Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anggaran penelitian di BRIN dianggap lebih kecil dibanding kebutuhan.
BRIN dianggap lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur.
Sejumlah aset lembaga penelitian dilikuidasi meski sangat penting.
MENJADI peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada awal September 2021, Ibnu Maryanto mendapat jatah Rp 20 juta untuk membeli berbagai keperluan riset. Dua kali mengajukan daftar bahan, profesor taksonomi yang sebelumnya bertugas di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia itu tak mendapat satu pun peralatan yang dibutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, dia hanya menerima peralatan riset seadanya, seperti ember dan botol. “Saya hitung-hitung jumlahnya tidak sampai Rp 1 juta,” kata Ibnu kepada Tempo, Jumat, 14 Januari lalu. Selain jumlah tersebut, sepanjang tahun lalu penemu aneka spesies fauna baru di Indonesia itu hampir tak menggunakan uang dari BRIN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kondisi itu pun lulusan Hokkaido University, Jepang, tersebut bisa menerbitkan enam publikasi, antara lain di Tropical Natural History, Malaysian Applied Biology Journal, dan Journal of the Royal Society of Western Australia. “Semua tanpa dibiayai dari kantor,” ujarnya.
Ibnu kini tengah meriset jenis fauna yang tertoreh dalam berbagai relief di Candi Borobudur. Untuk bepergian ke Magelang, Jawa Tengah, ia merogoh dompetnya. Sebab, jatah Rp 20 juta yang didapatnya tidak bisa digunakan untuk biaya transportasi penelitian.
Sejak awal September 2021, empat lembaga penelitian melebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional. Mereka adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Seorang periset senior dari BPPT yang bergabung dengan BRIN juga mengalami masalah pendanaan. Peneliti yang meminta namanya tak disebut itu telah mengajukan proposal riset dan disetujui. Namun dana penelitian tak kunjung cair. Nasib dua periset lain dari BPPT bahkan terkatung-katung karena belum mendapat penempatan.
Kepada Tempo, peneliti senior eks LIPI yang tak mau disebutkan namanya mengatakan pendanaan di BRIN jauh lebih kecil ketimbang yang ia dapatkan sebelumnya. Saat menjalankan program riset yang menjadi prioritas nasional di LIPI, peneliti itu bisa mendapat dana hingga Rp 5 miliar. Kini, di BRIN, dana maksimal yang bisa didapatnya hanya Rp 300 juta.
Anggota Majelis Profesor Riset LIPI, Carunia Mulya Firdausy, mengatakan kekacauan akibat peleburan lembaga penelitian di BRIN telah lama diprediksi. Pakar ekonomi terapan itu menilai peleburan dilaksanakan tanpa kajian matang dan tahapan jelas. “Para peneliti disibukkan dengan urusan administrasi yang kacau balau akibat peleburan,” tuturnya pada Jumat, 7 Januari lalu.
Carunia juga menilai BRIN belum memiliki target atau prioritas riset yang menjadi peta jalan atau road map penelitian di lembaga itu. Dampaknya, skema penganggaran riset menjadi kacau balau. Menurut dia, peta jalan itu seharusnya menjadi lokomotif perbaikan ekosistem dan iklim riset. Di sisi lain, menurut Carunia, BRIN malah mengedepankan investasi infrastruktur fisik.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam apel pagi pada Senin, 22 November 2021, mengatakan skema pendanaan riset bertumpu pada Rumah Program yang diterapkan di lembaga itu. Kepala organisasi riset akan memegang setidaknya satu Rumah Program dan menjadi kuasa pengguna anggaran. Rumah Program mendapat pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ibnu menyebutkan mekanisme penyusunan rencana dan program strategis di BRIN berbeda dengan di LIPI. Sebelumnya, kata Ibnu, LIPI selalu melibatkan berbagai kementerian dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk menyusun rencana strategis. Namun Rumah Program tidak demikian dan membebaskan penelitinya begitu saja.
Dampaknya, penelitian bisa tidak kontinu dan tidak terukur. Ibnu mencontohkan, di Rumah Program pangan, seorang peneliti tahun ini bisa meneliti padi dan setahun kemudian meneliti jagung. “Akibatnya, penelitian padi menjadi tidak terukur,” ucapnya.
Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) di Bandung, Jawa Barat, Desember 2019/ANTARA/M Agung Rajasa
Mekanisme Rumah Program ala BRIN mewajibkan periset yang ingin mendapatkan pendanaan memasukkan proposal. Mantan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Djarot Sulistio Wisnubroto, mengatakan proposal tersebut lantas dikompetisikan dengan peneliti dari organisasi riset yang sama, peneliti BRIN, ataupun pihak luar seperti universitas.
Djarot menyatakan hingga kini belum ada indikator jelas soal proposal yang bisa diterima dan disetujui pendanaannya. Djarot juga menilai prioritas BRIN pada tahap peleburan terkesan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik.
Prioritas pembangunan infrastruktur itu terlihat dari alokasi dana BRIN yang tahun ini senilai Rp 6,1 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 2,2 triliun dialokasikan untuk belanja infrastruktur riset, Rp 1 triliun untuk kegiatan riset, dan sisanya, Rp 2,1 triliun, untuk belanja pegawai dan operasional.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko pun mengamini soal prioritas pembangunan infrastruktur tersebut. “Itu yang penting dan mahal,” ujar mantan Kepala LIPI itu dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat, 14 Januari lalu. Handoko menyatakan infrastruktur tersebut nanti akan membantu para peneliti dalam melaksanakan proyek riset.
•••
PELEBURAN lembaga penelitian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional juga berdampak pada keberlanjutan sejumlah riset. Mantan perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Akhmad Widodo, mengatakan hingga kini nasib pengembangan drone Medium Altitude Long Endurance (MALE) yang dipegangnya terkatung-katung.
Penyebabnya, bagian yang mengurus proyek tersebut, yaitu Balai Besar Teknologi Aerodinamika Aerolastika dan Aeroakustika BPPT, telah dibubarkan. Para penelitinya pun belum mendapat penempatan yang jelas di BRIN. “Padahal kami sebelumnya menargetkan drone MALE bisa terbang tahun ini,” kata Akhmad.
Drone MALE mampu terbang selama 24 jam dan bisa dipersenjatai. Pesawat nirawak itu bisa membawa muatan hingga 300 kilogram. Pengembangan dan rekayasa drone sebenarnya masuk Proyek Strategis Nasional yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Dimulai pada 2016, proyek drone MALE dikembangkan oleh BPPT, Kementerian Pertahanan, dan PT Dirgantara Indonesia. BPPT lalu membentuk konsorsium dengan menambah PT Len Industri (Persero), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), serta Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menyatakan proyek drone MALE akan tetap dilanjutkan. Namun BRIN tak akan mengucurkan pendanaan untuk membiayai perakitan di PT Dirgantara Indonesia seperti sebelumnya. “Kita selama ini menjadi research and development PT DI (Dirgantara Indonesia),” ujarnya.
Direktur Niaga, Teknologi, dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia Gita Amperiawan mengatakan, terlepas dari polemik peleburan BPPT ke dalam BRIN, perusahaannya tetap mengembangkan drone MALE. “Ini amanat undang-undang sehingga harus dicari solusi,” tutur Gita.
Menurut Akhmad Widodo, peneliti BPPT juga harus berpisah dengan Kapal Baruna Jaya akibat peleburan ke BRIN. Kapal yang beroperasi di bawah Balai Teknologi Survei Kelautan BPPT itu sedang dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi deteksi dini tsunami berbasis kabel optik bawah laut. Jika berhasil, teknologi itu menjadi terobosan besar dalam bidang kebencanaan.
Riset BPPT lain yang terancam terbengkalai di antaranya pengembangan buoy tsunami Ina TEWS, pengembangan N219 bersama Lapan dan PT Dirgantara Indonesia, pengembangan industri garam farmasi untuk kebutuhan medis atau infus, serta riset-riset artificial intelligence. “Padahal BPPT telah memiliki target dan peta jalan hingga ke tahap industrialisasi,” ujar Akhmad.
Para peneliti BPPT juga cemas akan pengelolaan laboratorium pengujian yang sudah disertifikasi Komite Akreditasi Nasional. Laboratorium itu harus memiliki kejelasan struktur dan individu pengelolanya. Juga pengkalibrasiannya digelar rutin. Menurut Akhmad, tak sembarang orang boleh mengutak-atik laboratorium tersebut.
Masalahnya, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menerapkan sistem periset harus terpisah dari fasilitasnya. Ia mengatakan semua fasilitas infrastruktur akan berada di bawah Deputi Infrastruktur. “Selama ini periset sibuk mengurus macam-macam. Mereka suka mengeluh karena kebanyakan mengurus administrasi,” katanya.
Sejumlah peneliti eks Badan Tenaga Nuklir Nasional juga mengungkapkan kerisauan mereka. Penyebabnya, sejumlah aset lembaga itu dilikuidasi seiring dengan peleburan ke BRIN. Salah satunya tambang uranium di Kalan, Kalimantan Barat. Tambang uranium yang dianggap berkualitas paling unggul di Indonesia itu dikelola Batan sejak 1972.
Seorang peneliti bercerita, koleganya pernah mempresentasikan prospek Kalan sebagai pusat riset bersama di hadapan Laksana Tri Handoko. Setelah itu, Kepala BRIN hanya menanyakan apa saja penelitian yang digelar di Kalan dan jumlah publikasi yang dihasilkan. Handoko lalu menutup Kalan dan menyerahkan sebagian inventaris kepada pemerintah daerah setempat.
Dalam wawancara dengan Tempo, Handoko menilai aktivitas di Kalan bukan bagian dari riset. “Itu tambang alam, serahkan saja ke Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral),” ucapnya. Handoko pun menyatakan tak ada peneliti yang akan menggelar riset di tempat tersebut karena letaknya jauh di pedalaman Kalimantan.
Tak hanya menutup Kalan, Kepala BRIN juga mengunci Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Cipanas, fasilitas milik Batan di Cipanas, Jawa Barat. Menurut Handoko, tempat itu hanya dijadikan wisma. “Tak ada kegiatan riset di situ,” ujarnya.
Artikel telah diubah pada Senin, 17 Januari 2022 pukul 11.55. Yang benar adalah Ibnu Maryanto. Mohon maaf atas kekeliruan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo