Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di jalan tol dalam kota Jakarta, Selasa pagi pekan lalu, pesan itu diterima Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat. Pengirimnya Susilo Bambang Yudhoyono, ketua dewan pembina partai yang sama. ”Hati-hati kalau memberikan pernyataan,” Mubarok membaca teks di telepon selulernya.
Pagi itu Mubarok dalam perjalanan dari rumahnya di Pondok Gede, Jakarta Timur, menuju Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Melaju di atas Isuzu Panther-nya, ia tidak membalas pesan itu. ”Karena saya sedang di jalan,” ia menjelaskan. Dua orang dari lingkaran Yudhoyono telah lebih dulu menelepon Mubarok: Andi Mallarangeng dan Mayor Jenderal Purnawirawan Achdari.
Mubarok menjadi pusat kontroversi karena komentarnya yang ditafsirkan sebagai pelecehan terhadap Partai Golkar. Media massa mengutip pernyataannya pada Ahad dua pekan lalu, bahwa Demokrat belum memiliki calon wakil presiden. Jika dalam pemilihan umum Partai Golkar meraih suara 2,5 persen dan Partai Keadilan Sejahtera 20 persen, menurut dia, Demokrat tentu memilih berkoalisi dengan partai yang terakhir.
Komentar itu menyulut kemarahan para politikus Partai Golkar, termasuk Ketua Umum Jusuf Kalla, yang sedang melakukan kunjungan ke Belanda sebagai wakil presiden. Di Hotel Crown Plaza, kawasan Promenade, Den Haag, sebelum bertolak menuju Minnesota, Amerika Serikat, untuk melakukan cek medis, ia mengatakan dengan nada tinggi: ”Hah, 2,5 persen? Dari mana dia ngitungnya?”
Jusuf Kalla menambahkan, ”Kalau dapat segitu, namanya mimpi buruk bagi Golkar. Silakan saja kalau dia yang mimpi buruk. Saya yakin Golkar yang akan menjadi pemenang pemilu dan yang terbaik.”
Sahutan dari seberang samudra segera direspons Yudhoyono di Jakarta. Ia menggelar konferensi pers di pendapa kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Senin malam. Didampingi para petinggi Partai Demokrat—Ketua Umum Hadi Utomo, Sekretaris Jenderal Marzuki Alie, Ketua Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, serta Ketua Fraksi Syarief Hasan—ia mengatakan, ”Kami tidak pernah berpikir untuk melecehkan Golkar.”
Menurut Yudhoyono, Mubarok adalah orang yang ”polos, apa adanya, pikirannya selalu bisa dimengerti orang lain dan bukan tipe yang pandai bersiasat dan menata kata-kata”. Ia yakin hubungannya dengan Jusuf Kalla tak rusak akibat pernyataan Mubarok, yang disebutnya sebagai slip of tongue itu.
Mubarok menganggap kemarahan Yudhoyono sebagai ”kemarahan politik untuk menjaga keutuhan yang lebih besar”. Ia juga menganggap kemarahan bosnya ditujukan kepada publik dan bukan dirinya. ”Ya, semacam memadamkan kebakaranlah,” ujarnya.
KEMARAHAN politikus Beringin memang harus dipadamkan. Apalagi, begitu diyakini sejumlah orang, Yudhoyono masih akan menggandeng Jusuf Kalla dalam pemilihan pada Juli nanti. Untuk itu, hubungan baik kedua partai harus dijaga. Tokoh senior di sekitar Presiden bahkan sampai meminta seorang menteri dari Golkar agar mengingatkan rekan-rekannya. ”Tolong, minta mereka bersabar sedikit,” katanya.
Meski sejumlah survei mengunggulkan Partai Demokrat bakal menang dalam pemilihan, para penasihat Yudhoyono berhitung, partai ini tetap membutuhkan Jusuf Kalla dan Golkar. Ini penting buat membangun dukungan kuat di Dewan Perwakilan Rakyat.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak mungkin digandeng. Partai berbasis agama seperti Partai Keadilan Sejahtera juga tidak diutamakan. ”Berkoalisi dengan partai-partai kecil terbukti memakan ongkos tinggi,” kata seorang tokoh senior di lingkaran Presiden. ”Jadi, pilihannya ya Golkar.”
Dia mengatakan, duet Jusuf-Kalla tak mungkin segera diumumkan. Jika dilakukan, langkah itu dianggap akan menguntungkan Partai Golkar. Alasannya, para pendukung Yudhoyono yang enggan memilih Partai Demokrat akan memilih Golkar. Mereka baru memilih Yudhoyono dalam pemilihan presiden.
Yahya Ombara, anggota tim sukses SBY-JK pada 2004, pun berharap duet keduanya bakal dilanjutkan. Koalisi permanen yang dibangun sejak dini, menurut anggota Tim Sekoci—satu di antara sejumlah sayap pemenangan Yudhoyono—akan memudahkan pemerintah. ”Tanpa dukungan kuat parlemen, pemerintah akan terombang-ambing,” katanya.
Toh, seperti biasanya, Yudhoyono melangkah dengan hati-hati. Dalam pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Arena Pekan Raya Jakarta, Ahad dua pekan lalu, ia mengatakan belum saatnya membicarakan calon wakil presiden. Menurut dia, Partai Demokrat tak menetapkan atau mencari calon sebelum pemilihan umum legislatif.
Pernyataan itu diulanginya dalam konferensi pers di Cikeas, Selasa malam. Menurut Yudhoyono, Demokrat sedang fokus berusaha memenangi pemilihan umum legislatif. ”Meskipun partai lain sudah menimbang-nimbang calon wakil presiden, saya meminta Partai Demokrat tidak perlu membicarakannya,” Yudhoyono menegaskan.
Tak hanya ke publik, Yudhoyono juga belum membicarakan soal calon wakil presiden di lingkungan partai. Anas Urbaningrum mengatakan, ”Bukan disembunyikan atau dirahasiakan, kami memang belum membahas soal ini.” Yahya Sacawiria, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, mengatakan hal yang sama.
Mungkin karena susah menerka keinginan bosnya, yang ada adalah spekulasi. Sabtu dua pekan lalu, dalam rapat konsolidasi Jaringan Nusantara, sayap pemenangan Yudhoyono, muncul usul untuk mengajukan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan dan Pelaksana Menteri Koordinator Perekonomian.
Jaringan Nusantara dipimpin antara lain oleh mantan aktivis Aam Sapulete, Andi Arief, dan Herry Sebayang. Mereka dikenal dekat dengan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Dalam konsolidasi itu, Ruhut Sitompul yang merupakan Ketua Departemen Pendidikan dan Pembinaan Politik Partai Demokrat datang mewakili Ketua Umum Hadi Utomo.
Sejumlah peserta meminta Yudhoyono mengumumkan pasangannya sebelum pemilu legislatif. Lantas beberapa nama disebutkan oleh mereka, di antaranya Jusuf Kalla dan Sri Mulyani. Ani, begitu Menteri Keuangan itu dipanggil, diusulkan oleh perwakilan Jakarta. ”Dia dianggap sebagai teknokrat yang kuat,” kata Ruhut, yang dulu aktif di Golkar. Kekurangan Ani, menurut Ruhut, pada gerbong yang membawanya.
Nama Sri Mulyani cukup populer di kalangan calon pemilih. Ia menempati urutan teratas dalam sigi, di luar tokoh yang sering disebut seperti Yudhoyono, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, atau Sri Sultan Hamengku Buwono X. Pada tokoh ”level kedua” ini muncul pula Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid.
Hidayat juga sempat masuk ”radar kasak-kusuk” di Demokrat. Nama ini semakin dilirik setelah muncul pernyataan ”Golkar dua setengah persen”. Terutama pada frase ”Jika Partai Keadilan Sejahtera memperoleh 20 persen suara, kami akan memilih mereka.” Namun, menurut Mubarok, angka-angka ini tidak pernah dibicarakan di Demokrat. ”Itu hanya logika bahwa semua partai bisa naik-turun,” ujarnya.
Belum kuatnya sinyal dari Yudhoyono juga membuat kubu Jusuf Kalla gamang bertindak. Jika dia mendeklarasikan sebagai presiden, menurut sumber yang dekat dengannya, hubungan dengan Yudhoyono terancam. ”Taruhannya pemerintah,” begitu Kalla pernah berkata kepada orang-orang dekatnya.
Kepada para pembantunya, menurut sumber Tempo, Jusuf Kalla juga pernah menyatakan, ”Peluang Pak SBY masih besar. Saya kira modalnya ada 60 persen. Kalau beliau mau duet sama saya, cukuplah satu putaran. Namun, kalau tidak, bisa dua putaran.”
Dari hasil sigi Lembaga Survei Indonesia, Desember lalu, pasangan Yudhoyono-Kalla akan meraih 51 persen jika dihadapkan dengan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Hasil yang kurang lebih sama akan diraih SBY-JK jika dilawankan dengan Megawati-Sultan Hamengku Buwono X.
Di depan publik, Jusuf Kalla enggan memberikan komentar tentang kemungkinan berpasangan lagi dengan Yudhoyono. Ketika ditanya seorang warga negara Indonesia dalam dialog di Wisma Duta, Den Haag, Ahad malam dua pekan lalu, ia mengatakan, ”Saya berharap semoga saja duet ini tetap utuh sampai akhir masa jabatan. Tak sampai terhenti di tengah jalan.…”
PADA 2004 Yudhoyono punya cara sendiri buat menentukan calon wakil presidennya. Dibantu para pembantu dekatnya seperti T.B. Silalahi, A.E. Mangindaan, M. Ma’ruf, Subur Budisantoso, juga Sudi Silalahi, mantan Kepala Staf Sosial Politik Angkatan Bersenjata ini awalnya membuat daftar tokoh yang dianggap pantas menjadi pendamping.
Daftar itu disusun dengan matriks, menurut seorang tokoh yang berperan dalam proses itu, berdasarkan latar belakang Yudhoyono sebagai tentara, muslim nasionalis, dan Jawa. Sebagai mantan tentara, calon pasangannya haruslah dari kalangan sipil. Sang calon juga diutamakan dari luar Jawa—termasuk Sunda—dan punya basis massa muslim. ”Lalu ditambah lagi, calon harus mengerti ekonomi karena Pak SBY sudah kuat di bidang politik dan keamanan,” ujar sang tokoh.
Muncullah nama seperti Ginandjar Kartasasmita, Sarwono Kusumaatmadja, Akbar Tandjung, Surya Paloh, Jusuf Kalla, Salahuddin Wahid, juga Hasyim Muzadi. Yudhoyono sempat bertemu dengan beberapa di antara mereka. Hasyim, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, misalnya, diundang ke Cikeas pada 6 April 2004.
Begitu Partai Demokrat hanya memperoleh sekitar tujuh persen dalam pemilihan umum, masih menurut tokoh yang sama, Yudhoyono dan timnya memutuskan harus menjalin koalisi dengan Golkar—ketika itu mendapat suara tertinggi, yakni 21 persen. Pilihan pun mengecil menjadi hanya Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Sarwono, dan Surya Paloh.
Keputusan pada akhirnya diambil sendiri oleh Yudhoyono. Pada suatu pagi akhir April 2004 di perpustakaan kediaman pribadinya di Cikeas, ia mengumpulkan para pembantu dekatnya. ”Saya telah mengambil keputusan,” katanya, seperti ditirukan seorang tokoh yang hadir. ”Setelah salat tahajud tadi malam, saya memilih Pak Jusuf Kalla.”
Segera setelah itu, Yudhoyono bertemu Jusuf Kalla, yang ketika itu merupakan satu dari tujuh peserta konvensi Partai Golkar. Ia menyampaikan pinangannya, dan langsung diiyakan oleh Kalla. ”Saya ini pedagang,” ia berkata ketika itu, ditirukan tokoh yang sama. ”Kalau mau memanfaatkan saya, pakailah keahlian itu. Beri saya tugas di bidang ekonomi, bukan politik.” Yudhoyono setuju.
Keduanya juga sepakat berbagi beban biaya kampanye: 30 persen dari tim Yudhoyono dan 70 persen dari tim Jusuf Kalla. Deal, Jusuf Kalla langsung menyatakan mundur dari konvensi Partai Golkar. Dimintai konfirmasi soal ini, T.B. Silalahi, yang hampir selalu hadir dalam pertemuan politik Yudhoyono ketika itu, menolak berkomentar. ”Jangan sayalah,” ujarnya.
Cara yang sama bisa jadi tak digunakan lagi kini. Menurut Anas Urbaningrum, Demokrat akan menggelar rapat pimpinan nasional setelah pemilihan umum legislatif. Forum ini akan dipakai buat para pengurus daerah mengusulkan kriteria calon wakil presiden. ”Hanya kriteria,” kata Anas. ”Calon wakil presiden merupakan produk koalisi, jadi akan dibicarakan bersama dengan partai lain.”
Namun, Ruhut Sitompul yakin, Yudhoyono—yang oleh rekan-rekannya di angkatan 1973 Akademi Militer dipanggil ”Ki Lurah”— sebenarnya sudah mengantongi satu nama. Nama itu akan dibuka setelah pemilihan umum legislatif.
Budi Setyarso, Iqbal Muhtarom, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Wahyu Muryadi (Den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo