Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permintaan Maaf Cover Edisi Soeharto
Pembaca yang terhormat,
Kami akhirnya sadar bahwa sebuah gambar tak berhenti pada gambar itu sendiri. Gambar, terutama yang menjadi sampul atau cover majalah ini, mengalami perjalanan yang jauh: akan ditafsirkan menurut referensi masing-masing orang—juga masing-masing kelompok.
Ketika mata kami terpaku pada The Last Supper atau Perjamuan Terakhir karya seniman agung abad ke-15 Leonardo da Vinci, segalanya tampak begitu tepat untuk mewakili fragmen yang kami coba terjemahkan ke dalam bahasa visual sampul majalah ini. Ya, fragmen perpisahan, seorang tua yang meninggalkan anak-anaknya. Dan pilihan pun dijatuhkan.
Di zaman ini ide menyebar cepat, begitu juga daur ulang karya-karya seni dunia. Baru saja seseorang menyematkan sebuah bunga matahari pada telinga sang nona dalam Monalisa-nya Leonardo da Vinci di Buenos Aires, di Cina, di belahan lain dunia, mungkin di Brastagi atau daerah terpencil di Burkina Faso, orang lain telah memberikan pupur luar biasa menor pada wajah yang sama. Monalisa telah menjadi milik dunia dan diinterpretasikan kembali, dan memang begitulah karya-karya yang berhasil menembus batas zamannya. Mereka mengalami reaktualisasi.
Praktis, karya-karya ikonik itu seakan menyediakan sebuah cetakan kue yang mempersilakan siapa saja mengisi ”bentuk” itu dengan ”adonan” kreasinya sendiri.
Majalah ini pernah meminjam ”bentuk” dan komposisi foto ikon dari pertempuran Iwo Jima (terjadi pada 1945) dengan judul Mengibarkan Bendera. Waktu itu, Semen Padang mencoba menolak dominasi pusat yang kelewat besar dan kami menampilkan heroisme dalam perlawanan itu melalui gambar pengibaran bendera sebagaimana tecermin dalam ikon.
Perjamuan Terakhir sendiri tafsirnya telah lama meninggalkan bentuk aslinya dan meliputi berbagai medium seni. Muncul dalam berbagai bentuk, dari yang fine art sampai karya seni grafis populer.
Merasa karya Da Vinci itu sudah menjadi milik semua orang dan telah banyak ditafsirkan ulang, kami ”mengisinya” secara kreatif, mengambil hanya sebagian komposisinya. Ada enam orang—ketimbang 12—yang duduk mengapit tokoh sentral di dalam karya daur ulang itu. Tiga di kanan, tiga lagi di kirinya. Peralatan makan, pakaian, warna, dan banyak lagi diambil dari tempat lain. Tak ada roti dan anggur yang disucikan dalam keyakinan Kristiani dalam sampul majalah kami. Tak lupa di halaman selanjutnya kami bubuhkan sebuah frasa penghormatan kepada sang maestro: ”diinspirasi dari karya Leonardo da Vinci”.
Pendekatan kami jelas terpaku pada ”bentuk luar” karya itu. Bukan pendekatan parodi yang menafsirkan kembali dengan jenaka, apalagi pendekatan biblikal. Kami belajar cepat bahwa apa yang ada di kepala kami tidak selalu sama dengan yang ada di kepala orang lain. Untuk sebagian orang, gambar karya Leonardo da Vinci itu sakral dan sama sekali tak bisa dipisahkan dari tafsir biblikalnya.
Kami tidak mengatakan bahwa ada jarak beratus-ratus tahun antara Perjamuan Terakhir dan masa hidup Leonardo da Vinci, dan tidak bisa memastikan bahwa sang seniman telah secara akurat berhasil merekam peristiwa itu. Yang kami tahu, kami telah tidak sensitif terhadap sebuah keyakinan. Sekali lagi, kepada sidang pembaca, dengan tulus dan rendah hati kami mohon maaf.
Tanggapan PGI tentang Sampul Tempo
SEPEKAN lalu, kami memperoleh banyak pesan dari warga gereja yang gundah atas sampul majalah Tempo edisi khusus Soeharto, ”Setelah Dia Pergi”, 4-10 Februari 2008.
Setelah kami perhatikan gambar tersebut, kami menilai Tempo kurang bijaksana membuat gambar sampul yang diinspirasi oleh gambar Perjamuan Terakhir Yesus Kristus bersama murid-muridnya, sebagaimana dikisahkan dalam Matius 26:20-28. Gambar itu sudah sangat familiar di kalangan umat Kristiani di seluruh dunia.
Dengan memposisikan Soeharto seperti Tuhan Yesus, bisa timbul antipati terhadap Tempo yang sudah memiliki tempat di hati pembaca. Mudah-mudahan, ke depan redaksi Tempo lebih berhati-hati dan bijaksana sehingga peristiwa serupa tidak terjadi lagi.
Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) PDT. DR A.A YEWANGOE (Ketua Umum) PDT. DR RICHARD DAULAY (Sekretaris Umum)
Tentang Sampul Tempo (2)
SAYA terperanjat melihat sampul Tempo edisi 4-10 Februari 2008 yang menggambarkan klan Soeharto dengan adaptasi lukisan Leonardo da Vinci, Perjamuan Terakhir. Dari segi ide, gagasan, dan seni, ini kreatif dan menarik.
Tapi saya gelisah karena sampul itu bisa ditafsirkan Tempo menyamakan Soeharto dengan Yesus Kristus. Atau sebaliknya Yesus sama dengan Soeharto. Ini berbahaya karena menghina keimanan orang Kristen. Tempo sudah kebablasan.
Saya mengenal Tempo yang mengusung tradisi kreatif, pikiran bebas, dan jurnalisme alternatif. Tapi mengapa harus mengadaptasi momen perjamuan suci terakhir Yesus? Ada banyak alternatif untuk memvisualkan dinasti Cendana. Tempo bisa saja, misalnya, mengadaptasi pertemuan mafioso atau pertemuan dinasti raja Mataram tanpa harus merujuk ke figur tertentu.
DIXI PRADIPTA Bumi Santosa, Bandung
Tentang Sampul Tempo (3)
SEBAGAI pengikut Katolik, saya sama sekali tak tersinggung dengan pemuatan adaptasi gambar Perjamuan Terakhir di sampul Tempo edisi 4-10 Februari 2008. Toh, Yesus milik semua umat manusia. Yang menjadi pertanyaan terbesar adalah apa alasan pemuatan adegan The Last Supper versi Soeharto. Kalau boleh menebak: supaya eye catching saja.
Yesus tahu Dia akan mati disalib guna menebus dosa-dosa manusia. Untuk itu, ia mengadakan perjamuan terakhir dengan murid-muridnya. Yang jadi pertanyaan, apakah Soeharto juga melakukan perjamuan dengan anak-anaknya pada akhir hayatnya? Kalau boleh menebak lagi: tidak!
Sebagai pengikut Katolik, saya yakin, Yesus tak akan marah dengan gambar itu. Karena Dia memang Nabi yang paling keren. Jika ada sekelompok orang mengatasnamakan Katolik yang marah, mungkin mereka Katolik ”kanan” seperti yang ada di semua agama. Tapi, kepada Tempo, tolong jangan samakan Yesus dengan Soeharto.
ANDREAS RONNY Sunter, Jakarta Utara
Redaksi menerima banyak sekali surat yang mempersoalkan sampul Tempo edisi 4-10 Februari 2008, baik yang disampaikan langsung, melalui email, faksimile, pesan pendek, maupun telepon.
Teruskan Kasus Soeharto
WAFATNYA Soeharto masih menyisakan soal, yakni status hukumnya. Ini karena pemerintah tak tegas bersikap sampai Soeharto meninggal. Yang jelas, proses terhadap kasus hukum Soeharto harus bersandar pada nilai-nilai obyektivitas dan keadilan. Proses hukum terhadap Soeharto dan keluarganya tetap harus berjalan dan tidak boleh dihentikan begitu saja.
Kini tinggal bagaimana pemerintah menangani dan menyikapinya. Apakah akan terus memelihara polemik. Semoga pemerintah bisa tegas, agar bangsa ini tidak terus-menerus tenggelam dalam kontroversi.
WORO SEMBODHRO Baciro, Yogyakarta
Tips Sehat Tempo
ASTAGA, saya baru melihat rubrik ”Tips Hidup Sehat” di Tempo edisi 3 Februari 2008 yang berjudul ”Bye Bye Nikotin”, yang pada prinsipnya memperkenalkan Chantix sebagai solusi berhenti merokok. Tolong cermati lagi. Chantix sudah diperingkatkan oleh FDA (regulator pangan dan obat Amerika Serikat) sebagai produk berbahaya.
LENI DHARMAWAN [email protected]
Terima kasih, Anda benar. Kami memohon maaf atas kekeliruan tersebut.
Tommy Anak Bungsu Soeharto?
SELAMA ini media massa menyebutkan Hutomo Mandala Putra alias Tommy sebagai anak bungsu Soeharto. Ini menyesatkan. Karena anak bungsu Soeharto adalah Mamiek. Beberapa media memang kerap mengganti kata ”anak bungsu” dengan putra bungsu Soeharto, untuk menjelaskan bahwa ia anak laki-laki terakhir Soeharto.
Tetapi istilah anak dan putra bungsu tetap menyesatkan. tulisan Tempo 4-10 Februari 2008, yang menyebut Tommy sebagai ”anak bungsu Soeharto” (hlm. 62). Padahal di lembar berikutnya masih ada profil Mamiek, si bungsu yang berikutnya. Mengapa informasi menyesatkan ini masih juga digunakan?
SYAFA’ATUN Jalan Borobudur, Jakarta Pusat
Setuju Pembubaran MUI
SAYA sependapat dengan opini Tempo edisi 28 Januari-3 Februari 2008 mengenai opsi usul pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI), terkait dengan kegagalannya memberikan pencerahan kepada umat, terutama dalam kasus fatwa sesat atas Ahmadiyah.
Kurang bijak bagi sebuah institusi yang dianggap menaungi masyarakat Islam, mengeluarkan sikap ngeyel dan terkesan pongah seperti itu. Rasulullah sendiri ikhlas mengampuni Abu Sofyan dalam penaklukan Mekah, walaupun kesalahan Abu Sofyan terhitung luar biasa terhadap umat Islam. Apalagi saudara seiman kita yang ”kembali” ke jalan yang benar.
Seharusnya MUI juga memikirkan efek psikologis dan kemanusiaan sebelum mengambil sikap tersebut. Fatwa sesat laksana memahat kebenaran menjadi batang yang kaku dan tunggal. Fatwa ini berpotensi besar menggerakkan massa yang terimpit masalah hidup, mencari pelampiasan yang heroik dan jihadis atas nama sebuah interpretasi kebenaran tunggal.
Ada sangat banyak lahan fatwa yang belum digarap namun sangat krusial bagi nasib umat Islam Indonesia. Misalnya lumpur Lapindo, narkoba, serta tayangan televisi yang acakadut dan tidak mendidik.
MUHAMMAD RUSLAILANG Balikpapan
Bukopin Tak Manusiawi
SAYA pemegang kartu kredit Bukopin Visa nomor 4211 6801 0105 xxxx dengan limit Rp 50 juta. Pada September 2006, tagihan kartu saya Rp 28 juta. Kartu sudah tak bisa dipakai lagi karena kondisi sulit keuangan saya. Saya berniat menyelesaikan utang itu dengan meminta keringanan untuk mengangsur tanpa minta diskon. Bukopin setuju dengan pembayaran uang muka Rp 3 juta. Tapi ternyata uang itu dianggap pembayaran biasa.
Dengan kondisi keuangan saat ini, saya keberatan dengan tagihan itu karena utang bertambah menjadi Rp 44 juta. Saya juga merasa terteror dengan datangnya para penagih yang marah-marah di rumah atau melalui telepon. Bahkan oleh mereka saya disebut bajingan. Saya juga punya tagihan di bank lain tapi tak arogan seperti Bukopin. Bank lain memberikan keringan karena memahami kondisi saya.
MUHAMMAD Alamat ada di Redaksi
Tanggapan Bank Danamon
SEHUBUNGAN keluhan Bapak Yohnson Iskandar di Tempo edisi 4 Februari 2008, kami sampaikan bahwa kami sudah menghubungi yang bersangkutan. Kami jelaskan bahwa tidak diterimanya kartu perpanjangan Bapak Yohnson karena status kartunya terblokir permanen akibat tunggakan tagihan.
Pada Januari 2007, Bapak Yohnson melunasi tunggakan sehingga kami mengirim lembar konfirmasi pelunasan itu pada bulan yang sama. Kami tidak pernah menghubungi Bapak Yohnson pada Oktober 2007 untuk meniadakan iuran tahunan. Dan dari rekaman pembicaraan petugas kami dengan Bapak Yohnson tak ada tanggapan yang arogan atau melecehkan. Bapak Yohnson dapat menerima penjelasan kami.
MUHAMMAD NASRUL Danamon Card Center PT Bank Danamon Indonesia Tbk.
Jika Presiden Kena Banjir
MUNGKIN alam sudah waktunya memperingatkan kita semua untuk serius menangani banjir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri mengalaminya: tak enak terkena banjir. Apalagi Istana Negara juga tak luput dari terjangan air. Hujan deras dan drainase yang buruk penyebabnya.
Sudah waktunya pemerintah bertindak: membuat ruang-ruang terbuka untuk resapan air dan menghentikan obsesi membangun gedung megah dan perumahan mewah yang mengorbankan lahan hijau. Inilah saatnya bertindak. Jangan sampai seorang presiden harus turun dari mobil dinasnya yang terkepung banjir.
SULAMI Mampang, Jakarta Selatan
Mengecam Bentrokan Tentara-Polisi
APA pun yang menjadi pemicunya, penyerbuan sejumlah anggota Batalion Infanteri 731/Karebosi terhadap Markas Polres Maluku Tengah di Masohi, 2 Februari lalu, jelas sangat memalukan. Penyerbuan tersebut tidak hanya patut disesalkan, melainkan juga harus dikutuk keras. Tidak patut dan tidak pada tempatnya sesama aparat keamanan yang seharusnya bekerja sama melindungi masyarakat justru baku tembak.
Aparat keamanan seperti itu justru menakutkan. Untuk kesekian kalinya, peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa mental dan moral sejumlah anggota aparat keamanan sangat buruk. Bagaimanapun, Indonesia adalah negara hukum, bukan negara barbar. Tidak bisa main serbu seperti yang diperlihatkan sejumlah anggota Yonif 731.
I MADE ADIYAKSA Jatiwaringin, Jakarta Timur
Gagasan Menghapus Pilkada
PEMIKIRAN menghapus pemilihan kepala daerah langsung adalah cara berpikir yang tidak relevan, kurang bijak, dan terburu-buru. Memang, pilkada boros dan masih memiliki kekurangan. Konflik antarpendukung dan aksi mendelegitimasi hasil pilkada masih kerap terjadi. Bahkan politik uang sering ikut mewarnai.
Tapi tidak semua pilkada seperti itu. Sebagian sudah berjalan baik, damai dan tidak menghamburkan uang. Langkah yang benar adalah mengevaluasi dan menyempurnakan sebagian aturan dan pelaksanaan di lapangan. Pilkada adalah sebuah proses pembelajaran politik nasional bagi masyarakat di daerah dengan model yang lebih demokratis.
TEUKU FACHRI Samarinda, Kalimantan Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo