Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah rumah sakit dan aplikasi kesehatan menyediakan pelayanan rapid test corona.
Biaya yang ditawarkan ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak merekomendasikan rapid test.
BEGITU jarum suntik masuk ke sela-sela jari tangannya pada Jumat siang, 8 Mei lalu, Juanda Septiana memejamkan mata. Dari nadi vena pria 32 tahun itu, petugas kesehatan Rumah Sakit Primaya Tangerang, Banten, mengambil darah. Tak sampai setengah menit, proses pengambilan darah untuk uji cepat mendeteksi virus corona itu selesai.
Juanda mengikuti uji cepat karena PT Varley Indonesia, perusahaan perbaikan katup tempat dia bekerja, mengadakan tes massal secara gratis bagi semua pegawainya. “Kalau bayar sendiri, pikir-pikir banget dalam kondisi seperti ini,” ujarnya. Seusai uji cepat dengan sistem drive thru di lobi rumah sakit itu, Juanda mendapat satu lembar kuitansi putih dengan keterangan biaya tes cepat sebesar Rp 299 ribu.
Ratu—bukan nama sebenarnya—juga mengikuti uji cepat atau rapid test di rumah sakit yang awalnya bernama Awal Bros itu. Ia menentukan pilihan setelah mengamati tawaran rapid test di berbagai rumah sakit. Menurut dia, biaya pengujian di rumah sakit itu tidak terlalu mahal dan pemeriksaan darahnya tidak dengan pengambilan dari ujung jari seperti pengetesan golongan darah. “Katanya, ini bisa meningkatkan akurasi,” ujarnya.
Darah Juanda dan Ratu ini ditampung di dalam tabung kecil dan didiamkan selama satu jam. Setelah itu, semua tabung darah dibawa ke laboratorium di lantai dua rumah sakit dan dimasukkan ke mesin sentrifugasi untuk memisahkan serum dan plasma. Darah Juanda dan Ratu belum dimasukkan ke mesin itu. Selama 15 menit, 30 tabung yang tertampung di mesin itu diputar, lalu didiamkan sekitar 10 menit. Setelah itu, darah yang warnanya berubah menjadi putih tersebut dimasukkan ke alat uji cepat merek VivaDiag.
Alat rapid test VivaDiag sempat menjadi persoalan dalam pengujian massal di Banjar Serokadan, Kabupaten Bangli, Bali, pada akhir April lalu. Saat itu, 443 warga Serokadan dinyatakan positif corona. Namun, setelah melalui uji usap, hanya satu orang dinyatakan positif. Kepala Pemasaran Rumah Sakit Primaya Deassy Putriyani Tambun mengatakan alat uji cepat yang dipakai di rumah sakitnya sudah mendapat rekomendasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Menurut Deassy, sejak program rapid test dibuka di rumah sakitnya pada 11 April lalu, sudah ada 1.500 orang yang melakukan pemeriksaan. Rumah Sakit Primaya juga menyediakan jasa tes di rumah dengan biaya mulai Rp 549 ribu hingga sekitar Rp 1 juta. Sedangkan untuk pengujian polymerase chain reaction (PCR) melalui metode swab, dibutuhkan biaya Rp 2,3 juta. Hasil pemeriksaan itu pun diserahkan ke Dinas Kesehatan Kota Tangerang. “Ada beberapa orang yang positif setelah swab,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Liza Puspa Dewi mengaku menerima laporan dari setiap rumah sakit yang membuka pelayanan pengecekan Covid-19. Namun, menurut dia, yang dilaporkan adalah hasil pemeriksaan PCR, bukan dari hasil uji cepat. “PCR untuk penunjang diagnosis,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan rapid test dengan serum darah memang lebih baik dibanding pengambilan darah dari jari. Tapi IDI tidak menyarankan penggunaan uji cepat untuk menentukan seseorang terkena corona. Yang paling akurat, kata Adib, adalah tes swab melalui hidung atau tenggorokan. “Rapid test hanya untuk screening,” ujarnya.
Selain di rumah sakit, pelayanan jasa uji cepat dibuka perusahaan rintisan yang bergerak di bidang medis. Misalnya SehatQ dan Halodoc. Kepala Komunikasi SehatQ Aniela Maria mengatakan pelayanan rapid test dibuka baik secara drive thru maupun di klinik SehatQ. Untuk drive thru, SehatQ membanderol harga Rp 295 ribu, sedangkan untuk pengujian di klinik mulai Rp 350 ribu, termasuk pemindaian paru-paru dan tes darah. Dalam sehari, SehatQ bisa melayani 100 pasien. Hasil tes pasien yang positif dilaporkan ke dinas kesehatan ataupun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Vice President Marketing Halodoc Felicia Kawilarang mengatakan perusahaannya telah bekerja sama dengan 20 rumah sakit di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi untuk pelayanan rapid test dan swab test. Biayanya pun beragam, mulai Rp 295 ribu hingga Rp 1,6 juta, sesuai dengan rumah sakit ataupun paket yang dipilih.
Aniela Maria menyebutkan pelayanan uji cepat itu diadakan untuk memudahkan masyarakat yang ingin mengetahui tubuhnya terjangkit corona atau tidak. Apalagi, kata dia, banyak orang mencoba mengambil keuntungan dari uji cepat. “Lihat saja penjualan peralatan rapid test di marketplace,” ujar Aniela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas medis menunjukan sampel darah saat rapid test Covid-19 keluaran Vivadiag di DPP Golkar, Slipi, Jakarta. ANTARA/Didik Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nancy Natalia, seorang pengusaha, mengaku membeli alat uji cepat dari situs belanja online dengan harga Rp 1 juta per unit pada akhir Maret lalu. Saat itu, ia baru kembali dari Israel dan Turki. Belakangan, ia menilai harga alat itu terlalu mahal. Harga alat uji cepat yang dijual di aplikasi belanja di dalam negeri beragam, mulai Rp 6,5 juta hingga Rp 13 juta per kotak dengan isi 25-40 unit. Sedangkan di Alibaba.com, harga peralatan itu jauh lebih murah, dari Rp 11 ribu sampai Rp 100 ribu per unit.
Kepala Pemasaran Rumah Sakit Primaya Deassy Putriyani Tambun dan Kepala Komunikasi SehatQ Aniela Maria menyangkal mendapat untung besar dari pelayanan rapid test. Aniela mengklaim perusahaannya justru membantu pemerintah dengan program tersebut. “Harga yang kami berikan tidak mahal,” ujar Deassy.
Tak hanya mengadakan pelayanan tes cepat, sejumlah rumah sakit mewajibkan pasien mengikuti rapid test. Alfonsine Claudia, misalnya, mengaku harus mengeluarkan biaya tambahan hampir setengah juta rupiah saat bersama suaminya memeriksakan kandungan ke Rumah Sakit Siloam Kebon Jeruk pada 23 April lalu. Sebelumnya, Rumah Sakit Siloam memberlakukan harga Rp 489 ribu untuk uji cepat. Belakangan, biaya itu diturunkan menjadi Rp 244 ribu.
Dalam wawancara dengan Tempo, Deputy President Director Siloam Hospitals Group Caroline Riady mengatakan uji cepat itu digelar untuk memisahkan pasien dengan gejala Covid-19 dari pasien lain. Rumah sakit juga memeriksa suhu dan riwayat perjalanan pasien. Caroline berujar langkah itu penting untuk melindungi pasien dan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Siloam.
Menurut Sekretaris Jenderal IDI Adib Khumaidi, maraknya penawaran jasa rapid test dan penjualan alat uji cepat terjadi karena pemerintah belum bisa melakukan tes Covid-19 secara masif. “Akibatnya, ada fenomena kepanikan di masyarakat dan mereka mencari cara sendiri untuk melakukan pemeriksaan,” tuturnya.
Dalam rapat Gugus Tugas Covid-19 pada Kamis, 7 Mei lalu, persoalan pengujian corona juga dibahas. Pemerintah bakal memprioritaskan pengujian dengan sistem PCR. Saat ini, kapasitas pemeriksaan baru 4.000-5.000 spesimen setiap hari. Targetnya, ada 10 ribu spesimen diperiksa per hari. Adapun juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan pemerintah akan terus melakukan pemeriksaan kepada masyarakat untuk mengetahui seseorang terkena corona atau tidak.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, AYU CIPTA (TANGERANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo