Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDIKIT tergopoh Cecilia Da Silva masuk ke dalam Kapel (gereja kecil) San Maninu. Perempuan 70 tahun itu langsung mengarah ke sebuah kotak bertirai putih di bagian depan kapel. Tangan keriputnya hati-hati menyibakkan tirai. Tampaklah enam patung terbungkus kain, satu di antaranya hitam, sisanya kain putih.
Cecilia membuat tanda salib, menunjukkan ia memulai doanya. Lalu ia membungkukkan badan hingga bibirnya mencium meja tempat menaruh kotak itu. Kemudian juru kunci kapel ini berlutut menyalakan belasan lilin di depan meja. Rutinitas ini telah dilakukannya selama 20 tahun setiap menjelang setengah tujuh malam. Saat itulah penduduk sekitar kapel berdatangan untuk berdoa atau meditasi. ”Kalau ada tamu, saya wajib membukakan tirai,” katanya.
Inilah penggalan kehidupan spiritual masyarakat Larantuka: berdoa di kapela—sebutan kapel di sana. Begitu banyak kapela di tanah Lamaholot. Tiap kapela memiliki keunikan, terutama pada benda religius yang kebanyakan berasal dari zaman Portugis.
Kapela yang dijaga Cecilia, misalnya, menyimpan patung Tuan Maninu—umat Katolik setempat melafalkannya ”meninu”, yang berarti Yesus kecil. Patung ini berada di tengah semua patung yang ditutupi kain. Selubung itu hanya dibuka setiap malam Natal. ”Patung itu dimandikan dengan air kelapa muda hijau,” kata Cecilia. Kain kembali dikenakan saat pesta Tiga Raja, Ahad pertama Januari.
Di seberang Kapela San Maninu, yaitu Pulau Adonara, terdapat dua kapela. Salah satunya Kapela Senhoor atau Kapela Tuan Berdiri. Di sini terdapat patung Yesus di Hadapan Pilatus setinggi dua meter yang ditutup kain biru dari bahu hingga ujung kaki. Raut muka patung ini seperti kesakitan, dengan darah menetes di wajah akibat mahkota duri yang dikenakannya—versi Injil menyatakan Yesus baru dimahkotai duri setelah diadili Pilatus.
Satu patung ayam setinggi setengah meter berada di dekat patung Yesus. Konon, kata juru kunci Donatus Kar Wayu, patung ayam ini ditemukan oleh seorang penjual ayam. ”Ayam itu dibeli oleh patung Tuan Berdiri, dan saat si penjual mau menagih uang, tahu-tahu ayam itu sudah jadi patung,” katanya. Selain itu, kapela ini menyimpan patung jenazah Yesus yang ditidurkan di sebuah keranda.
Di sepanjang ruas jalan dekat Kapela Tuan Ma juga terdapat sejumlah kapela yang menghadap ke Laut Flores, antara lain Kapela Tuan Ana. Di dalam kapela yang berkubah seperti mesjid inilah disimpan pasangan sejati Tuan Ma, yaitu Tuan Ana (berasal dari kata ”anak” yang merujuk pada Yesus) yang berada dalam sebuah peti mati. Sama seperti Tuan Ma, peti mati Tuan Ana hanya dikeluarkan saat Semana Santa untuk kepentingan perarakan.
Juru kunci Kapela Tuan Ana, Alex Nuan, mengatakan sudah banyak keajaiban terjadi di kapela yang dijaganya. Pada 1979, banjir melanda Larantuka, tapi kapela tak tersentuh air sedikit pun. Dua puluh empat tahun kemudian, longsor menghancurkan rumah di sekitar kapela, tapi kapela tak tersentuh sedikit pun. ”Ada banyak kesembuhan dari sini,” kata Alex.
Kepercayaan umat akan kelahiran mukjizat dari tiap kapela memang cukup kuat. Di kapela milik suster kongregasi Puteri Reinah Rosari, misalnya, disimpan dua jenazah pendiri kongregasi itu, yaitu uskup pertama Larantuka, Monsinyur Gabriel Manek, SVD, dan Suster Anfrida. Gabriel meninggal pada 1989 di Amerika Serikat, dan Anfrida menyusul tujuh tahun kemudian di Belanda. Ketika dipindahkan ke Larantuka, dua jenazah ini ternyata masih utuh.
Umat yang berziarah ke kapela ini meletakkan botol air dan lembaran doa permohonan di depan ruang penyimpanan jenazah Gabriel selama berhari-hari. Air ini dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit, mirip air di Sendangsono atau Lourdes. ”Ada juga yang meminta anak melalui perantaraan Monsinyur Gabriel, dan akhirnya terwujud,” kata Suster Gratia, Wakil Pemimpin Umum Kongregasi PRR.
Larantuka juga memiliki segudang tori atau kapel keluarga. Biasanya panjang ruangannya tak lebih dari lima meter. Sama seperti kapela, tori juga menyimpan benda religius. Tori Tuan Trewa, misalnya, menyimpan patung Yesus terbelenggu. Sekitar 50 meter dari tori ini terdapat tori lain yang menyimpan patung Yesus tersalib dari bahan gading. ”Di sini keluarga kami biasa berdoa bersama tiap Selasa,” kata Fernandez Lamory, anggota keluarga pemilik tori.
Kapela dan tori menjadi daya tarik tersendiri di luar pemujaan kepada Tuan Ma. Winarti, peziarah asal Tanjung Duren, Jakarta, mengatakan gereja dan kapela begitu mudah ditemui di Larantuka. ”Yang seperti ini tak ada di Jakarta,” katanya. Mungkin karena di Jakarta izin mendirikannya tak semudah di Larantuka.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo