Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mimpi Besar Sutiyoso

Busway hanya sejengkal dari deretan panjang ambisi Sutiyoso. Ia tak gentar meski harus menerjang menteri.

4 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mencoba membalikkan sejarah Ibu Kota. Ia mengimpikan Jakarta sebagai New York-nya Asia. Tak peduli meski orang memberinya jejuluk banyak—dari gubernur bertangan besi hingga si Raja Gusur. Dialah Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, yang tindakannya kerap dianggap tak populer. Serangkaian penggusuran terhadap permukiman warga di Tanjung Duren dan Kali Adem ia lesakkan menjelang Lebaran lalu. Kini pensiunan jenderal bintang tiga itu punya "mainan" baru: transportasi massal busway. Bukan cuma kini Sutiyoso bikin geger. Ia pernah diributkan dengan proyek rehabilitasi air mancur di depan Bundaran Hotel Indonesia senilai Rp 14 miliar. Tak peduli dengan serangan lembaga swadaya masyarakat dan pengamat tata kota, ia tetap saja dengan tekadnya memagari kawasan Monumen Nasional atau Monas—yang pernah kurang terurus dan jorok. Di situ, kini rumputnya terawat dengan sejumlah kijang bintik hitam dari Istana Bogor. Tak sedikit pula yang nyerempet bahaya. Proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta dikritik merusak lingkungan—jadi biang penyebab banjir Ibu Kota. Untuk mewujudkan ambisinya itu, Sutiyoso siap berhadapan dengan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, yang memutuskan menyetop proyek tersebut. Menteri Nabiel telah menimbang berdasarkan analisis dampak lingkungan. Ada apa di balik ambisinya itu? "Dengan proyek mercusuar, Sutiyoso ingin dikenang di akhir masa jabatannya," kata Dani Anwar, anggota DPRD DKI dari Partai Keadilan Sejahtera. Ia ingin dikenang sebagai Gubernur Jakarta yang istimewa. "Kalau mau jadi gubernur yang biasa-biasa saja, lebih baik tak usah saja," kata pria asal Semarang itu kepada TEMPO. Busway adalah harapan Sutiyoso. Ia tak gentar meski beradu dengan seniornya di militer, Menteri Perhubungan Agum Gumelar—yang sempat jengkel dan minta proyek diundurkan agar melibatkan departemennya. Menjawab Agum, Sutiyoso mengirim anak buahnya, pemimpin proyek busway, Irzal Djamal. "Secara tata krama politik, itu tidak etis," kata Koordinator Government Watch (Gowa), Farid Faqih, yang rajin memelototi bujet busway. Dalam sejarah transportasi Jakarta, istilah busway bukan cerita baru. Saat Gubernur DKI masih dipimpin R. Suprapto, konsep pengadaan sarana angkutan massal dengan bus itu muncul dari B.J. Habibie, yang saat itu masih menjabat Menteri Riset dan Teknologi. Pilihan Habibie ini "mentorpedo" proposal Pemda DKI Jakarta, kepada Presiden Soeharto, agar di Jakarta dibangun sarana transportasi massal. Padahal proposal sudah matang digodok. Dasarnya 11 riset transportasi Jakarta. Juga studi banding ke Inggris, Kanada, dan Jepang. Tiga serangkai insinyur, yakni Wakil Gubernur Bidang Ekonomi dan Pembangunan Bun Yamin Ramto, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Giri Suseno, dan Direktur Jenderal Bina Marga Suryatin Sastromijoyo, berada di balik proposal yang dibawa ke Jalan Cendana. Pilihannya waktu itu adalah pembangunan gabungan monorail dan light rail serta pembangunan jalan terpadu tol dan kereta api. Kereta ringan tanpa suara itu didesain akan berputar mengitari Jakarta. Jalur itu akan membelah dari selatan di Cinere, lalu kawasan bisnis Sudirman dan Thamrin, sampai ke Ancol, Gunung Sahari, dan kembali ke Cinere. "Kereta ini akan terus berputar dan mampu mengangkut 45 ribu orang di kawasan Sudirman pada jam sibuk," kata Bun Yamin, yang sekarang menjadi Ketua Dewan Pakar PPP. Sejak pertengahan 1980-an, Jakarta, Bangkok, dan Kuala Lumpur sepakat akan menggarap proyek kereta api ringan itu. Saat itu, Pemda DKI pun sudah siap. Konsultan Jepang, Marubeni, sudah didekati. Mereka sanggup menggarap dalam waktu tujuh tahun. Kini di Kuala Lumpur, Malaysia, sudah berjalan kombinasi monorail dan light rail. "Kalau saat itu kita jalan, Jakarta lebih dulu punya," kata Bun Yamin. Kini? Jangankan jaringan kereta api ringan, jalan tol Kalimalang saja, yang disiapkan mengatasi kemacetan tol Jakarta-Bekasi, masih terbengkalai. Sedangkan pembangunan jalan tol lintas luar mandek diterjang krisis ekonomi. Akibatnya, di jalan tol dalam kota terjadi penyumbatan. Tapi Habibie ngotot dengan proposal busway-nya. "Habibie tidak memberikan alternatif lain. Dengan perhitungan hanya dapat mengangkut 8.000 orang di kawasan Sudirman, kami menolak proyek itu," ujar Bun Yamin. Akibatnya, Jakarta semakin sesak tanpa ada angkutan massal yang memadai. Belum lagi kemudian muncul proyek-proyek tambahan yang malah bikin macet. Keluarga Cendana juga pernah ambil bagian. Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut berencana membangun Terminal Terpadu Manggarai. Proyek ini kemudian gagal, selain karena krisis ekonomi, lantaran menuai banyak protes dari ahli transportasi Jakarta. Terminal yang direncanakan dibangun di atas tanah seluas 50 hektare itu justru akan membuat Jakarta semakin sumpek. Gagasan terminal terpadu ikut rontok mengiringi jatuhnya Soeharto. Lirikan kembali terfokus pada busway. Tapi Bun Yamin menilai solusi ini sebagai langkah yang tak matang. "Ini hanya datang ke Bogota beberapa hari, langsung jalan," katanya. Apalagi busway menggunakan jalur kanan, tanpa ada pelebaran ruas jalan. Jika salah satu jalur jalan dipakai busway, diperkirakan akan terjadi sumbatan luar biasa. "Bisa saja nanti orang ngamuk karena jengkel tak bisa jalan," kata insinyur sipil Institut Teknologi Bandung asal Palembang itu. Toh, Sutiyoso siap dicemooh. Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus