BERMINGGU-MINGGU mereka berjalan mengarungi pedalaman Nikaragua yang paling gawat selangkah dua langkah di depan moncong musuh yang siap memetik pelatuk. Di kawasan perkebunan kopi nun jauh terpencil, pasukan pemberontak Nikaragua "Contra" yang sarap dan letih lunglai mencoba mengambil istirahat sejenak. Tapi, sial, tak sampai sempat: tiada berapa lama, pasukan patroli Sandinista membuka serangan. Tak sempat bilang apa-apa, pasukan Contra berlarian lintang-pukang ke bukit-bukit berdekatan. "Tidak cuma hari itu. Juga besoknya, dan hari berikutnya," tulis Philip Jacobson dalam The Sunday Times Magazine, 21 Aril silam, menggambarkan nasib para pemberontak Contra itu sehari-hari. Adegan seperti itu - yang disaksikan Charles Bonnay, juru foto Jacobson - juga dialami kelompok gerilya lainnya yang bertebaran di medan-medan liar bergunung-gunung di seantero Nikaragua. Khususnya, di provinsi utara Nikaragua yang berdekatan dengan perbatasan Honduras. Lewat Honduras ini, empat tahun CIA memompakan dana rahasia pemerintahan Reagan untuk menciptakan laskar dari para pengikut diktator Nikaragua Anastasio Somoza, untuk melawan pemerintahan "kiri" Sandinista yang berhasil merebut kekuasaan. Contra pun terbentuk. Tapi ketika uang Amerika berangsur kering, karena tantangan keras dari Kongres Contra keteter terus menghadapi mesin perang pemerintahan Sandinista yang diperkuat peralatan baru dari Uni Soviet. Efektif atau tidaknya gerakan gerilya di mana pun bergantung pada sikap liat dan mobilitasnya. Gerilya Contra ternyata kalah kenyal dibanding pasukanpasukan yang dioperasikan penguasa Nikaragua yang dulunya pun bergerilya menghadapi Somoza. Tekanan terus-menerus membuat Contra tidak berpeluang mengambil inisiatif pertempuran. Di medan laga, mereka mundur terus, sambil menyapu membuka jalan keluar. Tuduhan-tuduhan bahwa prajurit Contra bertanggung jawab terhadap tindakan sewenang-wenang pada kalangan penduduk sipil menjadi bukti, mereka kalap karena terdesak. Kaum gerilya, yang semula beroperasi jauh.di luar permukiman penduduk, belakangan, kacau - dalam keadaan terdesak, letih, dan lapar mulai menggarong desa yang dilalui. Penilaian tentang arus balik, yang sekarang menghadang Contra, datang dari ahli kemiliteran Amerika yang paling berpengaruh, Jenderal Paul Gorman. Tokoh purnawirawan ini, yang terakhir menjadi komandan tentara AS di Amerika Tengah, meramalkan, tidak ada harapan realistis kaum gerilyawan yang didukung CIA bisa memenangkan pertempuran, walaupun AS meningkatkan bantuannya. Menurut presiden Nikaragua Daniel Ortega, AS dalam keadaan "cuma selangkah dari pengumuman perang". Itu bukan cuma ungkapan yang diulangulang di Managua, ibu kota Nikaragua, saja. Teriakan-teriakan bernada perang seperti itu terdengar pula di Washington. Amuk Reagan ini nyata pada kekhawatiran para sekutunya, bahkan Inggris yang selalu mendukung AS. Perdana Menteri Margaret Thatcher tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan rasa waswas terhadap garis keras yang diterapkan Reagan pada Sandinista. Pol pendapat umum pun membuktikan, sebagian besar masyarakat Amerika tidak setuju pemerintahnya ambil bagian dalam upaya menunggingkan rezim Ortega - yang oleh Reagan dituding sebagai pengekspor revolusi Merah - yang sudah mulai mengirimkan barisan sukarelawan membantu gerilyawan kiri El Salvador. Mungkin Reagan dan para kesatria perangnya - termasuk Menlu George Shultz - benar-benar yakin (tanpa mengecek lagi) rakyat Nikaragua lagi kebelet menumbangkan pemerintahan Sandinista. Padahal, intel AS melaporkan kenyataan: kendati menjalankan pemerintahan secara otoriter dan menerapkan kebijaksanaan politik yang ceroboh, tak ayal Sandinista mendapatkan dukungan dari rakyat. Dukungan itu belakangan jadi lebih besar karena pada kenyataannya kaum "Somocista" bekas aparat keamanan pemerintahan diktator Somoza yang diaktifkan kembali dalam laskar Contra menjalankan kebiasaan lama: menyiksa rakyat. Para wartawan Barat tidak lagi diperkenankan menyertai operasi militer kaum Contra ketika uang CIA mulai tidak lancar. Dengan tunjangan kesejahteraan CIA itu, semula moral laskar Contra tinggi sekali. Suplai senjata AS - senjata otomatis baru, radio medan modern, sepatu but yang yahud - bikin iri lawan mereka, para milisi Sandinista. Perang tidak perang, Contra merasa menang. Menjelang akhir tahun silam, waktu mereka mulai keok, mat kodak Charles Bonnay - veteran Perang Vietnam yang kini mangkal di Amerika Tengah - diundang menyertai sebuah unit pasukan Laskar Demokratik Nikaragua (FDN), kelompok Contra paling besar, melancarkan sebuah misi penting. Bonnay memanfaatkan waktu lima minggu bersama mereka, dan liputan langsung itu menghasilkan penilaian berharga - atau juga naif - tentang arus balik yang terjadi pada kaum pemberontak. Mulanya diduga, sejumlah besar gerilyawan FDN itu adalah kaum Somocista. Tapi kenyataannya, komandan kelompok di berbagai sektor justru bukan bekas anggota "Cakrabirawa" sang diktator. Aureliano, misalnya. Dokter jempolan berusia 34 tahun itu teken kontrak iadi serdadu Contra karena kecewa pada cara Sandinista mencondongkan diri kepada komunisme. Di mata Bonnay Aureliano dinilainya cerdas dan menyenangkan, di samping memiliki kejujuran dalam mengabdikan diri kepada rakyatnya. "Perangku berikutnya," kata sang komandan "ditujukan terhadap kemiskinan dan kebodohan rakyat." Selama patroli, Aureliano memeriksa kesehatan rakyat setempat dan memberikan perawatan kesehatan. Ketika berkeliling di sebuah desa pertanian, tiga bulan sebelumnya, ia membantu seorang ibu melahirkan bayinya. Nama Aureliano, kata Bonnay, acap muncul dalam siaran radio musuh. Ini menunjukkan bahwa ia orang yang dicari, dengan janji hadiah bagi yang menangkapnya. Pencarinya, tentu saia, rezim Sandinista. Wakil komandan unit FDN Tito bertolak belakang dengan komandannya. Bangga akan masa dinasnya dalam Pengawal Nasional Somoza - pasukan keamanan paling ditakuti - Tito tidak menyembunyikan impiannya yang penuh sakit hati terhadap semua yang berbau Sandinista. Terluka dalam operasi militer sebelumnya, Tito, sekalipun pembaca Alkitab yang lahap, agamanya yang sejati adalah balas dendam. "Mukanya tidak akan berpaling, kalau ada kesempatan untuk melakukan pembalasan berdarah," ujar Bonnay. Ia pernah menyaksikan Tito menggosokkan krim ke kakinya, memotong kuku dan memeriksa butnya. Tak bisa lain, Tito adalah "pejuang lipstik" yang mencoba mengesahkan selera sadistisnya dengan dendam kesumat. Toh di beberapa wilayah pertempuran, Bonnay terkesan juga pada sambutan yang diterima rombongan Contra di desa-desa yang mereka singgahi. Penduduk sering memberikan informasi tentang gerak-gerik musuh, dan menjual makanan dan bahan bakar kepada tamunya. Orang-orang bersenjata yang keluar dari belukar menjadi bagian dari gaya hidup mereka. Dan mereka tahu apa yang dapat diharapkan dari dua pihak yang berperang. Para wartawan yang pernah menyertai kesatuan Sandinista (termasuk Jacobson) melihat penduduk desa yang sama begitu bernafsu mengabarkan perihal lokasi laskar Contra. Menurut Aureliano, pasukannya memiliki misi penting untuk menggempur Kota San Sebastian Yali, dengan tujuan merebut dan mempertahankannya selama mungkin. Taktik dasar gerilya - pukul, lari, dan pukul lagi - berulang dijabarkan sebagai kebutuhan FDN untuk meraih kepercayaan politik di AS. Yaitu, sebagai kekuatan yang dapat diandalkan. Yang memedihkan, pasukan Sandinista telah duluan menduduki sebuah kota kecil di dekat perbatasan selatan Nikaragua dengan Costa Rica. Sebuah pertanda ketangguhan Contra sebagai kekuatan pemungkas telah dihancurkan. * * * Tak berapa lama setelah menyertai kelompok Contra, Bonnay menyaksikan sendiri perlakuan buruk kaum gerilyawan terhadap penduduk Nikaragua. Rakyat biasa yang dicurigai membantu musuh diinterogasi, dan banyak di antaranya, walau bukan dari kubu Sandinista, terpaksa menghadapi kekejaman Contra. Kampanye teror yang sistematis itu dapat dicari buktinya dari sejumlah guru, petugas puskesmas, dan para pejabat negara. Bisa pula diadakan kesaksian bebas tentang pengadangan terhadap sekelompok petani yang pergi kondangan orang kawin seminggu setelah hari Natal. Pengantin perempuan dan dua gadis pengiringnya termasuk di antara mereka yang kena bidas. Dalam serangan lainnya, menurut pengawas Amerika dari Komite Hak Asasi Manusia, tiga orang tidak bersenjata dan seorang nenek berusia 85 tahun diberondong mati. Maret silam, pengawas Amerika tersebut menerbitkan sebuah laporan yang membandingkan tindakan Contra dan Sandinista dalam perang kotor kecil-kecilan. Terbukti, sementara perkembangan "peradaban" Sandinista semakin baik, FDN malah semakin jadi tukang bikin cedera paling busuk. Buku pedoman CIA tentang cara "menetralisasikan" pejabat Sandinista, kata laporan tadi, secara langsung bermaksud menghimpun kaum Contra untuk melakukan tindakan melanggar hukum perang. Laporan itu mengemukakan bukti yang dapat dipercaya bahwa Contra secara rutin mencederai bahkan membunuh penduduk sipil. Juga, menghabisi serdadu musuh yang terluka dan memperkosa wanita. Laporan lain berasal dari Pusat Hak-Hak Konstitusional, yang berpangkalan di New York. Laporan itu menyebutkan, kaum Contra menggorok 18 petani setelah memusnahkan desa mereka. Sekretaris negara AS, El-liott Abrams, menyangkal dan menyerang kredibilitas dugaan-dugaan tanpa bukti itu. Tetapi penyidikan Kongres, berdasarkan bukti-bukti dari para agen CIA, ternyata mengungkapkan bahwa tindakan Contra di lapangan itu memang benar. Penemuan inilah yang menimbulkan gema berantai di kalangan masyarakat AS - yang otomatis takut dibilang biadab. Beberapa pemimpin Contra secara pribadi mengakui, kaum gerilya telah melakukan kesalahan. Mereka bersikukuh bahwa kekejaman seperti itu lumrah saja bagi perang saudara di mana pun bisa terjadi. Bahkan mereka bersitegang bahwa pasukan Sandinista juga bersalah untuk perbuatan yang sama terhadap warganegara sipil. Perlu diakui, bukti-bukti jelas sukar diperoleh di Nikaragua yang dikontrol ketat. * * * PBB, Mei silam, meminta agresi Contra dihentikan. Negeri-negeri sahabat AS - Meksiko, Colombia, Panama, dan Venezuela - juga berjuang untuk mencapai perdamaian di kawasan Amerika Tengah. Toh Presiden Reagan bersikukuh hendak "pergi" ke Nikaragua. Mengapa? Bagi dia, ini tugas moral suci hari ini. Sebab, baginya, (yang menimbulkan banyak pertanyaan) Nikaragua versi Sandinista adalah negara totaliter, brutal, kejam, dan komunis. Ditanya tentang undang-undang yang bisa mengesahkan bantuan rahasia AS kepada Contra, presiden yang suka pada garis besar ini menjawab, usul-usul di Kongres "telah meniadakan pemahaman seutuhnya tentang apa yang sedang kita coba lakukan". Paham? Cemoohan datang pula dari Gedung Putih. Presiden, kata mereka, bermaksud "menarik garis di atas debu". Pasalnya, Reagan masih juga ngotot agar Kongres menyetujui jumlah biaya yang paling dibutuhkannya, yaitu 14 juta dolar. Padahal, para penasihatnya telah memperingatkan bahwa pemerintah akan berhadapan dengan risiko gagal pada kebijaksanaan luar negerinya yang utama kalau tidak melakukan perubahan pendekatan. Pengaliran dana secara diam-diam kepada Contra melalui para sekutu yang siap membantu, seperti Korea Selatan dan Honduras, hanya akan membikin berang para anggota Kongres, yang memang mulai panas hati. Sementara itu, orang Honduras sendiri semakin gelisah berkenaan dengan pemakaian wilayahnya sebagai pangkalan militer, demistrategi AS di Amerika Tengah. Tapi, Reagan tampaknya siap melakukan konfrontasi total dengan Kongres. "Mereka harus bertanggung jawab dan memperhitungkan masa depan Amerika Tengah," ujar seorang pejabat senior Gedung Putih. "Itulah cara yang d dipakai Presiden untuk mengamankan isu di depan umum." Satu pilihan yang diam-diam dicobakan adalah AS menangguhkan - malah mungkin secara resmi memutuskan - hubungan diplomatik dengan Managua. Dewasa ini, diperkirakan 20% perdagangan luar negeri Sandinista dilakukan melalui perusahaan AS. Pemutusan hubungan ini terhitung dapat menorpedo bidang bisnis, bahkan mengacaukan Sandinista. Juga lebih gampang sebenarnya bagi Washington untuk mengakui sejenis pemerintah pengasingan Nikaragua - di Costa Rica, barangkali - yang dengannya AS bisa mengalirkan bantuan yang kurang bersifat terbuka. Lebih diplomatis dan tidak urakan. Toh, Reagan, si "Komunikator Agung", diharuskan menanyakan kepada rakyat melalui uji pendapat umum (poll). Untuk memenangkan pendapat umum inilah, berbagai upaya kalut kini sedang dilakukan untuk menyolder pertikaian berkepanjangan di antara sesama Contra. Mereka didorong untuk membentuk front persatuan supaya bisa meraih kepercayaan umum di AS. Kaum Contra sendiri sebetulnya ketakutan setengah mati ditinggalkan sponsornya. Jubir resmi FDN, Edgar Chamorro, segera kehilangan jabatannya begitu ia mengecam buku pedoman gerilya kontroversial yang diserahkan CIA kepada Contra. Chamorro tidak dapat menyembunyikan rasa sakit hatinya kepada Reagan. "Kami telah menikah. Semua tahu itu adalah perkawinan yang sesuai. Sekarang mereka memperlakukan kami seperti lonte," katanya. Di matanya, AS tidak pernah berniat mengizinkan kaum gerilya menjadi mapan di Nikaragua, tapi lebih menggunakan operasi mereka sebagai cara efektif dan murah untuk menjaga agar Sandinista tetap berada di bawah tekanan negara adidaya itu. Sementara itu, komandan militer FDN, Enrique Bermudez, dongkol pada Kongres. Maret lalu, ia mengumumkan bahwa pasukannya sudah bersiap menerima kerugian dan korban lebih banyak dalam upaya merebut dan menduduki wilayah Nikaragua. "Cukup berat bagi kami, memang. Tapi itulah harga yang harus kami bayar untuk mendapatkan dana," katanya mengenaskan, saat jumpa pers di Washington. Pemimpin FDN itu menekankan bahwa persetujuan dari Kongres sungguh vital bagi upaya gerilya meraih uang dari sejumlah sumber swasta. Apa pun yang akan dihasilkan, ada sedikit petunjuk bahwa Washinvton memahami juga apa yang sedang terjadi di kalangan Contra. Beribu-ribu gerilyawan yang dipersenjatai dengan baik akan lenyap begitu saja. Ini karena pemerintah AS tidak dapat lagi mendukung dana bagi kelangsungan mereka. Tapi apa yang dapat diperbuat dengan orang seperti Tito, yang memendam impian balas dendam berdarah sembari mengurut-urut kakinya? * * * Perkara Reagan begitu sewot pada komunisme bisa dimengerti. Tapi apakah Nikaragua negara Marxis-Leninis? Apakah Nikaragua, sebuah Kuba yang lain, atau paling tidak apa sedang menuju ke sana? "Untuk mencari jawabnya, aku mengembara ke jantung revolusi," tulis Mario Bargas Llosa dalam The New York Times Magazine, 28 April lalu. Llosa, pengarang novel Peru, adalah pemenang hadiah Ritz Paris Hemingway untuk novelnya Perang Akhir Dunia. Kita ikuti pengarang itu bertutur. Dalam perjalanan ke Nikaragua, begitu Llosa menulis, aku singgah dulu di Venezuela. Di sini seorang teman menyatakan rasa kagetnya. "Kau mau ke Managua? Wah, wah, wah! Tempat itu benar-benar Kuba yang lain. Dengan reputasimu sebagai orang kanan, kau bisa celaka. Hati-hatilah." (Setiap orang yang memperjuangkan kebebasan menyatakan pendapat, pemilihan bebas dan pluralisme dikenal sebagai orang atau sayap kanan di antara kaum intelektual). Ternyata, aku tidak perlu berhati-hati sama sekali. Terbukti segala sesuatunya berjalan baik sehingga aku menjadi letih - letih lunglai karena sambutan ramah tamah yang dilimpahkan kepadaku oleh kaum Sandinista. Dalam perlawatan sebulan (Januari) itu, aku berbicara dengan beratus orang. Aku menjelajah hampir seluruh negeri. Di negeri yang di tempati sedikit di bawah tiga juta orang itu, aku segera menemukan perbedaan besar antara Nikaragua dan Kuba. Pada tahun kelima Fidel Castro berkuasa, Kuba telah menjadi satelit Soviet. Mati-hidup ekonomi dan kekuatan militernya bergantung pada Soviet. Setiap gejala oposisi langsung ditindas. Sektor swasta dibidas. Birokrasi partai meluas dan memerangkap seluruh negeri. Ideologi menjadi makanan hari-hari. Di Nikaragua, lima setengah tahun setelah jatuhnya diktator Anastasio Somoza Debayle, masyarakat masih majemuk - walaupun berada dalam kontrol ketat. Usaha swasta masih mendominasi pertanian, budi daya peternakan, perdagangan, dan industri. Lawan politik masih berani terang-terangan mengecam rezim melalui Koordinator Demokratik koalisi partai-partai politik yang dulunya antiSandinista, serikat buruh dan kelompok pengusaha. Dan kendati melalui sensor keras, kritik masih bisa ditemui dalam La Prensa, mingguan Paso a Paso, dan dua atau tiga program siaran berita radio. Tak diragukan lagi bahwa oposisi politik dibiarkan lonar - karena tidak begitu efektif. Ketika pemilu November diperagakan Sandinista pun tidak memperbolehkan kompetisi murni. Misalnya, mereka menolak menunda pemilu karena dapat memberikan kesempatan pada Koordinator Koalisi berembuk sesamanya agar kandidatkandidatnya bisa tampil dalam daftar calon. Tetapi di sisi lain, oposisi tidak sampai menjadi sasaran teror, atau senewen ketakutan seperti biasanya golongan berbeda pendapat di negara-negara diktator. Kini, Nikaragua, memang tuan rumah beribu-ribu penasihat, baik resmi maupun tak- resmi, dari Uni Soviet, Kuba, dan negeri-negeri blok Timur lainnya. Mereka menerima bimbingan militer dan teknik dari negerinegeri tersebut. Tetapi Nikaragua jauh dari status satelit Uni Soviet. Ini bukan karena Sandinista ingin berpendirian demikian - aku yakin sekali mereka berhasrat menjadi satelit Soviet - tetapi disebabkan Uni Soviet enggan menerima beban "Kuba yang lain". Atau bisa juga karena negeri adidaya itu tidak mau mengambil risiko berkonfrontasi langsung dengan AS. (Ketika singgah di Venezuela, Presiden Jaime Lusinchi bercerita padaku bahwa ia telah bertanya kepada Uni Soviet apakah mereka berniat mengirimkan pesawat MiG ke Nikaragua. Jawaban yang datang melalui dubes Soviet adalah: "Kami tidak segila itu"). Ini dapat menjelaskan pidato Fidel Castro, tahun silam, yang menyatakan bahwa Kuba akan bersikap netral jika Nikaragua diserbu. Bantuan terbatas dari Moskow dan oposisi dari dalam terhadap pemantapan rezim Marxis-Leninis telah memperburuk ekonomi pada tahun-tahun pertama berkuasanya kelompok Sandinista. Keruwetan ekonomi telah mendorong di lakukannya nasionalisasi dan kontrol ekonomi oleh negara. Bersama dengan akibat teror para pengacau dan sabotase, semua itu telah memberi peluang bagi berkembangnya kaum komunis Sandinista. Sementara itu, Sandinista dengan tega menyatakan akan menandatangani perjanjian Contadora, mendevaluasikan mata uangnya, serta mengurangi subsidi terhadap transportasi dan barang-barang keperluan pokok. Mereka juga mengumumkan penangguhan pembelian senjata dan berjanji memulangkan sekitar 100 penasihat militer Kuba. Dicanangkan pula bahwa rezim mereka adalah nonblok dan menjalankan ekonomi pluralis yang beragam. Tidak semuanya dilaksanakan, memang, tetapi kenyataan mempertukarkan konsesi bisa melahirkan jaminan perdamaian dan tidak melakukan intervensi. Di Nikaragua, dongengan dan kenyataan sering diedarkan dari satu mulut ke mulut yang lain. Suatu hari, Wakil Presiden Sergio Ramirez Mercado berkata kepadaku dalam kesempatan undangan makan di rumahnya: "Kukira Anda tahu latar belakang undangan makan dan minum yang diadakan oleh Sandinista dan kaum reaksioner. Kami semua ingin Anda menulis hal-hal baik tentang kami dan hal-hal buruk tentang pihak lainnya." Ramirez, 43, adalah pengarang novel dengan rasa humor yang bagus. Kami telah berteman sebelum revolusi Nikaragua. Saat itu, ia tinggal di Berlin Barat dan mengepalai sebuah percetakan di Costa Rica. Para musuh Ramirez berkata bahwa ia membesar-besarkan radikalismenya di depan publik agar tidak kehilangan pengaruh di antara kawan-kawan Sandinistanya. Terbukti, ia tokoh paling moderat di dalam rezim itu. Selama sebulan di Nikaragua, aku menemui banyak ironi. Ambil Managua, misalnya, ibu kota negeri itu. Aku tadinya menganggap kota yang jalan-jalannya paling pating seliwer adalah Tokyo. Aku keliru, Managua-lah yang begitu. Gempa bumi 1972, yang hampir meluluhkan seluruh kota, masih meninggalkan rongga-rongga berpuing di pusat kota ini. Orang Sandinista telah mengubah bagian dari Grand Hotel, yang luluh lantak karena gempa, menjadi sebuah teater. Di sana, pada 9 Januari, tiga hari setelah kedatanganku, di panggung yang didirikan di atas bekas kolam renang, Daniel Ortega Saavedra mempersembahkan program kesenian tradisional kepada delegasi asing yang datang pada ulang tahun kepresidenannya, yang jatuh keesokan harinya. Pemerintah setempat memberiku seorang pengiring, pengarang novel Lizandro Chavez Alfaro, yang juga menjadi direktur Perpustakaan Nasional. Dia orang yang gila-gilaan mau tepat waktu. Ia biasanya menyuruhku berada di tempat janji temu satu jam lebih awal. Hari itu juga tak terkecuali. Tapi ternyata memang menguntungkan. Ketika tamu mulai berdatangan, aku telah berkesempatan mengelilingi sebagian hotel, yang kini menjadi bangunan Museum Seni Modern. Itu adalah gagasan cemerlang untuk memamerkan lukisan primitif, surealis, dan abstrak serta patung-patung di antara reruntuhan. Jalan-jalan kota dibangun kembali dan dari segala jurusan - tanpa nama, bahkan rumah-rumah di kiri dan kanannya pun tanpa nomor. Menentukan arah adalah suatu teka-teki atau main tebak-tebakan. "Pergi 70 vara ke atas dan ke bawah, dimulai dari pohon kecil," begitu orang bilang. Pohon kecil mana yang mereka maksud? Pohon itu memang pernah tumbuh di masa lalu, entah kapan. Tidak seorang pun tahu karena di tempat yang diincar-incar itu kini tidak ada apa-apa lagi. Tapi, jangan pula merasa aneh jika penduduk Managua masih menggunakannya sebagai patokan arah sampai sekarang. Seperti halnya mereka masih memakai satu vara - kira-kira tiga kaki, dan merupakan ukuran orang Castilia dari Abad Pertengahan - yang tidak dipakai orang lain kecuali oleh penduduk Nikaragua. Ada lagi, bagaimana harus menafsirkan "ke atas" dan "ke bawah"? Penjelasan yang aku terima macammacam. Menurut beberapa orang, "atas" adalah timur - ke arah bandar udara - dan "bawah" adalah barat, menuju ke pemakaman. Bagi sebagian penduduk Nikaragua ini, khususnya Indian, "atas" adalah tempat terbitnya matahari, dan "bawah" tempat ia tenggelam. Jadi, klop 'kan. Dalam beberapa perlawatan aku ditemani Lisandro Chavez yang ramah tamah. Dia ini penduduk asli Bluefields di tepi Samudra Atlantik. Di tempat-tempat lain, aku ngelencer sendirian. Aku tercengang oleh kadar keamanan yang longgar dan kehidupan sehari-hari yang tampaknya normal. Chavez mengatur wawancara dengan para pejabat pemerintah, yang kulayani sebisa-bisanya - paling tidak pada dua-tiga hari pertama. Pada minggu kedua, aku bertanya-tanya bagaimana bisa mengatur waktu agar berbincang-bincang dengan orang ketiga di bawah menteri, orang kaya, petani, bekas tapol, pengusaha, tokoh buruh, wartawan, pendeta, kaum feminis, atau evangelis. Bahkan dengan orang gila yang kukira dapat memberikan "informasi mendasar" untuk tulisanku. Semua telah menghubungiku. Pada saat yang sama, aku dibanjiri undangan kegiatan sosial. Keramahtamahan Nikaragua konon sudah jadi dongengan. Tetapi berbagai undangan yang aku terima tampaknya bukan sekadar pernyataan keramahtamahan mereka. Itu lebih dianggap sebagai kesempatan penting yang harus dimanfaatkan kedua belah pihak yang berseteru untuk memberikan gambaran Nikaragua di luar negeri - menurut versi masing-masing, tentunya. Kedua pihak tegas beranggapan bahwa nasib Sandinisme ditentukan tidak hanya dari dalam, melainkan juga dari luar Nikaragua. Siapa lagi, kalau bukan AS. * * * Kendati kaum Sandinista mungkin bersiap melakukan rembukan apa pun demi perdamaian negeri, mereka tetap akan bersikukuh dalam satu hal: tidak akan melepaskan kekuasaan. Nafsu untuk tetap memegang kuasa tentu bukan barang ganjil di tangan Sandinista. Itulah karakter rezim otoriter dan totaliter. Sebagian besar kaum oposisi akan bereaksi marah terhadap setiap anggapan bahwa Front Sandinista yang lagi berkuasa tidak terlalu totaliter. Di dalam berbagai pertemuan, kaum oposisi mengungkapkan contoh-contoh tentang pelanggaran hak asasi manusia, gangguan terhadap serikat buruh bebas, pencabutan hak mogok, pembatalan 23 siaran berita radio, ancaman terhadap pengambilalihan perusahaan, dan indoktrinasi Marxisme di kalangan pelajar dan tentara. Gejala cukup aneh, mereka yang hadir dalam rapat-rapat tidak berusaha menjaga ucapannya. Beberapa di antaranya, setelah menyebut nama lengkapnya, berani-beraninya menyerang ganas padahal belum tentu benar - tindak-tanduk Com mander (Letkol) Ortega. Mereka, kata para oposisi itu, merampok rumah-rumah terbaik, mempunyai rumah pembantaian di kawasan Jalan Raya Selatan, dan telah mengubah restoran Sacuanjoche menjadi tempat pesta gila-gilaan orang-orang Kuba, Rusia, Bulgaria, serta para penasihat komunis lainnya. Ketika kukatakan bahwa di negeri-negeri totalitel lainnya rapat-rapat seperti itu bisa membawa celaka, mereka mencengangi kenaifanku. Tidakkah ak dapat melihat bahwa jenis toleransi itu hanya suat "taktik" yang segera berakhir? Atau, boleh jadi mereka sudah siap masuk penjara ataupun mati karena ucapan-ucapan itu. Aku selalu meninggalkan pertemuan semacam itu dengan rasa kagum akan sikap keras dan liat mereka. Tapi aku skeptis: apakah efektif? Hampir semuc partai oposisi - Konservatif Demokratik, Liberal Sosialis Kristen, dan Sosial Demokrat - memiliki kelompok yang memisahkan diri di Dewan Nasional. Terdapat cukup banyak orang kaya dan berpendidikan di antara para pemimpin oposisi, tetapi aktivitas politik mereka secara keseluruhan tidak praktis. Mereka, misalnya, tak mau mengakui bahwa sangat keliru memboikot pemilu September. Betapa pun curangnya pihak lawan, partisipasi dapat memberikan kepada oposisi lebih banyak wakil pada forum tingkat nasional (oposisi non-Marxis menempati 29 kursi diantara 96 anggota Dewan). Dengan demikian, lebih banyak pengaruh bisa diraih dari pernyataan dan kecaman yang dikeluarkan terhadap ekses dan kekeliruan penguasa. Dan juga ketika mendesakkan pengaruh ke dalam sistem kekuasaan. Sebaliknya, mereka juga menggandrungi legalisme dan demokrasi liberal ortodoks yang belum pernah dipunyai Nikaragua. Dengan berceloteh sesama sendiri, mereka mulai menjadi penganut politik bencana: menunggu-nunggu datangnya Contra, dibantu marinirAS, yang akan menyelamatkan mereka. Kaum Sandinista menjuluki Contra "pasukan bayaran" (mercenary) dan gang Sementara itu, Reagan menyebut mereka "pejuang kemerdekaan". Contra umumnya Laskar Demokratik Nikaragua, yang dipimpin oleh Adolfo Calero Portocarrero, bekas ketua Partai Konservatif - yang ini beroperasi dari Honduras. Lalu ada lagi Aliansi Demokratik Revolusioner di selatan - di sepanjang perbatasan Costa Rica - yang dikepalai Eden Pastora Gomez, bekas Sandinista. Versi pemerintah dan oposisi tentang perang dengan Contra bertolak belakang. Ada macammacam penafsiran dan fakta. Tapi satu hal jelas: kaum "borjuasi" tidak akan ditemui di medan pertempuran yang sesungguhnya. Karena ini adalah perang di antara orang miskin. Kebanyakan anggota Contra - seperti para serdadu Sandinista yang luka parah yang kutemui di (RS) German Pomares Field Hospital di Jinotega - adalah kaum tani. Umumnya mereka tak tahu dengan pasti perihal apa yang mereka perjuangkan. Beberapa di antaranya merasa berjuang melawan imperialis Yankee - AS. Yang lain yakin, mereka terlibat perang suci terhadap kekuatan setan. Contra mengakibatkan kehancuran besar rezim Sandinista. Mereka telah membuat kerusakan lebih besar ketimbang pemberontakan Sandinista sebelumnya (7.968 korban dalam empat tahun, menurut Presiden Ortega). Tapi mereka total tidak punya kesempatan untuk menunggingkan pemerintah. Dukungan yang mereka peroleh dari petani dan kaum borjuis baru seperempat saja dari jumlah yang digunakan ketika menjatuhkan Somoza. Lagi pula, ketergantungan ekonomi dan militer kepada AS membangkitkan kecurigaan yang tak terpupus - bahkan juga di kalangan masyarakat yang memusuhi Sandinista. Mereka tak dapat melupakan sejumlah intervensi dan pendudukan Amerika Utara, terutama dalam mewariskan dinasti Somoza yang sangat dibenci rakyat Nikaragua. Penyair ternama Pablo Antonio Cuadra, pengarang dan koeditor La Prensa, juga salah seorang gembong oposisi yang masyhur, berkata padaku, "Bantuan diam-diam CIA kepada Contra adalah kekeliruan paling parah." Suatu invasi - dari Amerika Utara - bukanlah suatu pemecahan, jika seseorang mencoba mempertahankan kebebasan demokrasi di Nikaragua. Jenis invasi militer yang besar-besaran, dan berkubang darah, sekalipun mampu melempar Sandinista ke luar gelanggang, tidak akan membuahkan demokrasi yang sejati. Alih-alih, hanya kediktatoran yang dapat menghadirkan sebuah orde bagi negeri yang luluh lantak oleh terorisme dan perang saudara. Untuk memelihara kebebasan rapuh yang ada di bawah rezim sekarang, pilihan satu-satunya bagi oposisi adalah mencapai suatu perjanjian dengan Sandinista. Walaupun rezim tetap berjalan ke arah totaliterisme, tantangan dan kesulitan yang dihadapinya bisa menghadirkan kompromi. Karena partaipartai oposisi tidak menyadari hal ini, jadilah mereka kelompok yang serba tanggung di tengah-tengah realitas politik Nikaragua. Kelompok yang berhasil mendorong Sandinista memodifikasikan selera mereka kepada Marxisme Leninisme adalah kaum tani dan industrialis. Berbeda dengan Kuba seperempat abad berselang - ketika kelompok komunis merebut kekuasaan - petani dan industrialis Nikaragua tidak kabur ke Miami ketika pemerintah beralih progresif. Enrique Bolanos Geyer, industrialis, peternak, dan petani yang kaya raya, adalah pengecam Sandinisme yang tangguh. Ia juga presiden Dewan Tertinggi Pengusaha Swasta (yang dikenal sebagai Cosep), federasi bisnis terbesar di negeri itu yang mencukongi tiga kali. pemogokan politik terhadap rezim Somoza pada 1974. "Problem Bolanos dan problem Cosep adalah bahwa mereka tidak berhenti dengan lenyapnya kekuasaan politik," kata Wakil Presiden Sergio Ramirez. "Kami tidak mengalami kesulitan untuk mencapai saling pengertian dengan, misalnya, multimilyuner Carlos Pellas. Atau kaum industrialis lainnya yang suka mendiskusikan masalah kredit, mata uang asing, modal, dan investasi dengan kami. Tapi tidak seorang kapitalis pun akan pernah lagi menjabat presiden Bank Sentral, atau mendiktekan kebijaksanaan ekonomi, dan itulah konsep yang tidak dapat diterima oleh Cosep." Barangkali wakil presiden itu benar, tetapi ketidaksepakatan tentang masalah doktrin, pada kenyataannya, tidak mengganggu gejala-gejala kerja sama antara sektor kapitalis dan rezim penguasa. Sebelum revolusi Sandinista, keluarga Pellas kedua terkaya di sana - sesudah keluarga Somoza. Keluarga itu sampai kini masih memiliki saham yang luas, yang terpenting pada pabrik gula San Antonio di Chichigalpa. Aku berada di sana sehari, ditemani oleh Carlos Pallas, yang memilih tinggal di Nikaragua ketika ayah dan saudara-saudaranya kabur ke Miami. Tercatat 3.000 karyawan yang bekerja di situ (5.300 jika lagi panen). Ada sekitar 20 ribu orang yang menumpang tinggal di tanah milik perusahaan. Pada tahun-tahun terakhir, terdapat penurunan produksi, sebagai rangkaian akibat yang juga berjangkit di mana-mana: langkanya mata uang asing. Keterlambatan pemerintah memberikan dolar kepada pabrik gula untuk memperbaiki dan mengganti suku cadang berakibat banyaknya truk dan traktor tidak bisa dioperasikan, sehingga pengangkutan bahan baku tebu kepabrik gula merosot drastis. Dan, pernah kejadian hama tikus melahap sekitar 200 ton tebu, karena pabrik tidak menerima bantuan 100 ribu dolar dari pemerintah untuk membeli racun tikus. "Karena tidak memperoleh uang pada waktunya," kata Pellas, "kami menderita rugi sekitar 400 ribu kuintal gula, atau kira-kira 2,7 juta dolar." Sejak revolusi, sekitar 70 teknisi dan ahli lainnya dari perusahaan itu pergi ke luar negeri. Dua dari rekayasawan yang kini masih bekerja di sana telah pula memindahkan keluarga mereka ke Costa Rica, dan mengunjungi mereka setiap dua minggu. Mengapa? "Agar anak-anak kami tidak direkrut dalam dinas militer, dan karena takut negeri ini akan menjadi komunis." Selain menjadikan Nikaragua komunis, Sandinisme juga menimbulkan keluhan para manajer pabrik, yang melihat disiplin para karyawannya rusak. Dan gaji harus tetap dibayar, walaupun mereka direkrut sebagai anggota milisi. Kendati demikian pabrik San Antonio makin diluaskan. Ini bukan saja membuat pemiliknya memperoleh mata uang asing lebih banyak, tapi juga kepercayaan dari pemerintah. Mereka telah pula membangun pabrik penggilingan baru. "Kukira perusahaan akan aman sampai lima tahun lagi," kata Pellas. "Hanya Tuhan yang tahu apa yang bakal terjadi setelah itu." Orang yang juga dipuji oleh rezim sebagai "kapitalis"-nya Sandinista adalah Samuel Amador. "Dia kapitalis yang kami kibar-kibarkan kepada orang asing agar mereka tidak menyebut kami komunis," gurau Wakil Presiden Ramirez ketika memperkenalkan aku kepada Amador. Itulah memang peran yang dengan berhasil gemilang dimainkan petani dan pemilik ranch yang flamboyan itu. Aku sempat berakhir minggu dengan dia di Sebaco, 66 mil dari Managua, di rumah besar bermarmar, yang punya dua kolam renang luas dan 11 anjing. "Harganya 800 ribu dolar," cerita Amador sambil mengangkat tangannya yang satu jarinya bercahaya oleh kemerlap cincin berlian. Apalah artinya 800 ribu dolar bagi pria yang dengan senang hati kehilangan 2,5 juta dolar dalam perang merontokkan Somoza, dan baru saja terpilih sebagai wakil Sandinista di Dewan Nasional itu. Akhir minggu itu, Letkol Jaime Wheelock Roman, Menteri Reformasi Agraria, bersama 50 orang Amerika tiba dengan bis untuk hadir dalam undangan makan. Amador bercerita kepada tamu-tamunya, bukti paling mencolok bahwa Nikaragua tidak akan menjadi Marxis adalah empat kawasan pertanian yang terdiri dari 3.750 akre ladang padi, sorgum, dan sayur-mayur peternakan rumah baru di Matagalpa 180 karyawan ladang gandum yang sedang di siapkan proyek pariwisata yang akan diresmikan akhir tahun ini di Pegunungan Jinotega - semuanya milik satu orang. Ia memperkenalkan aku kepada dua putranya yang masih belasan tahun, yang menjadi "sukarelawan pemanen kopi". Mereka, katanya mencoba meyakinkan aku, akan turut dalam dinas militer pembela tanah air, "Sejak sekarang mereka adalah turba." (Turba tadinya adalah julukan menghinakan kepada massa, atau gerombolan, yang kemudian justru digunakan oleh Sandinista untuk intimidasi politik yang bukan turba malah diganyang. "Ya, kami memang turba, lalu mau apa," sempat menjadi yel mereka). Malam hari, saat kami berjalan kaki melintasi kebunnya yang penuh kodok, Amador mengakui bahwa kebahagiaannya tidak mutlak. Dua anak perempuannya, yang menetap di California, menolak mengunjunginya. Mereka berkata, "Suatu hari komunis akan menggorok Anda." Ketika aku bertanya apakah ada sesuatu di dalam rezim yang kurang beres, ia berkata, "Asosiasi Pekerja Pertanian." Mereka dua kali berusaha mengambil alih tanahnya, dan Amador harus menggunakan seluruh pengaruhnya untuk bisa mencegahnya. enurut Cosep, sektor swasta hanya cerita bohong di Nikaragua. "Pemilik tanah jenis apa kami ini?" para anggotanya bertanya. "Negara menentukan apa yang mesti kami tanam. Kami hanya bisa menjual kepada negara dengan harga yang tertentu. Pembayarannya dalam mata uang lokal dan hanya untuk keperluan perawatan dan membeli suku cadang. Dengan nasionalisasi bank, kami hanya bergantung pada kredit yang diberikan pemerintah. Dan kami hidup dibawah ancaman penyitaan tanah dengan tuduhan telah melakukan sabotase ekonomi." Sudut pandangan Sandinista tentunya berbeda. "Kami menyelamatkan sektor swasta di Nikaragua," ujar Letkol Wheelock. Aku menyertai dia ketika mendampingi perdana menteri Iran Mir Hussein Moussavi meninjau pabrik gula yang dibangun Kuba di Malacatoya, 14 mil dari Managua. Pabrik gula terbesar di Nikaragua itu dibuka oleh Fidel Castro pada 11 Januari. "Massa tani lapar dan marah oleh pengisapan yang mereka derita." Wheelock melanjutkan, "Mereka tertekan hingga banyak terjadi pengambilalihan tanah yang tak adil. Tapi syukur, dengan adanya perubahan agraria, telah dibagi-bagikan dua juta manzana - sekitar 3,7 juta akre." Ia menambahkan, "Karena para petani memberi kepercayaan kami berhasil mencegah pengambilalihan yang liar atas tanah dan milik pribadi. Kami perlahan-lahan meralat tindakan yang keliru." Ketika kutanya mengapa para majikan dilarang membayar bonus karyawan atau memberikan gaji yang lebih tinggi dari yang ditentukan negara, ia menjawab, "Untuk menghindari anarki dan persaingan di antara para karyawan berbagai perusahaan, dan mencegah terciptanya unsur-unsur privilese dalam kelas pekerja." Hubungan pemilik tanah dan pengusaha dengan Sandinista, kendati saling curiga, tidaklah selalu negatif. Sekitar 75 pengusaha perkebunan padi mendirikan asosiasinya pada 1979 dan berafiliasi dengan Cosep. Mereka bangga bahwa tanah mereka seluas 22.500 akre menghasilkan 50 persen dari jumlah tanaman padi di Nikaragua. Yang dirisaukan petani adalah soal harga. "Kami tidak dapat menjual bebas. Hanya kepada pembeli yang dikirim oleh pemerintah. Tapi setidaknya padi kami bisa diproses dan dijual secara lebih efisien," kata Mario Hanon, presiden asosiasi. Para pemimpin asosiasi penanam padi berkata bahwa mereka telah meraih respek dari Sandinista. Itulah sebabnya mereka diperbolehkan mendirikan perusahaan riset yang dikhususkan pada masalah pemupukan, dan tanaman ekspor. "Tidak semua asosiasi dagang bisa bersatu seperti kami," kata Hanon. "Kami bagaikan sebuah tinju. Segera setelah terdengar desas-desus tentang penyitaan, kami sewa pengacara, kami banjiri rezim dengan surat, tuntutan, klaim, permohonan bertemu dan berunding. Kami gedor pintu Letkol Wheelock, dan kalau ia tidak mau membukanya kami naik dari jendela." Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Hanon dan rekan-rekannya di kantor asosiasi di pusat Kota Managua. Kukatakan kepada mereka bahwa melihat gambaran itu, masa depan perusahaan swasta tampaknya tidak begitu suram. "Kami memasang pita rekaman di kepala kami yang dapat memainkan lagu yang sama, lagi dan lagi," kata Hanon. "Tidak terjadi apa-apa di sini mari kita teruskan kerja ini. Celakanya, kadang-kadang pita suaranya pecah, dan kami ingat akan keadaan yang gawat, perang, rasa tidak aman." * * * Terdiri dari 10 atau 12 blok di bagian paling timur Managua, kios, kedai, tenda, berbanjar-banjar, mempermainkan warna, dan mengingatkan pengunjung pada bazar di Timur Tengah. Namanya pun mirip, Pasar Timur. Inilah surga pasar gelap Nikaragua. Rak-rak di pasar raya dan toko yang menjual barang dengan harga pemerintah biasanya setengah kosong. Dan orang-orang pun harus antre panjang untuk membeli barang ransuman. Tapi pergilah ke Pasar Timur dan semua bisa diperoleh, tanpa harus antre. Harga, tentu - biasa 'kan - jauh lebih tinggi. Ketika aku di Nikaragua, sikat gigi - harga resminya 27 cordoba (sekitar 1 dolar) - tidak di jual di mana pun, kecuali di Pasar Timur. Tapi harganya 7 dolar. Koperasi tukang jahit memang harusnya menjual celana jin 18 dolar, tapi barangnya langka. Di Pasar Timur bisa diperoleh, tapi harganya 180 dolar. Obat-obat yang tidak ada di apotek juga bisa didapat di sini. Apa yang hendak dilakukan pemerintah Sandinista adalah mempertahankan "upah riil" para karyawan. Ini dilakukan melalui kontrol harga dan subsidi, agar harga barang tercapai tingkat kemampuan penduduk termiskin. Pada Januari, gaji rata-rata per bulan seorang pegawai terentang antara 110 dolar dan 150 dolar. Tapi, ada yang bilang, kebijaksanaan ini telah menjadikan Nikaragua negeri kaum spekulator, penimbun, dan penyelundup - negeri paling menguntungkan untuk jenis bisnis yang menyalurkan barang legal ke pasar gelap. Kukatakan kepada seorang pejabat pemerintah bahwa satu-satunya kelompok yang paling diuntungkan sistem ini adalah orang kaya. Korbannya adalah kaum miskin. "Itulah jika kita menerapkan sosialisme setengah matang," katanya. "Jika kami boleh menasionalisasikan seluruh perekonomian, korupsi tidak akan bisa hidup." Beberapa hari setelah aku meninggalkan Nikaragua, aku membaca surat kabar bahwa rezim Sandinista malah memutuskan meniadakan subsidi untuk hasil pertanian dan membiarkan pasar bebas menentukan harga. * * * Setahuku, Nikaragua adalah salah satu F3i negeri yang paling Katolik. Ketika aku melewati Desa Esteli, kulihat iring-iringan petani dalam busana hari Minggunya, dan banyak di antaranya telanjang kaki. Mereka berjalan, beriringan menuju gereja di Sauce, sekitar 45 mil jauhnya. Tiap desa di Nikaragua memiliki orang sucinya sendiri, dan pesta keagamaan bisa berlangsung beberapa hari. Agama telah lama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan di Nikaragua. Banyak penganut Katolik yang berjuang bahu-membahu dengan Sandinista saat mendepak Somoza. Dan hampir semua pemimpin Front Pembebasan Nasional Sandinista (FSLN) - bahkan yang paling Marxis, seperti Tomas Borge Martinez, menteri dalam negeri, atau Carlos Fonseca Amador, pendiri Front - berpendidikan Katolik. Hirarki Katolik sebelumnya memang berulang kali berkonfrontasi dengan Somoza. Karena itu, setelah kejatuhan Somoza, hirarki Katolik memberikan kepada Sandinista restu tertulis. Tapi itu berakhir seiring dengan radikalisasi rezim dan munculnya tokoh-tokoh "gereja rakyat" dalam pemerintahan. Merekalah yang menganjurkan suatu sintesa antara Marxisme dan kekristenan. Pendukung gerakan ini mencanangkan bahwa tugas pertama orang Kristen adalah melaksanakan revolusi, dan mereka mengidentikkan dosa dengan "struktur masyarakat kapitalis yang tidak adil". "Kami bukan gereja paralel, tapi sebuah gerakan perubahan yang mencoba hidup atas dasar solidaritas dengan kaum miskin," ujar Jose Arguello, editor Amanecer, yang diterbitkan oleh Pusat Dewan Gereja Antonio Valdiviso. "Bagi kami, masalahnya bukan apakah revolusi menuju ke Marxisme, tapi apakah ia menjurus kepada kelanggengan. Negeri Marxis lebih bagus ketimbang negeri kematian." Ernesto Cardenal Mertinez - pendeta, penyair, menteri kebudayaan, dan salah seorang penganjur paling ekstrem "gereja rakyat" - mencanangkan, "Kerajaan sejati Tuhan adalah masyarakat komunis dan Marxis, satu-satunya pilihan di dunia." Nikaragua secara konsekuen menjadi magnet bagi teolog liberal, teolog radikal, Katolik sosialis, pendeta Marxis-Leninis dari seluruh dunia. Para pemimpin "gereja rakyat" berusaha mengombinasikan politik dan agama. Pengikutnya datang dari kalangan militan intelektual kelas menengah. Banyak di antaranya sudah tukar agama. Tokoh "gereja rakyat" paling terkenal, Uriel Molina (gereja Francisca), kabarnya mengadakan misa solidaritas di gereja Santa Maria de los Angeles, Managua, tempat ia memberikan kebaktian selama ini. Di sana, ternyata, terdapat mural raksasa yang menggambarkan Kristus berpakaian petani Nikaragua. Ada imperialis Yankee yang jahat dan serdadu gendut menembaki orang-orang muda yang sedang membawa bendera Sandinista. Misa Solidaritas diiringi lagu-lagu revolusioner yang sengaja dikarang dengan amat bagus oleh Komponis Cerlos Mejia Codoy. * * * "Sebagian besar Katolik Nikaragua," kata uskup agung Nikaragua, Miguel Obando y Bravo, "taat kepada uskup dan paus." Ia benar. Aku menyaksikannya di Festival San Sebastian di Diriamba. Saat itu kerumunan orang mengelu-elukan uskup agung itu dengan tepuk tangan dan sorak, setelah mendengarkan ia berujar, "Kaum komunis bertanggung jawab terhadap perang ini, dan mereka menggiring anak-anak muda menjadi tentara dan mengangkat senjata." Dalam usianya yang 59 tahun, Obando adalah sosok yang penuh karisma. Jubah kardinalnya tidak bisa menyembunyikan postur Indian dan petaninya. Ia konservatif seperti Paus Yohanes Paulus II. "Rezim ini belum lagi totaliter, tapi setiap hari bisa dilihat tanda-tanda gerak ke arah sana," katanya. Kuceritakan apa yang dikatakan Tomas Borge kepadaku, "Kami khawatir bahwa CIA akan menjagal Monsignor Osbando, lalu mempersalahkan kami." Uskup Agung itu mengeluh. "Somoza berkata hal yang sama, 'Saya takut Sandinista membunuh Anda dan menyalahkan saya.' Dan ia berusaha melindungiku, yang tentu saja kutolak, juga hadiah Mercedes-Benz. Nah, katakan pada Commander Borge bahwa tak perlu mengirimiku pengawal, karena aku telah memilikinya: Bapa, Putra, Roh Kudus, dan diriku sendiri." Ia bercerita bahwa pada akhir 1983 terjadi peristiwa ganjil. Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, agak di pinggiran kota, "Tiga orang bersenjata berseragam tentara menghentikan mobilku. Hanya sopir dan aku di dalam mobil. Mereka memaksa masuk dan menyuruh sopir mengendarai mobil ke sebuah taman yang sepi. Di dalam kegelapan mereka menghajarku dan berkata bahwa aku akan dibunuh. Aku selalu membawa radio dua jalur dan aku mulai berteriak tentang apa yang sedang terjadi. Ini membikin mereka kaget, dan kabur. Memang mereka diperintahkan menakut-nakutiku." Serangan frontal Gereja terhadap Marxisme mungkin punya pengaruh lebih besar terhadap rezim daripada krisis ekonomi atau tekanan dari luar. Sandinista belakangan menyelenggarakan dialog dengan pihak keuskupan. Ketika aku di Nikaragua, berlangsung dua pertemuan pribadi. Pertama antara Obando dan Presiden Ortega, dan yang kedua antara Ortega dan pemimpin gereja lainnya, Pablo Antonio Vega. Hasilnya tidak diumumkan. * * * Desa petani Cuapa adalah di daerah Chontales Nikaragua bagian tengah. Suatu malam pada 1981, seorang bernama Bernardo masuk ke gereja dan melihat cahaya benderang yang menerangi seluruh ruangan. Cahaya itu lenyap begitu Bernardo menyalakan lampu listrik. Suatu pagi tiga tahun sebelumnya, ketika ia sedang mengail di sungai, Bernardo tiba-tiba merasa bahagia sekali. Pemandangan di sekitarnya mulai berubah: terjadi gerhana matahari, terdengar nyanyian burung dan gemerisik dedaunan, dan dilihatnya sambaran kilat. Sekelompok awan turun ke bumi. Di tengahnya berdiri seorang wanita cantik telanjang kaki. Kedua tangannya bersilang di dada, sebuah mantel bertatahkan permata membungkusinya, mahkota bintang menutupi kepalanya. Rambut wanita itu indah kemilau, mata berwarna madu, kulit warna tembaga. Ia merentangkan tangannya dan rasa hangat menyelubungi orang itu, dan bertanya, "Siapa nama Anda?" "Namaku Maria." "Dari mana Anda datang?" "Dari surga. Aku ibunda Tuhan." Kesaksian pertama ini terjadi pada 8 Mei. Masih berlangsung empat kali lagi, pada Juni, Juli, September, selalu pada tanggal delapan. Bernardo juga didatangi pada 8 Agustus, tetapi ia tidak dapat berkomunikasi karena sungai yang banjir membuat ia tidak bisa menyeberangi. Pada kesaksiannya yang terakhir, bukan wanita muda yang muncul tapi seorang gadis kecil berusia delapan tahun. Pada pertemuan pertama, Perawan Maria meminta warga Nikaragua agar berdoa bersama keluarganya. Ia mengimbau agar saling mencintai, saling bersetia, dan menciptakan perdamaian. Ia juga berkata, "Nikaragua terus menderita sejak gempa bumi. Jika kalian tidak berubah, Nikaragua akan terus menderita dan kalian bisa mempercepat pecahnya Perang Dunia III." Pada kesaksian kedua, Bernardo bertanya perihal Sandinista. Jawabannya: "Mereka ateis, komunis, dan karena itulah aku datang menolong orang Nikaragua. Mereka tidak memegang janjinya. Jika kalian tidak menghiraukan apa yang kukatakan, komunisme akan mewabah ke seluruh Amerika. Tapi kalian tidak boleh meninggalkan negeri, jangan lari dari permasalahan. Jika kalian mendengarkan apa yang kupinta, Nikaragua akan menjadi penerang dunia." Bernardo, pria ramah dalam usianya yang 40-an, berkisah dengan suara sedang. Kami duduk di kebun seminari, tempat iatinggal dalam seklusi. Ia mengaku masih belum bisa mengungkapkan seluruh apa yang dikatakan Bunda Maria kepadanya. Ia berkata bahwa ketika Pastor Vega, uskup di Juigalpa, mengizinkannya mengungkapkan keajaiban itu, dirinya didatangi tiga utusan pemerintah. Ia ditawari ladang pertanian yang subur berikut ternak, kalau Bernardo mau mengatakan bahwa Sang Perawan adalah seorang Sandinista. Ketika Bernardo menjawab bahwa ia hanya dapat menceritakan kebenaran, lalu mereka mengaju kan kompromi: Apa yang tidak boleh dikatakannya adalah bahwa Bunda Maria anti-Sandinista. Kemudian mulailah kampanye pengganyangan terhadap diri Bernardo. Ini dimulai di Barricada dan Nuevo Diario, oleh dua surat kabar resmi, dan lalu di televisi. Bernardo dikatakan gila, histeris, berkhayal. Pada suatu pagi buta, polisi mendobrak rumahnya dan mencoba menculiknya. Tapi orang saleh yang tidur berdekatan menyelamatkan Bernardo. Dua tahun silam, gereja membawanya ke seminari di Managua untuk melindunginya. Di sana ia mengurus kebun . * * * Surat kabar La Prensa adalah suara dan katalisator oposisi anti-Sandinista. Aku berkesempatan menghadiri rapat serikat sekerja bebasnya di Managua, yang membahas sensor pemerintah terhadap 60 persen dari naskah surat kabar - yang harus berada di tangan sensor sehari sebelumnya. Semua naskah harus diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri menjelang dinihari. Tiga atau empat jam kemudian, Direktur Media Letnan Nelba Cecilia mengembalikan semua naskah berikut petunjuk alinea mana dan foto mana dari naskah yang harus disingkirkan. Rata-rata, seperempat isi surat kabar terkena gunting sensor - ini pada 1984. Sejak sensor diberlakukan tiga tahun silam, surat kabar tersebut sempat tidak terbit 29 kali. Dalam pertemuan 9 Januari, malam ulang tahun terjadinya pembunuhan terhadap salah seorang editor La Prenza - Pedro Joaquin Chamorro (yang di laporkan dibunuh oleh pengikut Somoza) - semua yang hadir menyambut ramah kehadiran janda Almarhum, Violeta de Chamorro, yang sering mengunjungi kantor surat kabar itu. Sebuah pernyataan disepakati untuk dikeluarkan, yang menuntut agar Presiden Ortega mencabut sensor pers dan menghentikan gangguan terhadap "tempat kerja kami". Jaime Chomorro, saudara wartawan yang terbunuh itu, turut menyunting koran bersama Pablo Antonio Cuadra. Chomorro adalah pemimpin terkemuka Partai Konservatif, dan salah seorang anggota oposisi yang bersuara garang. Ia menjelaskan bahwa cara Sandinista mengenyahkan lawan politiknya beragam: intimidasi agen koran oleh turba - hasilnya 20 dari 150 perwakilan surat kabar itu telah tutup. Lalu, menuduh pengguraan mata uang asing untuk mengimpor bahan bakunya, berusaha mencegah penyebaran surat kabar di instansi pemerintah, menekan para langganan, donatir, dan pekerja agar memutuskan hubungan dengan surat kabar bersangkutan. Kendati demikian - walau surat kabar terpaksa terbit pada pukul 6 atau 7 sore untuk menyesuaikan diri dengan prosedur penyensoran - La Prenza berhasil menjual semua iatah oplah 70 ribu lembar yang diizinkan oleh pemerintah. Pada hari pembreidelan, uang bayaran koran tetap masuk - di kirimkan para pembaca sebagai pernyataan kesetiakawanan. Apakah rezim sadar bahwa sensor bisa menghancurkan citra mereka di mata dunia? "Ini adalah perang agresi," tuturTomas Borge. "Hentikan semua serangan dan sabotase CIA terhadap negeri kami, dan sensor akan berhenti dengan sendirinya. Kami sedang perang, dan setiap negeri yang berperang menggunakan sensor untuk keperluan keamanan." Ditambahkannya bahwa media pemerintah juga harus maju ke meja gunting Letnan Blandon. "Apa yang terjadi dengan Allende di Chili tidak boleh menimpa kami di sini," kata Daniel Ortega. "Sebelum kup, pemerintah dikacaukan media kontrolan CIA." Sejumlah tokoh Sandinista, termasuk Jaime Wheelock, tinggal di Chili dalam masa Allende. Commander Tomas Borge, menteri dalam negeri, adalah salah seorang dari sembilan anggota Dewan Nasional Front Sandinista. Ia satu-satunya dari lima pendiri Front pada 1961 yang masih selamat. Lahir di tengah keluarga miskin dari Matagalpa, ia teman sekolah Carlos Fonseca Amador, pendiri Front yang lain. Borge, 54, sudah mulai masuk komplotan anti-Somoza pada usia 14, dan menghabiskan 6,5 tahun dari usianya di dalam penjara, lima tahun sebagai gerilyawan di gunung, dan 19 tahun dalam persembunyian. Commander revolusi tertua itu (yang lain 30-an tahun) dikenal pintar bicara, realistis, dan sangat bersahabat. Tubuhnya pendek dengan rambut berombak, dada bidang, dengan sosok orang Timur. Semua ini menyebabkan ia memiliki daya tarik di depan para wartawan. Pada santap malam dengan koresponden asing di Managua, wartawan menggambarkannya "satu-satunya Komandan yang bicaranya tidak membosankah". Pada hari wawancara, kami berada di rumahnya yang sederhana yang di diaminya bersama istri dan beberapa anak yang sudah remaja. Ia berkata, suatu hal yang memalukan bahwa aku bisa menulis novel-novel yang bagus tapi buruk di dalam gagasan politik. Tetapi aku bertanya apakah benar ia seperti kata mereka: Revolusioner garis keras, orang Moskow dan piaraan Kuba, seorang Marxis dan komunis fanatik? "Mereka bilang begitu? Aku ini si lembut hati, lho. Mari kukatakan, kalau aku menjadi calon dalam pemilu November, kaum borjuis akan memberikan suara kepadaku. Mau tahu yang lain? Anak-anak para tahanan menyenangiku." Beberapa hari kemudian, ketika mengetahui aku akan menghadiri misa solidaritas Pastor Uriel Molina, Borge mengajak pergi bersama. Kami tiba lebih awal, dan melangkah di jalan yang rusak berat, melalui gubuk-gubuk kayu lapis dan kaleng bekas di Distrik Riguera. Tidak ada sambutan meluap-luap ketika orang-orang malang itu mengenali dia, tapi banyak di antaranya yang melambai-lambai, memanggilnya dengan nama depannya. Beberapa malah berani memeluknya, di depan pengawal berseragam yang menyandang senapan mesin. Ia memang politikus model klasik: Ia ciumi bayi-bayi, merangkul anak-anak, dan memberi potlot atau bolpoin yang ia kantungi kepada siapa saja yang berani meminta. Saat santap di Lobster's Inn, seusai misa, ia bertanya kepadaku mengapa aku tidak menjadi revolusioner seperti pengarang Amerika Latin lainnya. Misalnya, Gabriel Garcia Marquez atau Julio Cortazar. Aku mencoba menjelaskan. Tapi tampaknya ia tak benar-benar percaya akan keyakinanku bahwa tanpa kebebasan semua perubahan sosial akan menemui kebuntuan, lambat atau cepat. Ia berkata bahwa Fidel Castro, yang datang selama tiga hari pada hari ulang tahun Ortega, bercerita kepadanya perihal kecamanku pada Kuba. Castro kemudian ingin bertemu denganku begitu ia tahu bahwa aku di Nikaragua. Sayang, tak berhasil. Tentang ini, belakangan aku katakan kepadanya, "Polisi Anda tentunya yang terlalu kaku." Ia tertawa. Tentang tapol di Nikaragua, dalam jamuan makan di rumahnya - yang memberiku kesempatan bertemu dengan kaum seniman setempat - ia menyebut jumlah 6.000 orang. Sekitar 2.000 di antaranya bekas pengawal Somoza, dan sekitar 200 orang adalah Contra. Menurut kaum oposisi jumlahnya lebih tinggi. Enrique Sotelo Borgen, wakil Konservatif di Dewan Nasional, memperkirakan ada 10.000 tahanan politik di negerinya. Sandinista meraih 67% suara dalam pemilu paling akhir. Tetapi struktur organisasi dalam masyarakat Nikaragua menjadi penghalang untuk menentukan apakah jumlah itu sesungguhnya mencerminkan popularitas nyata rezim. Dua hari setelah kedatanganku, pagi-pagi aku pergi ke Nagarote, 20 mil di barat Managua. Sekitar satu minggu sebelumnya, begitu ceritanya, satu regu tentara datang ke desa itu pagi-pagi sekali. Begitu datang, mereka langsung saja menggebrak pintu demi pintu untuk mencari desertir dan anggota milisi yang kabur. Tetapi penduduk desa bereaksi ganas, bertarung dengan tinju dan batu, dan ada pula yang membunyikan lonceng gereja sebagai tanda peringatan bagi yang masih lelap. Tentara mundur, tetapi mereka kembali bersama para turba yang membawa tongkat. Sementara itu, penduduk desa telah membangun benteng-benteng yang diperlengkapi dengan batu-batu. Nagarote rusuh sepanjang hari sampai tengah malam, dan baru aman setelah cukup banyak penduduk terluka atau tertangkap. Belasan wanita mengerubungiku untuk membuka cerita. "Mereka bilang akan kembali malam ini untuk mengambil gadis-gadis. Mereka membawa anak-anak lelaki kami, yang dengan susah payah dibesarkan sedari bayi, hanya untuk mati bagai anjing," kata mereka. Tiga minggu kemudian, aku menyaksikan sekitar 50 wanita miskin mengelompok di depan kediaman Uskup Agung Obando. Mereka hendak mengadukan perlakuan sewenang-wenang di kawasan kumuh Kota Managua. Anak-anak mereka bukan saja diraup di rumah, tetapi juga di bioskop, bis, dan stadion. Di pantai Atlantik, saat aku menunu Derahu di dermaga Bluefields, kudengar dua petugas berceloteh tentang "anak-anak yang lari ke hutan untuk menghindar dari dinas militer". Mereka tampaknya lebih suka tinggal di hutan ketimbang melakukan wajib militer selama dua tahun melawan Contra. Sekitar 35.000 orang muda diduga telah atau sedang menjalani latihan wajib sukarelawan itu. Anakanak berusia 14-15 tahun yang tidak punya KTP langsung diangkut. Mereka menurut Sandinista, menerima latihan sekitar tiga bulan sebelum dikirim ke medan pertempuran. Tetapi, menurut orang tua anak-anak muda itu dan juga kaum oposisi, acap kali mereka hanya dilatih seminggu. Namun, amarah itu tidak mewakili seluruh penduduk Nikaragua. Juga tidak mengurangi dukungan mereka kepada Ortega - termasuk para wanita di Nagarote itu. Salah seorang di antaranya berkata, "Aku berdoa bahwa dengan bantuan Presiden Ortega, segala-galanya akan membaik." Sebagian besar penduduk, terutama yang miskin, masih tetap mendukung pemerintah. Soalnya, mereka telah menerima keuntungan kongkret dari revolusi. Yaitu di bidang kesehatan, pendidikan, dan pembagian tanah - walaupun kebijaksanaan yang lamban dan keadaan ekonomi yang morat-marit sering mengganggu perubahan itu. Semua orang Nikaragua memperoleh perawatan rumah sakit, misalnya, tapi tidak ada obat yang bisa diberikan. * * * Dalam berbagai percakapanku dengan para pemimpin Sandinista, mereka perlahan-lahan mengetahui seni berkompromi kaum borjuasi. Dari sembilan anggota Dewan, salah seorang yang paling paham adalah Daniel Ortega - sang pemimpin. Violetta Chamorro menyebutnya "terbaik di antara semua". Ia juga yang paling pendiam - keras, murung, dan mahal senyum. Aku menyertainya berkeliling front utara. Di sini ia mengunjungi para janda perang, yatim piatu, dan prajurit yang terluka anak-anak muda usia (15,16, atau 18 tahun), dengan muka, kaki, dan tangan rusak. Tapi, dengan wajah tetap dingin. Pada hari terakhir aku di Nikaragua, ia mengundangku untuk makan siang bersama istrinya, Rosario Murillo, di rumah merekayang nyaman (bekas rumah seorang bankir yang lari ke luar negeri) di lingkungan elite Managua. Rosario bertubuh rampingdan berpenampilan hangat. Ia penyair dan anggota Dewan Nasional. Anak mereka tujuh orang, beberapa di antaranya berasal dari perkawinan terdahulu. Semuanya tinggal bersama. Daniel Ortega, 39, tidak merokok dan tidak pula minum minuman keras. Setiap hari ia lari tiga mil dan bekerja 15 jam. Ia masuk komplotan anti-Somoza ketika berusia 13 tahun. Ia mendekam tujuh tahun penjara karena merampok bank untuk mencari biaya revolusi. Walaupun keenam komandan yang lain merasa sejenjang, Ortega-lah yang mampu tampil sebagai pemimpin. Mula-mula sebagai koordinator junta, dan kini sebagai presiden. Kukatakan padanya bahwa berada di negerinya merupakan suatu hal yang menegangkan urat saraf, sekaligus juga suatu previlese bagiku. Setiap hari aku berbicara dengan Sandinista dan oposisi, yang masing-masing memberikan versi yang bertentangan atas fakta yang sama. Kukatakan bahwa aku disengat oleh kebutatulian rezim dan para penentangnya. "Kami akan memahami satu sama lainnya secara bertahap nantinya," ujar Ortega berusaha meyakinkan aku. "Kami mulai membuka dialog dengan uskup-uskup. Dan sekarang Dewan mulai membicarakan konstitusi. Kami akan membuka dialog dengan partai-partai yang memboikot pemilu. Mungkin itu akan berjalan lamban, tapi ketegangan dalam negeri akan mengendur." Hal yang sukar baginya adalah berunding dengan AS. "Presiden Reagan masih ingin meneruskan gagasannya untuk menghancurkan kami. Tadinya ia tampak ingin berunding, tapi lalu mundur lagi .... Ia tak mau berunding. Ia ingin kami menyerah," kata Ortega. "Kami sudah bilang bahwa kami mau mengirim balik orang Kuba ke negerinya. Juga orang-orang Rusia serta penasihat asing lainnya. Kami ingin menghentikan gerakan bantuan militer, atau bantuan apa pun melalui Nikaragua ke El Salvador, dan kami siap menerima badan pemeriksa internasional. Sebagai imbalannya, kami hanya minta satu hal: mereka tidak menyerang kami, dan AS menghentikan mempersenjatai serta membiayai . . . para penjahat yang membunuhi rakyat kami, membakar panen kami, dan memaksa kami mengerahkan segala tenaga serta dana untuk peperangan - pada saat kami sangat memerlukannya untuk pembangunan negeri." Rosario Murillo mengajak kami ke meja makan. Dan aku tidak berkesempatan mengatakan kepada Ortega bahwa, menurut pendapatku, perundingan dengan pemerintahan Reagan menyangkut dua problem utama Sandinista: jaminan kepentingan AS dan oposisi penduduk sipil. Dua hal ini menjadi penting ketika pemerintah AS menyadari bahwa rezim Sandinista tidak dapat di tunggingkan oleh Contra, dan bahwa intervensi langsung akan membencanai demokrasi di Amerika Latin. Yang tampaknya belum siap mereka berikan adalah apa yang menjadi keinginan oposisi dalam negeri: demokrasi penuh dan bagi-bagi kekuasaan. Celakanya, mereka setia pada tradisi Amerika Latinnya. Mereka yakin, walau tak diakui, legitimasi kekuasaan terletak pada senjata. Dan sekali Anda meraih kuasa, tak ada alasan untuk berbagi. Itulah sebabnya mengapa begitu sukar bagi rezim untuk mencapai saling pengertian dengan kaum oposisi yang cenderung mencari dukungan pada yang bukan-bukan. Tapi kelanggengan revolusi Sandinista toh bergantung pada perundingan, kesepakatan - atau paling tidak pada penyesuaian diri dengan lawannya. Barangkali itu bukan pemecahan ideal bagi para penyokong "bentuk-bentuk" demokrasi. Namun, itu bermanfaat untuk setiap usaha meningkatkan keadilan sosial di dalam sebuah sistem yang amat kurang pluralis. Pada suatu malam di Nikaragua, Don Emilio, seorang konservatif dan pengamat politik, berkata kepadaku, "Budaya asli Amerika Latin kami begitu kuat. Ia melahap semua yang Anda suguhkan. Ia menyerap segalanya dan bahkan membubuhkan cap diri di atasnya." Aku membatin, itulah yang sejak dulu dilakukan orang-orang Nikaragua: mengambil alih simbol-simbol Prancis pada akhir abad ke-19, dan mengakhiri perombakan puisi dalam bahasa Spanyol. Apakah kebudayaan Amerika Latin juga akan menelan Marxisme dan mengalihkannya kepada sesuatu yang lain yang lebih baik? Entahlah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini