Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas Nuansa Pulau menanam dan merawat terumbu karang di perairan Bali.
Rafael Nicholas Angouw menginisiasi gerakan rehabilitasi terumbu karang di perairan Malalayang, Manado.
Hermansyah menjadi pelestari terumbu karang di Kepulauan Seribu.
Terumbu karang dengan berbagai bentuk dan warna terhampar di bawah laut di wilayah perairan Desa Ped, Nusa Penida, Klungkung, Bali. Saat Tempo melakukan snorkeling di wilayah itu, Selasa, 27 Juni lalu, sekumpulan terumbu karang hidup di kedalaman mulai dari 5-15 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari permukaan, habitat terumbu karang ini bak sebuah taman di dasar laut. Berbagai biota laut pun muncul di sekitarnya, dari ikan hias hingga bintang laut berwarna biru terang. Di sisi lainnya, ada terumbu karang yang memutih alias dalam kondisi sekarat. Ada pula yang masih berupa bibit-bibit dengan struktur yang mengikuti rangka berbentuk bintang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemuda asal Desa Ped, I Gede Ranta Widya, mengatakan bibit terumbu karang yang disusun sedemikian rupa itu adalah bagian dari upaya konservasi ekosistem perairan. Pemuda berusia 18 tahun ini bersama rekan-rekannya di Komunitas Nuansa Pulau-lah yang menanam terumbu karang tersebut. "Kami mulai sejak 2020, awal masa Covid-19. Sekolah kan online, jadi enggak ada kerjaan," kata pelajar di sebuah SMA di Bali ini.
Ia bersama sejumlah pemuda di desa itu lantas disatukan dalam sebuah kelompok yang melabeli diri sebagai pencinta terumbu karang. Sebagai anak pulau, ia tergugah menyelamatkan ekosistem perairan di desanya, terutama terumbu karang yang banyak rusak akibat tergulung ombak.
Awalnya, tugas Gede hanya membersihkan karang atau mengganti yang sudah rusak. Ia lalu mendapat pelatihan dari organisasi nonprofit di luar negeri tentang metode penanaman karang. "Dikasih tahu cara membuat rancangan kayak gimana caranya karang bisa hidup dan berkembang," ujarnya.
Setelah terlatih, Gede dan kawan-kawannya rutin menyelam sekali dalam sepekan untuk merawat karang. Hampir tiga tahun belakangan ini, ia sudah menanam sekitar 5.000 bibit karang. Itu belum termasuk jumlah karang yang ditanam teman-temannya. Walau demikian, Gede masih menghadapi tantangan dalam upaya pelestarian ini.
Salah satu tantangan itu adalah masih ada orang yang menggunakan bubuk kimia untuk menangkap ikan ataupun dengan merusak karang. Gede juga kerap menemukan perahu-perahu yang sembarangan melepas jangkar tanpa tahu ada karang di bawahnya. Pasalnya, selain kerusakan secara alami, aktivitas manusia merupakan ancaman serius bagi terumbu karang.
Komunitas Nuansa Pulau melakukan penanaman terumbu karang dengan metode reef star di perairan Nusa Penida, Klungkung, Bali. Dok pribadi
Hingga kini, ia bersama rekan-rekannya tak henti mengedukasi masyarakat ataupun perusahaan-perusahaan penyedia wisata selam atau snorkeling mengenai terumbu karang.
Pendiri Komunitas Nuansa Pulau, I Nyoman Karyawan, mengatakan upaya konservasi ini didukung adanya program pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang melalui inisiatif segitiga terumbu karang (Coremap-CTI), yang dimulai sejak Maret 2020.
Program ini dilaksanakan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Melalui mitra kerja ICCTF, Coral Triangle Center, kelompok Nuansa Pulau mendapat bantuan berupa pelatihan, adopsi karang, fasilitator bantuan ke kementerian, hingga peralatan menyelam. Bahkan mereka juga mendapat ratusan media reefstar. Hasilnya, 80 persen kawasan perairan Desa Ped kini sudah tertutupi terumbu karang. "Sekitar 20 persen permasalahan kami adalah maintenance," kata dia.
Proyek Coremap-CTI diketahui mendapat dana hibah dari Asian Development Bank senilai Rp 72,8 miliar. Program ini sudah memasuki fase ketiga dan akan berakhir pada Agustus mendatang. Ada tiga kawasan yang menjadi percontohan, yaitu Nusa Penida, Gili Matra, dan Gili Balu.
Kawasan Nusa Penida menjadi salah satu pilot project karena dinilai kaya ekosistem pesisir dan keanekaragaman hayati. Alasan lain karena adanya ancaman cukup tinggi akan kelangsungan ekosistem perairan. Ancaman ini salah satunya dari ribuan turis yang kerap mendatangi Nusa Penida dalam sehari. Ketika musim libur Lebaran beberapa waktu lalu, dalam kurun waktu 19-23 April, tercatat ada 11 ribu lebih wisatawan yang ke pulau yang dijuluki The Blue Paradise Island tersebut.
Executive Director ICCTF, Tonny Wagey, mengatakan bahwa kedatangan turis memang memiliki nilai ekonomi untuk Bali. Tetapi, untuk menjamin keberlangsungan, perlu ada konektivitas dari kawasan konservasi dengan manusia.
Pada 26 Juni lalu, ICCTF mengadakan workshop exit strategy dan project expose untuk mendapatkan rekomendasi kebijakan serta model pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat. Tonny mengungkapkan, melalui program ini, pihaknya berupaya menyiapkan masyarakat untuk mengelola wilayah perairan secara berkelanjutan. Pasalnya, pemanasan global yang menjadi ancaman bagi terumbu karang sulit dihindari. "Jika suhu naik pasti akan terjadi kematian coral atau terumbu karang," Tonny mengungkapkan.
Salah satu kegiatan dalam program ini adalah peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengembangan mata pencarian, pembangunan sarana dan prasarana, hingga penyusunan tourist management system.
Indonesia, kata Tonny, memiliki target capaian 30 persen luas kawasan konservasi perairan pada 2045. Karena itu, ia berharap kesuksesan masyarakat Nusa Penida dapat diadopsi di wilayah perairan lainnya.
Anak Muda Pelestari Karang dari Manado
Kisah pelestarian terumbu karang juga datang dari Rafael Nicholas Angouw. Usianya baru 16 tahun. Namun ia sudah menginisiasi gerakan untuk merehabilitasi terumbu karang di perairan Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, sejak dua tahun lalu.
Tepat pada Desember 2021, Rafael bersama adiknya mendirikan Reeformers. Komunitas ini merancang program transplantasi terumbu karang berkelanjutan dengan sistem adopsi karang. "Jadi, ada fee yang mereka (adopter) bayar kayak langganan," kata Rafael.
Siswa kelas XII Jakarta Intercultural School ini menjelaskan, besaran fee yang dikenakan adalah US$ 25 atau Rp 375 ribu per tahun. Imbal baliknya, Reeformers akan memberikan laporan monitoring kondisi karang yang diadopsi, termasuk dokumentasi foto dan video. Pemantauan ini dilakukan untuk memastikan karang tetap sehat.
Founder Reeformers, Rafael Nicholas Angouw, melakukan aksi transplantasi terumbu karang di Manado, Sulawesi Utara. Dok pribadi
Adopter tidak hanya berasal dari kalangan individu, tapi juga perusahaan besar. Salah satunya adalah Mercedes-Benz Indonesia, yang pada 23 Juni lalu mengadopsi 1.280 karang. Dana adopsi yang dibayarkan tiap tahun ini bakal digunakan untuk pemeliharaan terumbu karang.
Komitmen Rafael terlibat dalam konservasi laut berangkat dari kegelisahan terhadap kondisi terumbu karang di perairan Malalayang. Karang di sana banyak yang sudah hancur akibat reklamasi. "Itu juga alasan kami memutuskan kerja di Manado. Sebab, dengan karang-karang yang sudah hancur itu, kami ingin konservasi dengan proyek transplantasi."
Sejumlah inspirasi yang mendukungnya membuat program transplantasi datang dari Coral Gardeners, komunitas pelestari karang dari Prancis. Selain itu, Rafael dan adiknya dibantu marine expert yang berpengalaman dalam program transplantasi karang dan kini bergabung dengan timnya.
Inovasi Virtual Tourism dari Kepulauan Seribu
Kisah Hermansyah tak kalah hebat. Pemuda asal Kepulauan Seribu ini juga menjadi pelestari terumbu karang dan telah memberdayakan banyak anak muda di daerahnya. Lewat Smiling Coral Indonesia, Hermansyah merintis usaha agen perjalanan ekowisata sejak 2010. Sebagai penduduk asli Kepulauan Seribu, Hermansyah melihat ekosistem perairan di sana mengalami tingkat kerusakan yang cukup tinggi. Baik disebabkan oleh manusia, pencemaran lingkungan, maupun pemanasan global.
Apalagi hasil tangkapan ikan para nelayan Kepulauan Seribu juga kian turun. Mau tidak mau para nelayan harus melaut sampai ke Lampung dan Bangka Belitung. "Dan itu sangat berkaitan dengan kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu yang rusak hingga 60 persen menurut data penelitian," kata Hermansyah.
Penyebab kerusakan terumbu karang tak hanya dari unsur masyarakat, tapi juga pembangunan infrastruktur di Kepulauan Seribu yang tidak berlandaskan ekologi. Belum lagi dampak krisis iklim sudah dirasakan betul oleh warga sekitar: enam pulau di Kepulauan Seribu tenggelam dan 14 pulau lainnya terancam hilang.
Selama 10 tahun berjalan, usaha yang dijalani pria berusia 35 tahun itu hadir menjadi solusi atas permasalahan lingkungan di Kepulauan Seribu. Hermansyah pun didorong membentuk sebuah komunitas. Pada 2020, Smiling Coral Indonesia resmi berbadan hukum dan bermitra dengan Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Kegiatan menanam mangrove oleh Smiling Coral Indonesia. Dok. SCI
Berfokus pada bidang konservasi dan sosial-ekonomi, Hermansyah dan anggota komunitasnya mendata potensi area yang dikembangkan untuk konservasi melalui riset ilmiah terumbu karang, hutan mangrove, serta ikan. Kegiatan ini tak disokong siapa pun. Dananya murni dari hasil swadaya.
Agar upaya restorasi ini bisa terus berjalan, Hermansyah mencetuskan ide untuk mengawinkan aktivitas pariwisata berkelanjutan. Adopsi karang, salah satunya. Pada awal program ini berjalan, pandemi melanda dan mengakibatkan orang-orang terbatas melakukan kegiatan di luar ruangan, termasuk berwisata.
Hermansyah tak menyerah. Lewat pemanfaatan teknologi, ia mencetuskan paket virtual tourism. Orang-orang yang membeli paket ini dapat menyaksikan kegiatan siaran langsung penyelam dari Smiling Coral Indonesia yang sedang menanam terumbu karang di perairan. "Dari situ, kami mulai bangkit. Dari 35 anggota, kini selama masa pandemi dapat menghasilkan Rp 1,5 juta per bulan," kata dia.
Dari hasil menjual paket atraksi wisata tersebut, Hermansyah berhasil memulihkan kawasan seluas 400 meter persegi, dari yang tadinya hanya 0,5 persen terumbu karang yang hidup.
Setelah pandemi mereda, kini banyak orang yang mau turun tangan dalam aktivitas penanaman terumbu karang. Dengan demikian, manfaatnya juga dirasakan masyarakat Kepulauan Seribu dari sisi ekonomi, seperti penyewaan kapal-kapal nelayan, penginapan, hingga alat snorkeling.
Smiling Coral juga mengembangkan metode transplantasi karang sendiri berupa media rocklife, yaitu media alami dari batuan karang yang telah mati lalu ditambahkan dengan coran semen untuk dudukan berbentuk segi empat atau lingkaran dengan ukuran 40 x 40 sentimeter. Batuan karang disusun seperti bangunan kecil yang nantinya diperuntukkan buat rumah ikan dan biota laut, dipasangi pipa PVC ukuran 1 inci untuk tempat baby coral ditanam, dan diberi tanda nama menggunakan kertas anti-air serta dilapisi kaca.
Kegiatan Smiling Coral Indonesia. Dok. SCI
Menurut Hermansyah, metode yang mereka kembangkan ini memiliki tingkat keberhasilan 85 persen. Uniknya, ia menggunakan karang hasil budi daya dan hanya 10 persen menggunakan koloni indukan karang. "Jadi, bukan lagi dari karang alam." Sebab, karang budi daya ini beraneka warna. Hasilnya pun terlihat cantik ketika sudah pulih. "Jadi taman laut yang indah. Orang jadi berbondong-bondong melihat taman laut kita," ia melanjutkan.
Berbagai apresiasi juga disematkan kepada Smiling Coral Indonesia. Mereka pernah dinobatkan sebagai juara kelima nasional untuk desa binaan konservasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta memberikan penghargaan Tourism Award pada kategori organisasi pendukung kepariwisataan.
Hermansyah berharap kelompoknya bisa mengembangkan sayap di wilayah lain. Sebab, program yang dijalankannya saat ini juga telah diadopsi para pemuda di daerah lain. "Karena programnya memberdayakan masyarakat."
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo