Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Revisi RTRW di Bengkulu di antaranya akan mengakomodir kegiatan tambang emas di Bukit Sanggul.
Usulan pelepasan kawasan hutan dan perubahan peruntukan hutan mencapai 123 ribu hektare.
Warga desa sekitar Bukit Sanggul mulai gusar dengan rencana tambang emas tersebut.
ZALMANTO bergembira mendengar kabar pemerintah akan membangun jalan ke Desa Giri Nanto, Kecamatan Ulu Talo, Kabupaten Seluma, Bengkulu—kampung Zalmanto. Kepala Desa Giri Nanto itu mendengar berita tersebut berselang satu pekan setelah Presiden Joko Widodo berkunjung ke Bengkulu pada 19 Juli lalu. “Kami dikabari akan dibangun jalan mulus ke kampung. Katanya pakai dana instruksi presiden," kata Zalmanto saat ditemui di kediamannya, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindak lanjut dari kabar baik tersebut, Zalmanto mendapat undangan dari Wakil Bupati Seluma, Gustianto, pada 28 Juli lalu. Ia diajak memasang tanda titik nol pembangunan jalan menuju Giri Nanto. Segenap warga Giri Nanto ikut bergembira dengan kabar pembangunan jalan ini. Mereka berharap keluar status kampung terisolasi setelah jalan diperbaiki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini jalan menuju kampung berpenduduk 88 keluarga ini rusak parah. Hanya seperempat jalan menuju Giri Nanto yang beraspal. Sisanya, jalan berbatu berukuran kepala orang dewasa yang bercampur tanah serta berlubang. Saat musim hujan, jalan ini akan berair dan berlumpur. Hanya mobil beroda gigi khusus yang dapat melintasi jalan ke kampung ini. Jika menggunakan sepeda motor, pengendara harus membalut ban sepeda motor dengan rantai agar tak tergelincir. Butuh waktu hingga empat jam perjalanan menggunakan kendaraan dari Tais, ibu kota Seluma, ke Giri Nanto.
Sayangnya, kegembiraan warga Giri Nanto itu hanya sekejap. Kini mereka dihantui kabar buruk akan adanya rencana tambang emas di Bukit Sanggul. Bukit ini persis berada di belakang Desa Giri Nanto. Antara Giri Nanto dan kaki Bukit Sanggul hanya berjarak 1,5 kilometer. “Jangan-jangan jalan kami yang akan dipakai buat tambang. Kami tidak sudi,” kata Yayan, warga Desa Giri Nanto.
Kondisi jalan menuju Desa Giri Nanto di Seluma, Bengkulu, 5 Agustus 2023. TEMPO/Harry Siswoyo
Zalmanto juga mendapat kabar serupa. Tapi, sepengetahuan Zalmanto, Bukit Sanggul berstatus hutan. Sebagai kepala desa, ia tak pernah mendapat informasi mengenai rencana perubahan status hutan di kawasan Bukit Sanggul. Meski begitu, dulu ia memang kerap mendengar kabar akan adanya rencana tambang emas di sana. Tapi kabar yang berembus kali ini lebih kencang dari tahun-tahun sebelumnya.
Nusiah, 55 tahun, juga gusar mendengar kabar tersebut. Perempuan suku Serawai—suku yang mendiami sebagian wilayah Seluma, termasuk Desa Giri Nanto—ini khawatir sawah miliknya di tepi Sungai Ulu Talo akan rusak akibat tambang emas nantinya. Area persawahan di Giri Nanto dan sekitarnya memang mendapat pasokan air dari Sungai Ulu Talo. Hulu sungai berada di kawasan Bukit Sanggul. “Pasti rusak semua sumber air di hulu. Sungai bakal teracuni, sawah mati, banjir, dan entah apalagi,” kata Nusiah.
Bukit Sanggul membentang dari Seluma hingga Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan. Kawasan Bukit Sanggul merupakan area hutan lindung dengan luas mencapai 75 ribu hektare. Terdapat sepuluh sungai berhulu di Bukit Sanggul, lalu membentuk tujuh daerah aliran sungai. Sungai-sungai itu menjadi sumber pengairan untuk 9.739 hektare sawah di sekitarnya.
Dari Giri Nanto, kawasan hutan lindung ini terlihat seperti gugusan bukit yang berundak. Beberapa bukit memiliki nama, misalnya Bukit Payung dan Bukit Gajah Geram. Di lereng bukit berjejer pohon raksasa berwarna hijau. Bukit ini selalu diselimuti kabut sepanjang hari.
Karena itu, kegusaran Nusiah cukup beralasan. Ia tak dapat membayangkan dampak buruk jika Bukit Sanggul menjadi area tambang emas dan pepohonannya dibabat. Nusiah membandingkan dengan kondisi Bukit Sanggul saat ini setelah lereng-lereng bukit ditanami kopi. Pembukaan kebun kopi ini disertai penebangan pohon. Akibatnya, saat musim hujan, Sungai Ulu Talo meluap hingga terjadi banjir. “Yang parah itu di desa yang agak hilir. Pernah rumah orang hanyut pada 2019,” ujar Nusiah.
Sejauh ini, ada dua perusahaan yang mendapat izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan Bukit Sanggul. Keduanya adalah PT Perisai Prima Utama dan PT Energi Swa Dinamika. Izin PT Perisai Prima Utama diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2014 seluas 90 ribu hektare. Tapi area konsesi perusahaan diciutkan menjadi 60 ribu hektare pada 2017. Konsesi tersebut membentang dari Bengkulu hingga Sumatera Selatan yang berada di empat kabupaten, yaitu Seluma, Bengkulu Selatan, Lahat, dan Empat Lawang.
Baca juga : Tambang Terlarang Perusahaan Setya Novanto
Adapun IUP PT Energi Swa Dinamika diterbitkan oleh Bupati Seluma pada 2010 karena area konsesinya hanya berada di kabupaten tersebut. Izin perusahaan direvisi pada 2014 dengan luas konsesi 31.984 hektare.
Sampai sekarang kedua perusahaan belum melakukan penambangan sejak mendapat izin. Sebagian area konsesi perusahaan berada di kawasan hutan lindung. Ada juga yang berada di kawasan konservasi, areal penggunaan lain (APL), perkebunan rakyat, dan permukiman penduduk.
Sejumlah warga Ulu Talo menggunakan telepon seluler untuk mendapatkan sinyal jaringan internet di Desa Giri Nanto, Seluma, Bengkulu, 6 Agustus 2023. TEMPO/Harry Siswoyo
Ubah Tata Ruang demi Tambang Emas
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah meneruskan usulan sejumlah kabupaten dan kota di Bengkulu untuk mengubah peruntukan serta fungsi kawasan hutan di wilayah masing-masing ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2019. Tapi luas usulan kawasan hutan tersebut terus bertambah hingga awal 2022—batas akhir usulan dari provinsi ke Kementerian Lingkungan Hidup.
Sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu 2012-2023, kawasan hutan yang diusulkan berubah status seluas 123 ribu hektare. Sebesar 33 persen dari luas tersebut akan diperuntukan kepentingan investasi. Sisanya untuk kebutuhan masyarakat.
Dari angka tersebut, usulan pelepasan kawasan hutan ataupun perubahan peruntukan hutan seluas 62,7 ribu hektare. Lalu 60,8 ribu hektare kawasan hutan diusulkan berubah fungsi. "Usulan ini untuk kepentingan permukiman. Beberapa desa di Bengkulu banyak yang masuk kawasan hutan," kata Rohidin pada 4 Februari lalu.
Ia tak menepis bahwa usulan perubahan status kawasan hutan itu bisa saja mengakomodasi kepentingan bisnis ekstraktif, seperti tambang batu bara dan mineral lainnya. Dia berdalih, kegiatan bisnis itu harus memenuhi syarat dan melalui pengkajian yang ketat.
Sesuai dengan dokumen RTRW Bengkulu, usulan paling luas berasal dari Pemerintah Kabupaten Seluma. Kabupaten ini mengusulkan pelepasan kawasan hutan atau perubahan peruntukan seluas 15.530 hektare dan perubahan fungsi hutan seluas 45.397 hektare.Usulan dari Seluma ini juga berubah-ubah, sejak 2019 hingga 2022. Pada 2019, Seluma hanya mengusulkan pelepasan kawasaan hutan dan perubahan fungsi hutan seluas 4.644 hektare. Luas usulan Pemkab Seluma ini terus meningkat hingga mencapai 60.927 hektare pada 2022.
Dan jawaban atas usulan tersebut datang akhir Mei lalu. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar meneken Surat Keputusan Nomor 533/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023 yang mengatur pengalihan status kawasan hutan lindung dan kawasan cagar alam sebagai review atas RTRW Provinsi Bengkulu. Dalam SK itu disebutkan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 2.340 hektare; perubahan antar-fungsi kawasan hutan seluas 20.272 hektare; dan perubahan dalam fungsi pokok kawasan hutan seluas 221 hektare. Artinya, hanya sekitar 19 persen dari total 123 ribu hektare usulan Pemerintah Provinsi Bengkulu yang disetujui.
Khusus di Seluma, Kementerian Lingkungan Hidup hanya menyetujui pelepasan kawasan hutan seluas 53,71 hektare; perubahan dalam fungsi pokok kawasan konservasi cagar alam menjadi taman wisata alam seluas 170 hektare; serta perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi seluas 19.939 hektare.
Masalahnya, hutan lindung yang diubah fungsinya ini adalah hutan lindung Bukit Sanggul. Hasil analisis spasial menunjukkan, kawasan hutan lindung Bukit Sanggul yang diubah fungsinya menjadi hutan produksi itu beririsan dengan konsesi PT Energi Swa Dinamika Muda, dengan luasan sekitar 11.841 hektare. Sebagian di antaranya adalah hutan lindung yang berada di wilayah administrasi Giri Nanto.
Tim kolaborasi Koran Tempo dan Betahita.id telah melayangkan surat permohonan wawancara kepada manajemen PT Energi Swa Dinamika Muda. Surat dilayangkan pada 11 Agustus lalu ke kantor perseroan di Gedung Data Print Lantai 2, Jalan Blora, Jakarta Selatan. Surat itu juga berisi lampiran daftar pertanyaan, seperti perubahan fungsi hutan lindung yang berada di areal konsesi perusahaan dan rencana dimulainya penambangan. Namun hingga laporan ini diturunkan, manajemen perseroan belum memberikan jawaban.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Seluma, Sudarman, mengakui perubahan usulan tersebut untuk mengakomodasi rencana investasi tambang emas di Bukit Sanggul. "Total rencana investasi sebesar Rp 11 triliun," ujarnya pada Ahad, 13 Agustus lalu.
Dia enggan membeberkan investor yang dimaksud. Yang jelas, menurut Sudarman, PT Energi Swa Dinamika Muda sudah intens berkomunikasi dengan pihak Pemerintah Kabupaten Seluma dan menyatakan akan segara menambang. “Sudah presentasi. Terakhir pada 2022. Cuma kapan geraknya (beroperasi), masih lama. Bisa jadi 2025,” ujarnya.
Sudarman mengatakan, pemerintah kabupaten sekarang tinggal menunggu pengesahan Peraturan Daerah tentang RTRW Bengkulu yang terbaru. Pengesahan perda itu akan menjadi jalan pembuka ke tahap berikutnya. “Nanti mau dipaskan lagi koordinatnya, titik eksploitasi di mana, dan lain-lain. Cuma yang jelas kini status hutan sudah berubah. Artinya, langkah pertama sudah,” kata dia.
Ia mengklaim kegiatan tambang emas di Bukit Sanggul akan berdampak positif terhadap ekonomi Seluma. Paling tidak, kata dia, perusahaan akan menggunakan tenaga kerja lokal. Namun ia enggan menjawab ketika disinggung ihwal potensi dampak buruk dari tambang emas tersebut nantinya, khususnya mengenai kerusakan lingkungan. “Ya, pokoknya kami pikirkan nanti bagaimana cara jalan keluar soal dampaknya. Itu tadi, prosesnya kan masih lama sekali,” kata dia.
Seorang warga Desa Giri Nanto yang baru pulang berladang dari kawasan hutan Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma, Bengkulu, 6 Agustus 2023. TEMPO/Harry Siswoyo
Kepala Desa Muara Dua, Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma, Dedi Sudianto, punya pandangan berbeda. Sejauh ini, ia menyatakan tak pernah mendengar rencana perubahan status hutan kawasan hutan di Bukit Sanggul tersebut. Padahal desanya hanya berjarak beberapa kilometer dari sisi selatan hutan lindung Bukit Sanggul yang diduduki konsesi izin PT Energi Swa Dinamika Muda..
Dedi khawatir desanya bakal terkena dampak secara langsung jika Bukit Sanggul berubah menjadi areal penambangan emas. Sungai-sungai yang mengalir dari Bukit Sanggul melintas maupun bermuara di Desa Muara Dua. Sungai-sungai itu pula yang menjadi sumber pengairan area persawahan di Muara Dua sekaligus untuk mencari ikan. “Kami pasti menentang kalau sungai-sungai ini terkena limbahnya,” kata Dedi di kediamannya, pekan lalu.
Direktur Genesis Bengkulu—lembaga non-pemerintah di bidang kelestarian lingkungan—Egi Ade Saputra mengatakan sejak awal sejumlah organisasi masyarakat sipil sudah memprotes rencana perubahan kawasan hutan di Bengkulu. Tapi, saat masa pandemi Covid-19, mereka kesulitan mendapatkan informasi soal perkembangan perubahan RTRW Bengkulu hingga mereka memperoleh kabar terbaru pada 2022. Mereka mendapat informasi soal adanya usulan perubahan kawasan hutan di Bukit Sanggul. “Kami baru dapat informasi lagi setelah dua tahun dan angkanya mengejutkan,” kata Egi.
Egi menilai adanya rencana tambang emas di Bukit Sanggul akan mengancam penduduk di 80 desa di Kabupaten Seluma. Lalu sekitar 4.000 hektare sawah tradisional yang sumber airnya berasal dari sungai-sungai yang berhulu di Bukit Sanggul juga akan terkena dampak. Ia menyebutkan tambang emas rawan mengakibatkan kekeringan, keracunan besi, potensi tanah longsor, dan pergerakan tanah. Apalagi Bukit Sanggul memiliki lereng curam dan banyak permukiman penduduk di sekitarnya. “Bukit Sanggul adalah rumah mata sungai dari sepuluh sungai besar yang membentuk tujuh daerah aliran sungai," kata dia. "Merusak kawasan ini artinya kita sedang menambang bencana."
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Tim Laporan Khusus Koran Tempo
Penanggung jawab: Jajang Jamaludin | Kepala proyek: Agoeng Wijaya | Koordinator kolaborasi: Avit Hidayat | Penulis dan penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Avit Hidayat, Andi Adam Faturrahman (Tempo), Fachri Hamzah (Padang), Harry Siswoyo (Bengkulu), Sapri Maulana (Samarinda), Aryo Bhawono, Raden Aryo W. (Betahita.id) | Editor: Yandhrie Arvian, Agoeng Wijaya, Rusman Paraqbueq, Suseno, Reza Maulana | Analis spasial: Adhitya Adhyaksa, Andhika Younastya (Auriga) | Bahasa: Suhud, Tasha Agrippina, Sekar Septiandari, Ogi Raditya | Periset Foto: Ijar Karim, Bintari Rahmanita