkapkan nama lelaki itu. Maka Abi pun ”melepas” Yanti dengan harga 300 ribu NT. ”Kata calo saya, itu harga tertinggi di antara perempuan yang ada,” ujar perempuan berkulit putih itu.

Proses perkawinannya amat sederhana. Calon pengantin pria cukup menyerahkan uang Rp 5 juta untuk dikirim ke keluarga Yanti di Indonesia. Setelah itu Yanti bersama calon suami menemui ibu si lelaki. Sebagai tanda pernikahan, Yanti menyodorkan secangkir teh kepada ibu mertua. Sang ibu lalu memberikan angpau untuk Yanti dan suaminya. ”Itu tanda kami sudah diterima.”

Lalu dimulailah episode kesengasaraan itu. Sang suami akhirnya tahu Yanti sudah punya anak di Indonesia (kini berusia delapan tahun). Mereka kerap bertengkar. Pukulan dan tendangan sang suami tak jarang melayang menerjang tubuhnya yang kecil. Akhirnya perceraian pun tak terhindarkan.

Yanti lalu meninggalkan suami dan seorang anak hasil perkawinan mereka. Dia sempat kembali ke Indonesia dengan meminjam duit pada seorang teman. Hanya sesaat di tanah air, Yanti memilih kembali ke Taiwan mengadu nasib. Tetapi ternyata ia kian terpuruk. Yanti tak sanggup membayar utang yang mulai berlipat karena bunga.

Yanti memang masih sanggup bertahan. Namun, kadang-kadang ia merasa letih dengan cara hidup seperti itu. Kepada Tempo, ia mengaku tengah dicekam kebimbangan karena sang suami ingin rujuk. ”Ia pamer beli mobil baru untuk memancing saya kembali,” kata Yanti.

Istiqomatul Hayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus