Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya adalah pertemanan di masa sekolah. Keduanya belajar di Universitas Hasanuddin Makassar. Yang satu di fakultas teknik, satunya lagi di fakultas ekonomi. Keduanya aktif di media kampus, lalu bersama membuka bisnis percetakan selepas studi. Tiga dekade meluncur. Dua sekawan tetap berteman. Jusuf Kalla sukses berniaga, aktif di politik, masuk birokrasi dan menjadi menteri. Alwi Hamu, 61 tahun, tetap berbisnis—termasuk bisnis pers. Dia pemimpin umum dan Direktur Utama Fajar, koran terbesar di Sulawesi. Ketika Kalla naik ke kursi wakil presiden, Alwi Hamu masuk ke kantor karibnya ini sebagai staf khusus wakil presiden.
Persahabatan Alwi-Kalla agak mirip ceritera-ceritera persahabatan. Dari masa remaja hingga hari tua tetap beriringan. Toh, masuknya Alwi ke kantor wakil presiden bukanlah hal yang serta-merta. Di saat putaran kampanye presiden-wakil presiden pada 2004, Alwi menjadi koordinator kampanye Jusuf Kalla—JK, sebutan populernya. Dan Alwi masuk dari celah yang amat ia kenal: jaringan media massa.
Jusuf Kalla menghadapi situasi kampanye yang tidak mudah. Dia maju tanpa restu Partai Golkar, jadi tanpa dukungan mesin politik. Jalan keluarnya, sebanyak mungkin ”menyentuh” kantong-kantong suara secara langsung. Undangan dan tawaran kampanye dari berbagai elemen segera disambar.
Alwi mengakui, koran Fajar juga aktif menyokong JK dengan semacam kampanye terselubung. ”Sebagai pemilik, saya manfaatkan (koran—Red.) sepanjang tidak merugikan publik,” kata Alwi. Rupa-rupa cara dilakukan. Mulai dari menampilkan berita Jusuf Kalla di halaman depan, halaman terjepit, atau diselipkan di tengah-tengah berita. ”Kami juga untung karena mendapat (biaya) promosi,” kata Alwi.
Tindakan Alwi ini tak ditentang redaksi. Menurut Aidir Amir Daud, mantan Pemimpin Redaksi Fajar, jamak saja koran tersebut membela pemiliknya. JK memang tercatat sebagai salah satu pemegang saham harian tersebut. ”Koran itu harus ada sekian persen yang melindungi pemilik. Tidak berarti membela, tapi tak pantas seorang anak memaki bapaknya sendiri,” Amir Daud mengibaratkan. Alhasil, berita tentang JK berkibar-kibar di Makassar, bahkan di Indonesia Timur.
Arif Affandi, mantan Pemimpin Redaksi Jawa Pos, mengakui bahwa dia mengetahui Alwi menggunakan jaringan anak perusahaan Jawa Pos untuk menyukseskan kampanye JK. ”Dia memanfaatkan jaringannya, bukan medianya,” kata Wakil Wali Kota Surabaya ini kepada Tempo. Di beberapa daerah, pria Bugis ini meminta bantuan wartawan dari jaringan Jawa Pos untuk mengumpulkan rekan-rekan dari media lain. Hal ini, menurut Arif, masih bisa ditoleransi.
Bukan berarti Alwi tak pernah kebablasan. Sekali waktu ia mengumpulkan beberapa petinggi anak perusahaan koran yang berbasis di Surabaya itu dan meminta mereka membantu kampanye JK. ”Terpaksa saya tegur. Ini demi independensi media,” kata Arif. Menurut Arif, Alwi bisa menerima teguran itu.
Persahabatan Alwi-JK diretas di masa kuliah, pada 1963. Keduanya sama-sama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar. Jusuf lebih senior dua tahun, namun tak menghalangi kedekatan keduanya. Bersama aktivis mahasiswa lain, mereka kerap berkumpul di Jalan Andalas 2, di depan Masjid Agung Makassar, kediaman Haji Kalla. ”Kalau malam, ibunya Pak Jusuf sering membuatkan kami kopi,” tutur Daeng Alwi mengenang—begitu panggilan Alwi di keluarga JK. Rumah Haji Kalla di masa itu menjadi semacam pos mahasiswa.
Pada saat Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar dibentuk di Makassar pada tahun 1964, keduanya turut bergabung. JK menjadi Ketua Pemuda Sekber Golkar, Alwi bertugas sebagai sekretaris. Posisi ini terulang tahun 1966 ketika Jusuf Kalla menjadi Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan-Tenggara. Alwi menjadi sekretaris jenderal.
Pada saat-saat inilah, mereka memulai merintis penerbitan koran KAMI. Kalla memimpin koran itu sekaligus bertugas mencari berita. Sang Wakil Presiden pernah berangkat meliput sidang MPRS di Jakarta. ”Kami masuk ke semua ke ruang sidang dengan mengantongi kartu pers mahasiswa,” kata Alwi. Dalam catatan Alwi, Jusuf adalah penulis yang praktis. Ia bukan tipe wartawan yang pintar mengukir kata. Tulisan pertama JK adalah cerita tentang Mars Sombaompu.
Napas harian KAMI di Makassar terhenti ketika surat izin terbit (SIT) koran induk mereka di Jakarta—yang juga bernama serupa—dibatalkan karena kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Kalla dan Alwi putar haluan dari wartawan menjadi penerbit.
Mereka membuat percetakan Bakti Baru, yang khusus mencetak buku-buku. Kalla menjadi komisaris, Alwi didapuk sebagai direktur. Selain mengembangkan usaha keluarga NV Hadji Kalla—antara lain menjadi agen Toyota di Makassar—mereka juga mengembangkan usaha kontraktor PT Bumi Karya (belakangan menjadi PT Bumi Karsa). Jenis proyek yang digarap adalah jalan, jembatan, dan gedung. Pada saat inilah kongsi dikembangkan dengan merangkul Aksa Mahmud.
Kesempatan mengembangkan koran datang lagi pada tahun 1979. Jusuf, Alwi, dan Aksa kemudian menerbitkan Fajar. Andil JK dalam usaha ini adalah percetakan Bakti Baru. Usaha ini kian berkembang setelah Jawa Pos meminang mereka untuk bekerja sama pada pertengahan 80-an. Manajemen kedua perusahaan ini digabung. Sejak itu, bisnis Fajar mulai melebar. Mereka bisa menerbitkan koran-koran baru di Indonesia Timur, seperti di Ambon dan Kupang.
Menurut Alwi, salah satu kunci awetnya perkoncoan Alwi-JK adalah karena tipe pekerja. ”Dia juga jago lobi,” ujarnya. Tak hanya JK, Dahlan Iskan—bos Grup Jawa Pos—juga menyukai Alwi karena karakter tersebut. ”Kalau Jawa Pos punya persoalan hukum, Alwi andalannya. Dia punya banyak relasi, baik vertikal maupun horizontal,” Dahlan menjelaskan.
Tak cukup ”berkampanye” lewat media, pria kelahiran Pangkajene Sidenreng ini juga mendirikan Kelompok Lembang 9. Nama ini diambil dari sebuah rumah di Menteng, Jakarta Pusat, tempat kelompok itu bermarkas (baca, Lembang Tinggal Nama). Mula-mula tugas kelompok tersebut adalah mendukung ”pertarungan” Kalla di Konvensi Partai Golkar pada April tahun lalu.
Belakangan, mereka dialihkan menjadi mesin politik Kalla begitu ia keluar dari konvensi dan berkongsi dengan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Bergandengan dengan Blora Center dan Brighten Institute, yang menjadi motor kampanye SBY, JK naik ke kursi terpuncak eksekutif bersama Yudhoyono.
Dan Alwi Hamu tetap bertahan di samping JK—seperti masa-masa dulu ketika keduanya masih sepasang mahasiswa di kampus Hasanuddin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo