Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU siang di Bandara Hasanuddin, Makassar, pertengahan 1978. Dua orang Jepang yang baru turun dari pesawat tampak celingukan. Aksa Mahmud, yang kebetulan sedang berada di lapangan terbang itu, menyapa ramah. Ternyata, kedua orang Jepang itu lagi kebingungan mau menginap di mana.
Aksa muda, yang sebetulnya punya urusan lain, malah mengantarkan mereka ke hotel, bahkan kemudian menemani mereka makan malam. Siapa sangka, kedua Jepang itu berasal dari Mitsubishi, yang sedang mencari agen tunggal pemegang merek di Kota Makassar. Aksa, yang kebetulan pernah main jual-beli mobil, menangkap peluang ini.
”Orang yang tak panjang akal belum tentu mampu membaca makna kehadiran orang Jepang itu di bandara,” kata Rhenald Kasali, pakar manajemen, dalam artikelnya, Pengusaha Putih yang Panjang Akal. Kalau tak cerdik, sekalipun sempat berkenalan, belum tentu bisa mengubah pertemuan itu menjadi bisnis.
Aksa, yang lahir di Barru, Sulawesi Selatan, 60 tahun silam, membesarkan bisnis itu sehingga menjadi agen tunggal pemegang merek untuk Indonesia Timur lewat bendera PT Bosowa Berlian Motor pada 1978. Ia terpaksa ”adu otot” dengan abang iparnya sendiri, Jusuf Kalla—yang menjadi dealer Toyota. ”Kami damai di meja makan,” katanya.
Lewat usaha itu, Aksa berhasil membangun Grup Bosowa. Bisnisnya menggurita, mulai dari perdagangan, perkebunan, transportasi, infrastruktur, lembaga keuangan, industri semen, sampai media massa. Asetnya di PT Semen Bosowa Maros saja tercatat Rp 3 triliun.
Darah bisnis ayah lima anak ini—hasil pernikahannya dengan Ramlah Kalla—mengalir deras dari ayahnya, yang pedagang beras dan sapi. Menghabiskan masa kecil di tanah kelahirannya, Kampung Sorossoe, Barru, Aksa sudah mulai berdagang kecil-kecilan ketika duduk di sekolah menengah pertama di Parepare. Dia menjual kacang tanah dan mutiara, yang dibawanya dari Barru.
Toh, dia mengaku, kiprah bisnisnya tak bisa lepas dari peran Kalla. Abang iparnya itulah yang mengajaknya bekerja di NV Hadji Kalla Trd. Co., pada 1969. Dia ikut berperan ketika Kalla merintis bisnis dealer Toyota. Aksa, yang pintar menjual barang, lalu ditempatkan di PT Bumi Karsa, perusahaan kontraktor milik Kalla, sebagai direktur.
Keluar dari Bumi Karsa setelah ”memegang” Mitsubishi, dunia Aksa ternyata bukan hanya bisnis. Ada masanya ketika pria pehobi golf dan diving ini menjadi pengurus Persatuan Anggar Indonesia. Ada juga saatnya dia terjun ke arena politik, dunia yang sudah disentuhnya ketika menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di sinilah Aksa pertama kali ketemu Kalla.
Aksa pernah menjadi anggota MPR dari Fraksi Utusan Daerah, dari Sulawesi Selatan, selama enam tahun sejak 1998. Tapi peran ganda politisi-pengusaha tak berlangsung lama. Menurut dia, baju bisnisnya—posisi terakhir Presiden Direktur Grup Bosowa—ditinggalkan begitu melenggang lagi ke Senayan.
Kali ini Aksa datang sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Sul-Sel, pada September 2004, dan terpilih menempati kursi Wakil Ketua MPR. ”Saya ingin konsentrasi di sini,” ujarnya. Tongkat estafet kerajaan bisnis diserahkan ke anak sulungnya, Erwin Aksa.
Di gelanggang politik, Aksa dan Kalla lagi-lagi berseberangan. Aksa di legislatif, Kalla di eksekutif sebagai wakil presiden. Tapi, nyatanya, mereka malah lengket, sama-sama menjadi penengah dalam konflik internal Partai Bintang Reformasi (PBR) ketika partai ini terpecah ke dalam kubu KH Zaenuddin M.Z. dan Zaenal Maarif.
Ide islah, kata Aksa, berasal dari Kalla—yang kemudian meminta Aksa menjadi mediator. Tapi, ”PBR juga minta saya ikut menangani,” katanya. Duet Kalla-Aksa ini sanggup mengakhiri konflik yang dimulai pada Mei 2005, awal Agustus lalu. Tentu setelah melalui perundingan yang alot dan melelahkan.
Kalla mencoba mengulangi sukses dengan menggaet lagi Aksa menjadi mediator di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang juga sedang konflik karena dualisme kepemimpinan. Tapi, kubu Muhaimin Iskandar, yang di”payungi” KH Abdurrahman Wahid, menolak mentah-mentah ajakan islah Kalla dan Aksa.
Gus Dur malah menuding perlawanan kubu Alwi Shihab dibiayai Aksa. Wakil Sekretaris Jenderal PKB kubu Muhaimin, Imam Nahrawi, mengatakan kehadiran Aksa sebagai penengah hanya akan menambah runyam. ”Tujuannya bukan semata-mata menyelesaikan konflik,” ujarnya.
Toh, Aksa tak peduli akan berbagai tuduhan miring. Dia membantah ada udang di balik batu atas keterlibatannya menengahi konflik kedua partai itu. Sudah sepatutnya dia membantu mendamaikan kedua kendaraan politik yang berbasis umat itu. ”Dengan filosofi kedua pihak harus saling percaya,” katanya.
Filosofi ini pula, kata Aksa, yang juga ditanamkannya dalam berbisnis. Aksa yakin dua hal: kepercayaan dan negosiasi. Menurut Edi Baramuli, pemilik Grup Paleko—kelompok bisnis terbesar di Indonesia Timur setelah Kalla dan Bosowa—kepercayaan itu yang bisa mendekatkan dirinya dengan dunia perbankan. ”Sehingga punya kecukupan mengembangkan Bosowa,” ujarnya.
Tapi, dia sempat terpeleset ketika perusahaan semennya terjerat kredit macet di PT Bank Mandiri Tbk Rp 1,05 triliun. Kasusnya bahkan sempat masuk ke Kejaksaan Agung. Tapi akhirnya penyelidikannya dihentikan. Lembaga hukum ini punya alasan: tak ditemukan unsur pelanggaran hukum yang merugikan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo