Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengaja memori tentang umiku aku dahulukan sebelum abi. Selain sebagai ikram saya, juga karena Rasulullah memerintahkan berbakti kepada umi sebelum bapak, dengan tiga kali ucapan.
Nanda masih ingat ketika berumur ... nggak tahu yach berapa ... pokoknya belum sekolah. Waktu itu kehidupan ke-luarga lumayan harmonis dengan beternak ayam petelur dan ayam pedaging, plus lele dan lain-lain. Kita belum punya rumah dan masih tinggal di tempat mbah.
Ujian dari Allah perlahan tapi pasti mulai menghampiri. Tiga kandang ayam yang baru selesai dibangun terbakar. Masih tampak jelas goresan duka pada wajah abi dan umi. Pagi hari ketika umi masih menangis terisak-isak sembari memasak, nanda hanya bisa pasrah sambil mengambil ayam-ayam yang terpanggang untuk nanda kasihkan ikan lele.
(Ternak ayam dan lele itu dikelola- ayahnya, Rusman. Ibunya bernama Maslihatin, yang sehari-hari menjadi guru sekolah dasar—Red)
Saat kita sudah punya rumah, abi pernah marah gara-gara ulah nanda yang jarang buka puasa di rumah tetapi di tempat mbah. Tiba-tiba abi datang dan menampar muka nanda dan Mas Ipul (Redi Syaiful Mujahidin, kakaknya) menyuruh makan di rumah. Sesampai di rumah, amarah abi belum reda. Entah apa sebabnya tiba-tiba abi membanting hidangan yang siap makan hingga po-rak-poranda. Nanda hanya bisa menangis, apalagi umi saat itu sangat tertekan.
(Endi Miftahul Huda, kakak tertua Jabir, membenarkan peristiwa di rumah kakeknya, Atmopuro. ”Abi memang sering marah,” kata Huda. Rumah me-reka di Desa Mojorejo, Kebonsari, Madiun, hanya berjarak sekitar satu kilometer dari rumah kakeknya.)
Ketika abi pergi ke Malaysia untuk mencari tambahan, umi harus banting tulang menghidupi keluarga. Waktu itu Mas Huda dan Mas Ipul sudah pada mondok dan nanda pun menyusul.
(Huda, Redi Syaiful Mujahidin (Ipul), dan Jabir belajar di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang didirikan Ustad Abu Bakar Ba’asyir.)
Masih ingat dalam memori ketika umi mengantarkan nanda daftar ke Pondok Al-Mukmin. Umi kecopetan ketika turun dari bus di wilayah Tirtomoyo, Solo. Umi hanya bisa bersedih dan menitikkan air mata. Nanda waktu itu tak tahu harus berbuat apa.
Tiga tahun lebih nanda belajar di Al-Mukmin. Ketika berkunjung ke pondok, umi hanya memberi uang 10.000. Waktu itu nanda bilang, ”Insya Allah cukup.” Walaupun kenyataannya sangat jauh dari cukup, nanda tak tega mengatakannya. Pernah tunggakan SPP sampai tujuh bulan, akibatnya nanda harus berkamar di teras bersama santri-santri yang belum membayar uang kamar. Namun nanda ikhlas karena prinsip nanda, selama belum ada kiriman berarti umi belum punya uang.
(Sholeh Ibrahim, Kepala Sekolah Khuliafatul Mualimin, setingkat SMU, Al-Mukmin membantah ada peraturan santri harus tidur di luar kamar. Prosedur resminya, jika terlambat bayar, orang tuanya dipanggil. ”Sampai tiga kali tidak bayar, akan dipulangkan,” kata Sholeh.)
Saat masa liburan selesai, umi sibuk ke sana kemari mencari pinjaman uang, paling tidak bisa untuk ongkos kembali ke pondok. Nanda melihat mata sembap umi ketika memberikan uang yang hanya cukup untuk balik ke pondok dan sedikit jajan dengan mengucapkan, ”Sing sabar sek ya le.…” Nanda hanya dapat menangis dalam perjalanan. Bukan karena sedikitnya uang, namun je-rih payah umi mengusahakan mencukupi kebutuhan nanda di pondok.
Ujian demi ujian harus umi hadapi. Waktu Mas Ipul minta motor, umi tak punya uang. Terpaksa kredit dengan cara memotong gaji umi yang tak seberapa dan tentunya ada bunga. Seperti buah simalakama, memang. Kalau nggak dituruti, Mas Ipul sering ngamuk, pintu dipecah, sering mencaci-maki. Mungkin karena beban mental, umi tak kuat dan langsung kejang-kejang. Nanda hanya bisa memangku umi dan berdoa dengan meneteskan air mata. Alhamdulillah Mas Ipul sekarang sudah baik.
Di saat akhir-akhir ini, alhamdulillah-, Mas Huda sudah bisa bisnis tempe. Sebelum ada karyawan maka abi dan umilah karyawannya. Tak jarang umi tidur larut malam karena masih harus membuat jajanan untuk dijual di sekolah esok hari dan bangun sebelum subuh. Ketika umi masih bersepeda ke sekolah, tak jarang umi berangkat agak kesiang-an karena sibuk bikin kue yang harus dibawa dengan sepeda yang sudah tidak baik lagi.
(”Sekarang ada tiga karyawan yang membantu saya membuat tempe,” kata Huda, yang mulai membuat tempe pada 2002.)
Ketika Allah memberi rezeki motor bebek merah tua tahun 70-an, alhamdulillah beban umi agak ringan. Namun umi terkadang minder dengan ucapan teman-teman sesama guru. ”Sekarang zamannya motor hitam lho, Bu.…”
Sabar ya, Umi.… Nanda ingin melihat umi bisa bernapas lega, tersenyum, tidak terlalu banyak pikiran dan beban. Nanda ingin, bila Allah memberi rezeki pada nanda, bisa membelikan abi dan umi satu atau dua barang yang bisa umi gunakan. Nanda ingin membelikan umi pakaian karena selama ini umi hampir tidak punya baju baru.
Sebenarnya Nanda ingin membahagiakan umi. Namun biarlah nanda bahagiakan umi kelak jika Allah mengkaruniakan syahadah. Karena hanya itu yang nanda bisa dan mudah-mudahan Allah menerima jihad nanda.
Buat umiku tersayang Salam manis ... dan sayang... tetap sabar dan istiqomah... Dengan coretan-coretan ini nanda menghibur kangen nanda pada umi.
Malam Senin, 4 September 2005, 21:47 WIB, Udah dulu yach... ngantuk nih....
Agung Rulianto, Budi Setyarso, Nurlis Meuko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo