Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH itu tak berdiri megah di tepi jalan raya, tapi berada di lorong sempit dekat pasar tradisional, di kota sejuta sorban, Qom. Begitu pintu besi dibuka, di bangunan dua flat itu ada ruang bawah tanah dan pekarangan selebar enam meter. Di bilik tengah, ada podium kayu yang kusam. Kasur tipis dan sandaran duduk serta sofa tempat sang Imam duduk dan tidur masih terpajang. Dapurnya terselip di ruang bawah tangga.
Begitu masuk bersama rombongan, kubayangkan Ayatullah Ruhullah Khomeini duduk bersila, mendengar pekik takbir sejumlah pengikutnya, sambil mendengarkan berita lewat radio—yang menjadi kebiasaannya seusai salat dan membaca. Di situlah, di atas meja kecil, begitu imajinasiku berlanjut, santapan kesukaannya tersaji: kentang rebus, sebutir jeruk, dan sekerat roti. Astaga, inikah ”harta” milik figur terpenting revolusi Iran yang paling spektakuler di abad ke-20?
Tentu saja kami tercengang bercampur takjub. Penat setelah menempuh perjalanan darat berjam-jam dari Teheran seakan sirna begitu menyaksikan ”dunia lain yang zuhud” ini. Di antara rombongan, ada Abdurrahman Wahid, yang kala itu, 17 tahun silam, menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, dan Jalaluddin Rakhmat, intelektual asal Bandung yang dikenal sebagai pengamat masalah Syiah. Ada pula Agus Abubakar, yang menulis tesis tentang filosof Mulla Sadra, plus sejumlah tokoh muda lainnya.
Momentum tak terduga lainnya terjadi di makam sang Imam. Di sebuah masjid besar di Teheran itu, kami sempat menyaksikan khotbah berapi-api Ahmad Khomeini, putra sang Ayatullah. Ia dikawal sejumlah pasdaran, pengawal pribadi yang mengelilinginya sambil menenteng senjata laras panjang. Ratusan anggota jemaah yang hadir, sebagaimana terjadi saat khotbah Jumat di halaman Universitas Teheran, sesekali meneriakkan yel-yel anti-Barat dan anti-Amerika: marghbar Amrika, marghbar Israil….
Aku duduk tepekur menyimak pidato bergelora itu. Tiba-tiba saja, salah seorang pengawal spontan berlari menghampiri. Ia minta agar tentengan yang kubawa dibuka, setengah paksa. Ia tersenyum begitu tahu bahwa di dalamnya hanya ada sebuah mesin ketik mini merek Brother, yang kubawa dari kantor. Adegan aneh lainnya: seorang pria Iran meletakkan kereweng yang diyakini dari tanah Karbala yang sempat terlempar jauh agar bisa tepat di jidatku ketika sujud. Acara diakhiri dengan pertemuan sejenak sambil berjabat tangan antara Gus Dur dan Ahmad Khomeini.
Qom tidak saja menyisakan warisan sederhana sang Imam yang juga dipuja sebagian orang di Indonesia ini. Di sini pulalah, di kota suci kedua kaum mullah ini, pernah hidup filsuf besar abad ke-11 Hijriyah, Mulla Sadra. Ada makam Hazrat Fatimah Maksumah, adik Imam Ali Reza (Ali Ridha), imam Syiah kedelapan yang dimakamkan di kota suci terkemuka Mashad. Dan jangan lupa, Allamah Muhammad Thabataba’i, penulis tafsir terkemuka, juga menghabiskan sisa hidupnya, yang kerap didera kemiskinan, di tepian Gurun Sahara ini.
Tapi Qom juga kota beratus hauzah islamiah, semacam pondok pesantren. Ribuan santri belajar filsafat, kebudayaan, juga fikih Syiah—tapi sejumlah kitab hadis dan rujukan Sunni juga diajarkan. Delegasi lalu mampir ke madrasah Hujatiyah, di pusat kota, yang menjadi salah satu favorit para santri asal Indonesia untuk mondok di sana. Para pelajar senior bersorban. Sorban putih menandakan pemakainya orang biasa, sedangkan yang hitam konon adalah tanda bahwa mereka keturunan Alawiyyin, sayid, atau semacam habib di sini.
Syekh Hasan Ibrahimi, pengasuh pesantren, lalu mempersilakan kami mencicipi buah melon kuning—yang hampir selalu mengawali setiap perjamuan untuk tetamu di negeri kaum mullah ini. Kenapa melon? Sang penerjemah lalu berbisik merujuk penjelasan sang Hujjatulislam: di dalam kitab suci, yang pertama disuguhkan Nabi Ibrahim, bapak para nabi, saat kedatangan tamunya, selalu buah-buahan, sebelum menu utama. Bukan sebaliknya. ”Supaya perut tak kaget kalau makan berat,” kata sang penghubung—mungkin dia bercanda.
Dan memang, melon selalu tersaji sebagai pembuka, hampir di setiap pertemuan dengan sejumlah ulama di Teheran, Mashad, dan kini Qom. Mereka juga cenderung berbahasa Parsi ketimbang—meski juga fasih—memakai bahasa Arab. Kami bertandang ke kantor Ayatullah Amid Zanjani, Wakil Ketua Mahkamah Agung, Ayatullah Ali Taskhiri, pemimpin Dakwah Islam Sedunia, dan intelektual Ali Asghar Hedayati. Namun yang tak kalah penting, memenuhi hasrat Gus Dur, sejumlah ulama khos juga dikejar. Pembicaraan berkisar ihwal hubungan Sunni-Syiah, perdamaian dunia, hingga masuk ke perkara perentil-perentil: kitab klasik dan mistik.
Di sini pulalah ribuan anak muda asal Indonesia pernah mengaji dan mondok. Umumnya masuk diam-diam, melalui negeri tetangga, dan hidup di situ lewat ”beasiswa”. Jangan kaget, kalau di Indonesia santri menghidupi kiainya, di sini kiai menghidupi santri. Semua keperluan untuk hidup sekadarnya dijamin. Para santri cukup menanggung biaya perjalanan dari negara asalnya. Asal bisa masuk kemari, beres, makan, minum, belanja secukupnya, semua ditanggung.
Menilik cara masuknya yang diam-diam, mereka lalu dijuluki santri terjun bebas—kedatangannya tak diketahui pihak berwenang Indonesia. Mereka hidup dari sharijah, uang yang dikumpulkan negara dari harta warga Syiah. Dalam ajaran Imam Dua Belas (Itsna Asy’ariyah), total kekayaan harus dipotong seperlimanya. Besar uang yang mereka terima kala itu sekitar 15 ribu riyal atau setara dengan Rp 20 ribu.
Qom menjadi penting karena dari sinilah muncul tudingan bahwa revolusi diekspor. Namun Syekh Hasan Ibrahimi dari madrasah Hujatiyah tegas menepis. ”Di sini, para siswa kami isolasi dari buku-buku politik,” katanya. Kala itu, Iran, termasuk Qom, menjadi sorotan dunia. Syekh Hasan lalu menunjukkan kitab Al-Umm (Induk), magnum opus karya Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab empat kaum Sunni, yang juga diajarkan di pondoknya.
Makam Fatimah Maksumah, yang kubahnya berlapis keemasan, dikunjungi ribuan manusia yang datang bergelombang dan antre mengular. Mereka serentak mengisakkan tangis dan meratap di pagar sekeliling makam perempuan suci itu, melemparkan riyal, dan membaca sejumput doa. Suara tangis dan alunan zikir mengharu biru bak dengungan lebah berkepanjangan. Di atas makam, yang berhiaskan seni kaligrafi abad ketiga Hijriyah dan ornamen era Dinasti Safawi, sebagaimana di kuburan Imam Ali Riza di Mashad, riyal dibiarkan bertumpuk-tumpuk, bercampur debu.
Ihwal debu inilah pamungkas cerita yang menarik dan berkesan hingga kini. Sebelum bertolak meninggalkan Qom, dan juga Mashad, seorang ulama menghadiahi kami sebuah bungkusan bertulisan kaligrafi Arab, dalam kantong plastik. Saat kubuka, di dalamnya ada gula batu berwarna putih, azimat, dan seonggok debu. Debu sengaja dipungut dari atas makam Imam Ali Reza yang dibersihkan saban tahun. Sang pemandu lalu berbisik, menyitir pesan ulama di sana: simpanlah baik-baik, gula itu bisa diminum sebagai obat, dan debunya taburkan di kain kafan jenazah kerabat, agar bisa mendapat syafaat atau pertolongan di akhirat kelak….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo