Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEMARI cokelat itu seperti rumah panggung. Empat kakinya berjarak satu meter. Sementara itu, atapnya berbentuk gunungan dengan salib di pucuknya. Untaian rosario cokelat mengganduli salib itu. Pintunya terbagi dua vertikal, dengan dua gagang keemasan di kiri dan kanan serta satu lubang kunci menjadi alat pembukanya. Di dalam lemari jati inilah Tuan Ma ”tidur”.
Lemari itu menjadi sentra ruangan berluas 14 meter persegi. Tandu yang biasa digunakan untuk mengarak Tuan Ma diletakkan di antara kaki penopang lemari. Delapan jubah biru yang digunakan membalut tubuh Tuan Ma disimpan di lemari kaca sepanjang dua meter di pojok kiri ruangan.
Beberapa dus penyimpan peralatan prosesi ditumpuk rapi di bagian depan. Sejumlah peninggalan, seperti monstran atau tempat menyimpan hosti (lambang tubuh Kristus), wadah lilin, dan patung Tuan Meninu (Yesus kecil) yang memegang bola dunia, disimpan di lemari khusus. Belasan vas berisi bunga plastik yang berjejer di kiri dan kanan menyemarakkan kamar penyimpanan itu.
Ruang penyimpanan tak berjendela itu terletak di belakang altar Kapel Tuan Ma. Begitu ketatnya penyimpanan Tuan Ma sehingga hanya anggota Konfreria terpilih yang boleh memasukinya. Pintu cokelat di belakang altar tak pernah absen dikunci. Jika mampu menjebol pintu itu, masih ada gerbang besi seperti yang digunakan di toko-toko. Dua gembok besar menutup rapat gerbang yang selalu berdecit keras saat dibuka. ”Anda orang pertama di luar Konfreria yang bisa melihatnya,” kata sumber Tempo yang menunjukkan kamar itu.
Masyarakat Larantuka memang menganggap kamar penyimpanan tabu dimasuki. Coba-coba memasukinya tanpa izin bakal mendatangkan bencana. Seorang anggota Konfreria mengatakan pernah ada pejabat dari Jakarta memaksa masuk ke ruang penyimpanan. Pejabat itu tetap nekat, tapi para anggota Konfreria berhasil menghalanginya. ”Besoknya, setelah tiba di Jakarta, dia mati mendadak,” katanya.
Ketua Konfreria, Yan Nuan, mengatakan ketatnya penyimpanan itu merupakan tradisi yang terjaga selama lebih dari 400 tahun. Ruang dan lemari hanya dibuka saat Semana Santa atau pekan suci Paskah. ”Uskup saja tak boleh masuk ruang penyimpanan,” katanya.
Kapel Tuan Ma bukan tempat pertama penyimpanan patung sakral itu. Sekitar dua kilometer ke arah barat dari kapel itu, terdapat korke atau tempat pemujaan berhala. Letaknya di belakang rumah salah satu keluarga Resiona, keluarga yang dianggap menemukan patung Tuan Ma. Letaknya di kawasan Gunung Mandiri dan menghadap ke Laut Flores. Di korke inilah Tuan Ma pernah berdiri.
Korke itu berbentuk batu tak beraturan. Lebarnya hampir dua meter dan tak rata. Permukaannya kasar dan di sejumlah bagian terdapat cekungan hasil tetesan air selama ratusan tahun. Di belakangnya terdapat batu seperti tugu kecil yang ditancapkan ke tanah dan diapit batu-batu. Rerumputan tumbuh di sekitarnya. ”Korke ini masih asli dan memang tanpa atap,” kata warga yang tinggal di dekat korke, Pius Fernandez Aikoli.
Menurut Pius, korke ini juga ramai dikunjungi saat Semana Santa. Mereka menyalakan lilin dan menaruhnya di batu korke. Anggota keluarga Resiona, Wempy Resiona, mengatakan korke itu merupakan simbol masa kekafiran sebelum pastor Ordo Dominikan masuk dan membaptis masyarakat Larantuka. Karena itu, keluarganya akan mempercantik tempat itu dan menaruh patung Maria di korke. ”Bunda Maria pernah hadir dan disembah sebagai dewi oleh masyarakat Larantuka,” katanya.
Jelas, tempat penyimpanan Tuan Ma saat ini jauh lebih baik ketimbang korke. Lebih hangat dan relatif bebas udara laut. Tapi dari korke inilah sejarah panjang pemujaan Tuan Ma di tanah Larantuka dimulai.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo