Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor di lantai dua sebuah gedung di kawasan Pekan Raya Jakarta itu sebenarnya biasa saja. Tapi namanya serem: Pusat Komando Pengendalian Operasi Partai Demokrat. ”Tempatnya cukup besar untuk menyimpan logistik partai,” kata Yahya Sacawiria, ketua badan pemenangan pemilihan umum partai itu.
Partai ini memang banyak diisi purnawirawan. Ketua Umum Hadi Utomo merupakan pensiunan kolonel. Adapun Yahya berpangkat mayor jenderal ketika pensiun. Tak aneh, banyak istilah dan model militer dipakai buat mengoperasikan partai ini. Contohnya, iklan di media massa disebut sebagai ”serangan udara”. Sedangkan kampanye tatap muka dinamai ”serangan darat”.
Dengan gegap-gempita, partai ini menargetkan 20 persen suara pada pemilihan umum legislatif April nanti. Ini hampir tiga kali lipat perolehan suara partai lima tahun lalu. Target itu dipacak pada rapat pimpinan nasional Demokrat yang berakhir Senin pekan lalu. Rapat diikuti sekitar 2.000 perserta: dari pengurus pusat, provinsi, hingga daerah, plus 666 calon legislator.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie mengatakan keberanian partai mengerek target tinggi menyala pada Desember tahun lalu. Partai percaya betul dengan sigi sejumlah lembaga survei yang menyatakan mereka unggul. Fox Indonesia, konsultan politik Partai Demokrat, menggandeng Lembaga Survei Indonesia untuk keperluan ini. Hasilnya, dari 2.200 responden di 33 provinsi, sekitar 23 persen memilih Demokrat.
Hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial tak jauh berbeda. Berdasarkan sigi Desember, Demokrat meraih sekitar 24,2 persen. Begitu juga sigi oleh Danareksa Research Institute, yang menempatkan Demokrat di posisi teratas dengan 22,97 persen. Melihat angka-angka ini, para pengurus Demokrat meninggalkan target awal mereka, yakni 15 persen suara. ”Agar lebih menantang,” kata Marzuki.
Menurut Yahya, konsolidasi partainya dilakukan antara lain dengan menggelar pelatihan empat bulan pada Februari-Mei tahun lalu di Hotel Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Pelatihan terdiri atas delapan gelombang, tiap gelombang selama dua pekan, dengan total peserta sekitar 2.000 orang. Pesertanya terdiri atas elite partai di tingkat daerah. Mereka antara lain ketua partai tingkat provinsi dan sekretaris, ketua pemenangan pemilihan umum tiap daerah, serta ketua organisasi perempuan—penggerak simpatisan kaum ibu dan remaja putri.
Pelatihan ini dimulai pukul setengah enam pagi dan baru berakhir pukul sepuluh malam. Acaranya rupa-rupa, dari outbound untuk mempererat semangat kerja sama, program motivasi, ceramah oleh sejumlah menteri dan tokoh mengenai kondisi negara, hingga pembuatan strategi kampanye untuk masing-masing daerah pemilihan.
Para ahli pun diundang untuk berbicara. Di antaranya Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia Sofyan Basir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Pariwisata Jero Wacik, Boediono (saat itu masih Menteri Koordinator Perekonomian), Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung (bekas Ketua Umum Partai Golkar), dan Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri. ”Pak Akbar kami undang untuk berceramah mengenai manajemen konflik,” kata Yahya Sacawiria.
Seusai pelatihan, peserta yang banyaknya di tiap gelombang bisa mencapai tujuh bus itu dibawa ke kediaman resmi Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono di kompleks Puri Cikeas Indah, Bogor. Setelah bersantap siang bersama, para peserta mendapat motivasi dari Yudhoyono.
Acara berlanjut dengan foto bersama. Tiap peserta mendapat satu salinan foto. Saat mereka akan pulang, dibagikan buku Harus Bisa: Seni Memimpin ala SBY. Acara sowan ke kediaman SBY ini, Yahya menjelaskan, berguna untuk mempererat hubungan emosional para kader dan Yudhoyono. ”Juga untuk meningkatkan militansi kader di lapangan.”
Saat target suara masih dipatok 15 persen, kata Yahya, Yudhoyono memperkenalkan semboyan ”sowan”, yaitu satu orang satu kawan. Dengan target perolehan suara 20 persen, semboyannya menjadi ”sabuk”, yang diartikan sebagai para pendukung. Artinya, semakin banyak sabuk di badan, akan semakin banyak pendukung. Oleh Yahya, kata sabuk ini dipelesetkan menjadi ”satu untuk seribu”.
Saat pelatihan di Hotel Yasmin, setiap perwakilan provinsi diwajibkan membuat strategi kampanye masing-masing. ”Karena tantangan tiap daerah kan berbeda,” kata Yahya. Strategi lalu dipresentasikan dan dibahas bersama untuk perbaikan. Misalnya struktur pengurus di daerah itu apakah sudah mencapai tingkat rukun tetangga atau belum. Lalu peta persaingan politik di daerah itu seperti apa. ”Misalnya siapa partai pesaing yang kuat,” ujarnya.
Menurut Choel Mallarangeng, pemimpin Fox Indonesia, selain aksi ”serangan darat” atau kampanye oleh kader di lapangan, ”serangan udara” sangat penting. ”Partai Demokrat itu ibarat gadis cantik di ruangan gelap,” katanya. ”Tugas saya menyalakan lampunya, 15 watt, 17 watt, 20 watt, dan seterusnya, agar publik bisa melihat.”
Iklan lalu gencar dipasang di media massa, dengan mencantumkan sejumlah pencapaian kinerja pemerintah. ”Cara yang paling efektif ya lewat iklan di media massa,” katanya. Misalnya soal penurunan harga bahan bakar minyak, alokasi kredit rakyat, dan pemberantasan korupsi. Efeknya, sementara pada Juni tahun lalu partai sempat terpuruk dengan hanya 8,7 persen suara, pada bulan selanjutnya hingga Desember, tren perolehan suaranya terus merambat naik.
Menurut Wakil Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Sudar Atmanto, untuk iklan periode September-November saja Partai Demokrat merogoh kocek sekitar Rp 15,5 miliar. ”Dana iklannya paling banyak dibanding partai lain,” katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Saiful Mujani, tren perolehan suara Partai Demokrat memang menanjak. Berdasarkan survei terakhir, partai ini diperkirakan bakal meraih 134 kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun ternyata kontribusi para calon anggota legislatif Demokrat terhadap kenaikan ini relatif kecil. ”Hanya sekitar seperempat,” kata Saiful. Ini karena kebanyakan calon dan prestasinya relatif belum dikenal publik. Mereka yang dikenal pemilih paling-paling Edi Baskoro (anak bungsu Yudhoyono), yang maju untuk daerah pemilihan Trenggalek, Ponorogo, Ngawi, Magetan, dan Pacitan. Ada juga pelawak Nurul Qomar di Cirebon dan Indramayu. Keduanya, berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia, menempati posisi paling tinggi untuk tingkat elektabilitas. Namun secara umum publik masih cenderung melihat nama partai dibandingkan dengan nama para calon. ”Ibaratnya ditaruh iblis juga terpilih,” kata Saiful, tertawa.
Saiful menjelaskan, Demokrat sangat diuntungkan dengan posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua dewan pembina. Ketika kinerja pemerintah dinilai baik, citra partai ikut terkerek. Dari hasil survei, naik-turunnya proyeksi suara Demokrat identik dengan naik-turunnya citra publik terhadap kinerja pemerintah.
Menurut survei, tingkat kepuasan publik secara umum masih di atas 50 persen. Data survei Lembaga Survei Indonesia pada awal Februari menyebutkan suara Partai Demokrat sudah mencapai 25 persen. ”Citra pada publik itu ya pemerintah adalah Presiden. Partai Demokrat itu ya SBY. Jadi ketemu,” katanya. Saiful menambahkan, tren perolehan suara ini masih bisa berbalik, terutama jika banyak terjadi pemutusan hubungan kerja menjelang pencoblosan nanti.
Budi Riza, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo