Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pendiri bangsa Indonesia mengimajinakan Republik yang berbasis sains.
Tan Malaka menulis Madilog sebelum Indonesia merdeka dengan mendorong kebebasan sains agar negeri ini tak selalu tertinggal.
Harapan dan ramalam Tan Malaka pupus justru setelah Indonesia merdeka.
SESERIUS apa bangsa Indonesia ihwal ilmu pengetahuan? Di antara pendiri bangsa, sebelum Indonesia merdeka, mungkin satu-satunya yang menjawab adalah Tan Malaka. “Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tapi selama science tidak merdeka, seperti politik negaranya maka kekayaan Indonesia ini bukan akan menjadikan penduduk Indonesia senang, melainkan semata-mata akan memusnahkannya, seperti 350 tahun di belakang ini,” begitu kata sosok bergelar “Bapak Republik” dalam bukunya yang tersohor, Madilog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tan Malaka menulis Madilog pada 15 Juli 1942, suatu tapal batas zaman antara runtuhnya negara Hindia Belanda dan bangkitnya kuasa militeristik Jepang. Madilog disebutnya penuntun cara berpikir rasional dan bekal membangun Indonesia merdeka. “Pengetahuan penggunaannya adalah keharusan,” ucap Tan Malaka. Tampaknya ia tengah berbicara kepada bangsanya persis Jawaharlal Nehru dalam The Discovery of India ketika mengungkapkan scientific temper atau perangai ilmiah untuk India merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau Indonesia tidak merdeka, maka science terbelenggu pula,” ujar Tan Malaka. Ditinjau dari masa penulisannya, pesan ini seumpama proyeksi atas zaman Jepang, saat kuasa fasis membelenggu kebebasan roh sains. Dua tahun kemudian, ternyata yang terjadi lebih buruk: tragedi. J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki telah memerikannya dalam Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang. Tapi di sisi lain pesan itu pun refleksi atas situasi yang tak kalah buruk di masa kolonial Belanda sebelumnya. Kata “belenggu” yang digunakan Tan Malaka langsung menusuk ke jantung persoalan kooptasi negara atas sains di masa kolonial Belanda yang dikatakan Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Ilmu Pengetahuan.
Goss menyebut zaman Hindia Belanda sebagai zaman floracrats, istilahnya untuk menjelaskan saat negara menjadi pusat ilmuwan menegakkan kewenangan dan legitimasi keilmuannya. Negara mencukongi dan mengatur riset dengan menyedot individu, lembaga, ataupun ideal-ideal ilmu pengetahuan ke dalam birokrasinya. Lahirlah “ilmuwan proyek” yang selalu mencocokkan arah penelitian mereka dengan program pemerintah. Goss mencontohkan perkembangan biologi sebagai disiplin ilmu yang dikendalikan negara. Kerja para ilmuwannya diarahkan mendukung idustrieel imperialism perkebunan dan tambang alih-alih membikin karya besar. Dari sudut mimpi, cita-cita ilmiah dan keingintahuan sekaligus kreativitas sebagai dasar budaya ilmiah serta perkembangan pemerintah bergaya cukong sains sekaligus pusat komando riset justru mematikan sistem ilmu pengetahuan.
Pengecualian ada pada ilmu kedokteran. Goss bilang di sini Christiaan Eijkman memenangi Hadiah Nobel. Mengapa bisa terjadi? Goss tak membahasnya. Tapi Sangkot dalam diskusi karya Goss menjawab: Eijkman sebagai direktur pertama laboratorium riset rumah sakit pusat militer di Batavia pada 1888 sukses membangun budaya riset, research culture. Ia menerobos kooptasi kekuasaan seraya membangun kantong yang memungkinkan ilmuwan bekerja tenang, kreatif, dan bebas dari sihir floracrats kolonial. Walhasil, temuan spektakuler vitamin B1 antiberi-beri sebagai awal perkembangan ilmu vitamin berjalan dan beroleh bukti. Eijkman pun menjadi penerima Hadiah Nobel Kedokteran pada 1929.
Dari kantong bebas sihir floracrats itu, Eijkman membangun jembatan ke sekolah “Dokter Jawa”. Cikal bakal STOVIA (School Tot Opleiding voor Indische Artsen) ini semula didirikan guna mendukung idustrieel imperialism. Namun Eijkman, yang diminta merangkap direkturnya, menambah unsur reformasi ke dalam sekolah yang sedang direorganisasi menjadi STOVIG (School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundingen).
Dalam masa tujuh tahun studi, Eijkman menguatkan ilmu pengetahuan, sekaligus menyiapkan pranata munculnya dokter ilmuwan dan ilmuwan pemimpin masyarakat. Ia bongkar batas-batas rasial. Disejajarkannya siswa pribumi dengan pengajar ilmuwan kulit putih kelas dunia. Berselang dua tahun Eijkman kelar menjabat, pada 1898, STOVIG menjadi STOVIA. Eijkman menelurkan dua ilmuwan pemimpin masyarakat: Tirto Adi Suryo dan Abdul Rivai yang disebut Pramoedya A. Toer “sang pemula” serta oleh sejarawan Taufik Abdullah disebut sebagai “juru bicara pertama” nasionalisme kemajuan Indonesia.
Aktivitas peneliti Lembaga Eijkman di Jakarta, 194/Dok Tropenmuseum
STOVIA melahirkan banyak lagi ilmuwan pemimpin yang disebut Robert van Niel sebagai elite modern awal Indonesia. Termasuk dokter ilmuwan R. Soesilo, M. Sardjito, dan Achmad Mochtar. Ketiganya ilmuwan kelas dunia yang mendapat doktor dari Belanda dan menjadi peneliti di laboratorium Eijkman. Mochtar yang bertanggung jawab di bagian bakteriologi tersohor mematahkan hipotesis leptospira penyebab demam kuning Noguchi Hideyo, raksasa ilmuwan Jepang awal abad ke-20 yang berkali-kali menjadi kandidat penerima Hadiah Nobel. Reputasi keilmuan membawa Mochtar menjadi direktur laboratorium itu tak lama setelah berganti nama menjadi Eijkman Instituut pada 1938.
Ketika Jepang datang, tiada lembaga kedokteran dan higiene tropis lain di dunia yang dapat menandingi kemajuan serta keunggulan ilmiah Eijkman Instituut. Tapi, persis proyeksi Tan Malaka, tentara Jepang “datang dengan pedang terhunus”. Mereka tak cukup puas hanya menangkap semua peneliti dan anggota staf Belanda di Eijkman Isntituut. Lembaga ini pun dibuat mengalami disfungsi dan demoralisasi sehingga runtuh. Caranya, kata sejarawan Aiko Kurasawa, Eijkman dicap kambing hitam eksperimen keji kedokteran yang lazim dilakukan unit medis ketentaraan Jepang, seperti Unit 731 (Nana-san-ichi).
Bagian Medis AD ke-16 menuduh ahli medis Eijkman Instituut yang dipimpin Mochtar menyabotase vaksin imunisasi romusha. Akibatnya, kematian massal terjadi di kamp romusha Klender pada 6-15 Agustus 1944. Kempetai menginterogasi dan menyiksa ilmuwan Eijkman Instituut. Tercatat ada 19 orang yang meninggal. Mochtar dipancung di Ancol, Jakarta Utara, 3 Juli 1945. Kevin dan Sangkot menyimpulkan pada zaman Jepang lingkungan politik telah membawa ilmu sains ke zaman gelap.
Bersamaan dengan Mochtar dipancung, di Pejambon, Jakarta Pusat, sejumlah tokoh yang kelak disebut “para pendiri bangsa” sedang larut dalam sidang Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Pembukaan Undang-Undang Dasar yang mereka susun menyebut “membentuk suatu pemerintah Indonesia yang mencerdaskan kehidupan bangsa”. Komitmen inilah yang menyusul penyerahan kedaulatan Republik Indonesia, pada 1951, dirumuskan Menteri Pendidikan dan Pengajaran Bahder Djohan menjadi Madjelis Pengetahuan Indonesia (MIPI), organisasi utama yang memajukan sains dan menjawab maknanya setelah merdeka. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1956 yang ditandatangani Sukarno menjelaskan bahwa ilmuwan berkuasa penuh menjalankan serta tidak akan dipengaruhi birokrat atau politikus.
MIPI mewujudkan idealisme komunitas sains yang otonom. Idealisme ini diperluas Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I di Malang pada 3-8 Agustus 1958 yang membahas “University and Research” dan “Scientific Manpower”. Kedatangan dan pidato Sukarno, Hatta, serta Mohammad Yamin merupakan tanda komitmen atas sains yang serius di antara pendiri bangsa. Pengaruh kongres ini terlihat dalam Ketetapan Nomor II MPRS 1960 tentang Rencana Pembangunan Semesta Berencana (RPSB) hasil kerja Dewan Perancang Nasional yang diketuai Yamin. Disebut dalam RPSB “negara penting melakukan riset dasar (basic research), riset terpakai (applied research), dan riset perkembangan (development research)”.
Meski Demokrasi Terpimpin yang dimulai pada1959 memakai sistem otoriter, menurut Goss, sains kasus khas. Sukarno tak bermaksud mengendalikannya secara opresif. Ia hanya menggiring ilmuwan senior mendekat ke pemerintah untuk ikut merumuskan kebijakan. Tak ayal, di masa itu universitas negeri dan swasta tumbuh pesat. Makin banyak mahasiswa yang dikirim ke luar negeri untuk belajar menjadi ilmuwan. Lembaga riset banyak lahir. Dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional sampai Lembaga Penelitian Ubi-ubian dan Kacang-kacangan. Sains semarak seperti terbaca dalam Research Indonesia 1945-1965, meski terkesan birokratis.
Ketika G30S 1965 pecah, Orde Baru menjalankan “brain drain” atau penghilangan massal intelektual. Sains makin birokratis. Kontrol pemerintah menentukan penelitian apa yang baik dan penting sehingga patut didanai lebih besar ketimbang zaman sebelumnya. Goss menyebutkan keadaan ini melahirkan praktik “pengetahuan meja tulis”. Ilmuwan menyusun ulang ilmu mereka dalam mengikuti program pemerintah dan sistem pendanaannya agar selaras dengan pembangunan sambil menjaga cita-cita ilmiah. Hasilnya, penelitian tak bermakna, ilmuwan canggih hilang, dan banyak peneliti jagoan merekayasa laporan penelitian.
Akibatnya, keingintahuan sebagai dasar penelitian ilmiah menghilang. Ilmuwan miskin publikasi ilmiah internasional dan ataupun keluaran teknologi dalam bentuk paten dan produk industri selama lebih dari setengah abad. Lebih sedih lagi kita menyaksikan celoteh elite mengenai nasi kucing dengan wabah Covid-19. Semua memperlihatkan kelemahan sains Indonesia. Bukan hanya pada ketidaksiapan institusi ilmiahnya, juga kemampuan birokrasi dan masyarakat berpikir ilmiah.
Tan Malaka benar. Suaranya lebih keras dari dalam kubur: “logika berpikir rasional tiada di Indonesia”. Sejarah membuktikan negara tak bisa meredam suara ini dengan sihir floracrats. Suara lantang Tan Malaka hanya bisa diredam dengan suaranya sendiri: merdekakan sains, lepaskan dari belenggu. Jika perlu, jadikan sains sebagai panglima. Hanya dengan begitu Indonesia bisa membangun ekosistem penelitian yang menunjang hari depan dan menyebarluaskan perangai ilmiah serta budaya unggul, sebagaimana dulu Indonesia diimajinasikan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo