Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CATATAN itu dibuat dengan tulisan tangan yang rapi. Setiap paragraf selalu rata pada pinggir kiri dan kanan. Hampir semua tulisan diberi tanggal, dan kadang juga diberi judul, tapi tak ada keterangan di mana catatan itu dibuat. Di situ hanya ditulis ”bumi Allah” atau ”bumi hijrah”.
Panjangnya beragam. Terkadang ia menulis sampai sepuluh halaman, tapi sering pula hanya berupa kalimat-kali-mat pendek yang tersusun dalam bebe-rapa baris, mirip puisi. Ada yang dimulai dengan bacaan basmallah, ada pula yang dibuka dengan mengutip ayat Al-Quran atau Al-Hadis yang cukup panjang. Catatan itu dibikin selama setahun lebih, dari Januari 2005 sampai Maret- 2006, dituangkan dalam buku kecil de-ngan ukuran 10 x 20 sentimeter dan -tebal 106 halaman.
Itulah buku harian Gempur Budi Angkoro alias Jabir. Menurut polisi, dia se-orang perakit bom dalam kelompok -teroris yang dipimpin oleh Dr Azahari- dan Noor Din M. Top. Buku ini ditemu-kan di sebuah rumah di Binangun, -Wringin Anom, Wonosobo, Jawa Tengah-, yang digerebek pada 29 April lalu. Pemuda 27 tahun ini tertembak hingga tewas saat dikepung. Tempo memperoleh fotokopi buku itu dari seorang sumber di kepolisian.
Tak hanya berisi perenungan menge-nai jalan hidup yang ditempuhnya, Jabir juga menulis kenangan pada masa kecil bersama keluarganya di Madiun, Jawa Timur. Dia pun menumpahkan se-gala kekagumannya kepada Dr Azaha-ri yang mengajarinya membuat bom. Orang Malaysia ini tewas terkena ledakan bom saat digerebek polisi di Malang, Jawa Timur, November tahun lalu. Diduga dialah dalang serangkaian aksi pengembonan di Indonesia, mulai dari bom Bali sampai peledakan Hotel Marriot- di -Jakarta.
Dalam bukunya, Jabir menggambar-kan sepak terjang kelompoknya seba-gai ji-had. Demi jihad pula, mereka mesti- melakukan hijrah: mengorbankan har-ta benda, meninggalkan anak istri, dan menanggalkan keglamoran dunia. Ka-rena itu, ”Sesungguhnya perjalanan jihad penuh dengan onak dan duri, di-ba-yangi rasa takut, kelaparan, dan hilangnya nyawa…,” tulisnya.
Dia rupanya sadar betul risiko yang ba-kal dihadapinya. Bukan hanya Jabir yang tewas saat digerebek di Wonosobo. De-tasemen Khusus 88 Kepolisian Repu-blik Indonesia juga menembak mati Abdul Hadi, 24 tahun. Dua lagi rekannya, Mustaghfirin, 24 tahun, dan Solahuddin, 30 tahun, ditangkap.
Mustaghfirin kini masih diperiksa di Ke-polisian Daerah Jawa Tengah, Semarang. Adapun Solahuddin ditahan di Markas Polda Metro Jaya. Menurut Fa-rihin, kakaknya yang telah menjenguk di tahanan, Solahuddin membantah mengenal Noor Din M. Top. ”Solahuddin mengaku hanya mengenal Abdul Hadi, kakak kelasnya di pesantren Ngruki,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Saat penyergapan pada pagi buta itu, polisi juga mengklaim menemukan bom yang siap diledakkan. Bom ini diduga hasil rakitan Jabir. Apalagi di situ ditemukan buku catatan yang lain milik pemuda ini yang berisi berbagai petunjuk teknis membikin bom berikut rincian bahannya dan skema pembuat-an detonator. Diduga, Jabir mempelajarinya dari Azahari.
Catatan pelajaran membuat bom itu juga ditulis cukup rapi. Walau begitu, ter-kadang ia membuat coretan-coret-an kecil. Misalnya, dalam dalam daftar bahan-bahan bom yang ditulisnya, dia membubuhkan gambar tengkorak mirip lambang yang biasa dicantumkan dalam botol bahan beracun.
Keisengan serupa sering pula dilakukan pada buku hariannya, tapi dalam bentuk celetukan. Dia selalu berusaha meneguhkan keyakinanya ” bertemu bidadari lewat jihad”. Lihat saja catatannya pada 20 Januari 2005 yang diberi judul ”Cuex aja...”.
Di kanan kiriku mereka berteriak, Namun mataku tetap nanar Mereka tak berhenti berceloteh... mencaci... mencela... menghina Ya... Robbi... masukkan hamba Mu ini... ke dalam jannah abadi... bersanding dengan para bidadari....
Setelah itu, Jabir memberikan komentar atas tulisannya sendiri: ceilee!! puitis euy....
Jabir lahir di Desa Mojorejo, Kecamatan Kebonsari, Madiun, Jawa Timur. Dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ibunya, Masrihatin, sehari-hari menjadi guru sekolah dasar. Ayah-nya seorang peternak ayam. Keluar-ga ini menjalankan agamanya secara ketat-. ”Semua saudara Pak Rusman selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Islam,” kata Sugiman, ketua RT di kampung Jabir.
Rusman menyekolahkan Jabir dan dua kakaknya ke Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Te-ngah. Pesantren ini dipimpin Ustad Abu Bakar Ba’asyir, Amir Majelis Mujahiddin Indonesia yang kini menjalani hukuman penjara. Dia divonis dua se-tengah tahun penjara karena dinilai terlibat dalam permufakatan jahat yang memungkinkan terjadinya ledakan bom di Bali pada 2002.
Menurut Sholeh Ibrahim, Kepala Sekolah Al-Mukmin, Jabir hanya setahun bersekolah di Ngruki. Setelah naik kelas dua, dia pindah ke Pondok Pesantren Darusysyahadah, Boyolali. Ini berbeda dengan catatan Jabir sendi-ri. Di bukunya dia menuturkan pernah belajar selama tiga tahun di Ngruki dan setelah itu pindah ke Darusysyahadah pada 1995.
Dia dikenang oleh gurunya sebagai santri yang keras memegang pendapat. Mustaqiem, Direktur Pondok Pesantren Darusysyahadah, masih ingat ketika Jabir dalam sebuah diskusi bertahan dengan argumentasinya menolak demo-krasi. Padahal pendapatnya diserang oleh santri dan ustad muda peserta diskusi. Menurut Mustaqiem, prestasi akademik Jabir biasa saja. ”Seingat saya nilai rata-ratanya tujuh,” katanya.
Setelah lulus dari Pesantren Darusysyahadah, Jabir tak pulang kampung. Dia mengajar di sana selama kira-kira tiga tahun, dan sesudah itu menghilang. Beberapa tahun berselang, ”Tahu-tahu ada polisi yang datang dan menanyakan keberadaannya,” kata Mustaqiem. Itu terjadi setelah bom berkekuatan tinggi meledak di depan Kedutaan Australia di Kuningan, Jakarta, pada 9 September 2004.
Nasir Abbas, bekas pentolan Jamaah Islamiyah, menduga Jabir ikut menyiap-kan bom Kuningan. Begitu pula tuding-an polisi. Dialah yang merangkai bom dan membeli mobil boks pembawa bom itu. Menurut polisi, Jabir juga ikut me-rakit bom yang meledak di Kafe Nyo-man, Jimbaran, Bali, 1 Oktober tahun lalu. Dia pula yang diduga merekrut Salik Firdaus, pelaku aksi bom bunuh diri di kafe itu. Salik adalah santri adik kelasnya di Pesantren Darusysyahadah Boyolali.
Jabir mulai bergabung dengan kelompok Azahari sekitar lima bulan sebelum peledakan bom Kuningan. Ini terungkap dari catatan hariannya. Dia menuturkan telah berhubungan dengan Azahari selama satu setengah tahun. Catatan ini ditulis pada 11 November 2005, atau dua hari setelah Azahari tewas di Malang.
Beberapa lembar fotokopi catatan harian Jabir itu ditelah ditunjukkan Tempo kepada keluarganya di Madiun, dua pekan lalu. Endi Miftahul Huda, 31 tahun, kakaknya, membenarkan bahwa catatan itu ditulis Jabir alias Gempur. ”Saya yakin itu tulisan Gempur,” tuturnya. Menurut dia, dulu si adik memang suka menuliskan unek-uneknya di buku.
Buku harian itu dibuat ketika kelompoknya terus dikejar-kejar oleh Detasemen 88 Polri. Jangan heran jika Jabir sering menggambarkan ketidaksukaannya pada pasukan antiteroris. Bahkan dia menyebutnya dengan kata-kata yang amat kasar. Pemuda ini amat kesal ketika ada rekan-rekannya yang ditangkap, dimuat dalam berita di media, dan muncul banyak komentar, termasuk dari tokoh-tokoh umat Islam.
Jabir menulis dalam bukunya: Yang menarik tuh bukan komentar dari orang-orang umum, namun komentar saudara-saudara seiman. Di antara komentar itu kurang lebih, ”Begitulah jadinya kalau tak mau menurut saran orangtua.” Di pojok kanan atas tulisan, Jabir membubuhkan balon komik berisi dua kata yang sering muncul dalam sebuah iklan rokok: tanya kenapa?
Catatan itu ditulis pada akhir Juli 2005. Beberapa pekan sebelumnya, polisi memang menangkap rekan-rekan Jabir di sejumlah daerah. Di antaranya, Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein alias Allen alias Abu Husna alias Fuad Baraja. Ia adalah saudara sepupu Jabir dan adik kandung Fathur Rohman al-Ghozi, tersangka teroris yang tewas ditembak tentara Filipina pada 12 Oktober 2003. Kini Allen telah dihukum tujuh tahun dan kini mendekam di penjara Cipinang. Pada bulan yang sama polisi juga menahan Dani Chandra alias Yusuf di Wonogiri, Jawa Tengah. Ia dituduh ikut menyembunyikan Noor Din.
Menghadapi pengejaran polisi, Jabir berusaha menenangkan hatinya. Dalam sebuah catatannya ia menulis: ”Ana dan sebagian ihwan yang tidak sampai jumlah jari-jari tangan, mencoba bertahan dalam kondisi ini. Ana yakin ada kelompok lain yang (bernasib) seperti kami, walaupun yang paling gencar dicari adalah kami.”
Hanya, sebagian besar isi buku harian Jabir memang seputar keyakinannya mengenai jihad beserta alasannya. Ia menyebutkan, dunia Islam saat ini telah menjadi bulan-bulanan ”para kaum kafir-, zionis, dan murtadin”. Itu sebabnya, Jabir menganggap jihad seba-gai fardhu ’ain (kewajiban semua umat Islam) dan bukannya fardhu kifayah (kewajiban yang gugur bila sudah ada umat Islam yang menjalankannya).
”Bukankah sejak terampasnya tanah dan kehormatan kaum mus-limin baik di bumi Palestina, Af-ga-nistan, Kashmir, Chechnya, dan Bosnia telah menjadikan jihad sebagai fardhu ’ain,” tulisnya. -Untuk menjalankan jihad, Jabir memandang pentingnya amaliah. ”Kita harus mengeluarkan dana untuk membeli peralatan amaliahnya.”
Cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat menjelaskan, secara umum -ama-liah berarti tindakan nyata. Namun-, menurut Nasir Abbas, penulis buku Membongkar Jemaah Islamiyah, para pejuang mujahidin di Afganistan menggunakan kata ini untuk menyebut kata perang. ”Kata ini juga biasa dipa-kai mujahidin di daerah konflik seperti Ambon dan Poso,” tuturnya. Dia pun ya-kin, amaliah yang dimaksud Jabir adalah pengeboman.
Jabir sendiri menuliskan pendapatnya tentang aksi peledakan. Dalam sebuah catatan singkat tanpa tanggal, ia menyebutkan: ”Dengan peledakan, pengikut kebenaran memberikan contoh pengorbanan yang paling indah, berani mati guna membela agama....”
Menurut juru bicara Kepolisian RI Bri-gadir Jenderal Anton Bachrul Alam, se-mua yang ditulis Jabir merupakan pem-be-laan diri atas tindakan-tindakannya. ”Dia meng-anggap semua perbuatannya benar, padahal tidak,” kata-nya.
Keyakinannya mengenai jihad masih dipegang erat sebulan sebelum dia tewas. Seperti hendak berpamitan, Jabir menulis catatan berjudul ”Surat Terbuka buat Para Keluarga dan Sahabat”. Dia mengungkapkan rasa cintanya pada mereka, dan mengulangi lagi keyakin-an: Jika tubuh dicipta untuk menjemput kematian, lebih baik terbunuh karena Allah dengan pedang....
Setelah ditembak di Wonosobo, Jabir dimakamkan di sebelah kuburan Al-Ghozi di pemakaman Desa Mojorejo, Madiun. Tak ada nisan di atasnya. Yang ada hanya batu seukuran kelapa sebagai penanda. Kedua makam itu kini tampak tak terawat, dan tanah di sebagian sisinya mulai ambles.
Di mata Komaruddin Hidayat, Jabir adalah potret orang yang kalah. Dia telah menjadi korban dari indoktrinasi pemimpin kelompoknya yang menganggap jihad sebagai pertempuran. ”Padahal, Islam mestinya menjadi sumber peradaban, bukan ketakutan,” katanya.
Budi Setyarso, Ami Afriatni (Jakarta), Fatkhurrohman Taufik (Madiun), Imron Rosyid (Boyolali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo