Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG dan kubah observatorium di Gunung Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur, sudah selesai dibangun. Namun teleskopnya yang berdiameter 3,8 meter belum terpasang. “Saat ini teleskop sudah di Surabaya,” ujar Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Robertus Heru, Senin, 16 Januari lalu. BRIN memang tengah merampungkan pembangunan Observatorium Nasional Timau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika semua proses lancar, teleskop bisa terpasang pada akhir Februari ini, sementara lensanya menyusul. Proses selanjutnya adalah pemasangan instalasi listrik dan jaringan Internet. Jalan menuju lokasi pun sudah diperbaiki sehingga memudahkan akses truk kontainer pembawa atap kubah dan crane seberat 70 ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung Timau, lokasi stasiun pengamatan antariksa baru itu, berada sekitar 1.352 meter di atas permukaan laut di dekat Desa Bitobe, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lokasinya di dalam hutan lindung dengan luas lahan mencapai 30 hektare. Dalam dokumen rencana utama, terlihat areanya akan diisi sebuah gedung kubah yang besar, empat rumah teleskop berukuran lebih kecil, dan teleskop radio berbentuk parabola berdiameter 20 meter.
Pembangunan observatorium yang dirintis pada 2017 ini melibatkan beberapa lembaga, seperti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Institut Teknologi Bandung, Universitas Nusa Cendana, Pemerintah Kabupaten Kupang, dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pembangunan terhambat masalah infrastruktur dan pandemi Covid-19 sehingga tak memenuhi target awal selesai pada 2021. “Targetnya kuartal pertama tahun ini sudah bisa beroperasi,” ucap Heru. Sebagai penunjang, dibangun pula fasilitas seperti command centre, wisma, gardu listrik, menara telekomunikasi, serta tempat olahraga dan kantin.
Mantan Direktur Observatorium Bosscha di Lembang, Bandung Barat, Mahasena Putra, sebelumnya mempelajari sekitar 30 lokasi dataran tinggi dari Sumatera hingga Papua. Hasil studinya menemukan cuaca sebagai faktor paling vital. Timau memiliki langit cerah 70 persen lebih dalam setahun. Lokasinya tak jauh dari ekuator. “Maka cakupan langitnya lebih lebar, lebih dari 90 persen langit bisa diamati,” tutur peneliti Pusat Sains Antariksa BRIN, Rhorom Priyatikanto.
Untuk mendatangkan teleskop, mereka mencari di Kyoto University, Jepang, yang saat itu sedang mengembangkan teleskop selebar hampir 4 meter dan memakai cermin majemuk. Teleskop ini dinilai cocok dipakai di Observatorium Nasional baik dari aspek harga maupun pembuatannya. Harga teleskop itu, ditambah kubah serta dua kamera sensitif, Rhorom menjelaskan, sekitar 2 miliar yen atau Rp 200-an miliar, di bawah harga rata-rata teleskop lain.
Instrumen utama Observatorium Nasional Timau, yaitu teleskop selebar 3,8 meter buatan Nishimura Co Ltd, didatangkan dari Jepang. Perusahaan itu juga yang membuat rancangan bangunan dan kubah untuk teleskopnya yang dikerjakan oleh PT Pandu Persada dari Bandung. Teleskop berteknologi baru ini, Rhorom menambahkan, adalah kembaran teropong di Okayama Observatory yang berafiliasi dengan Kyoto University. “Teleskop Seimei itu selesai dipasang pada 2017-2018,” tuturnya.
Instrumen pengamatan bintang itu bersistem pantulan majemuk menggunakan 18 cermin. Tidak seperti teropong yang umumnya berbentuk silinder atau tabung, wujud teleskop Seimei dirancang unik. Sebuah cermin primer berbentuk hiperbola dengan 18 bagian seperti kelopak bunga dikelilingi rangka yang disebut struktur laba-laba. Di bagian depan cermin besar itu dipasang cermin-cermin sekunder dan tersier berukuran lebih kecil. Teleskop itu ditempatkan di atas lingkaran pilar beton dan penguatnya yang berbentuk cincin. Posisi cermin ini harus diatur agar tepat mengarah tepat ke obyek pengamatan.
Proses pembangunan Observatorium Nasional Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur, sekitar 2021/Brin.go.id
Teleskop itu diharapkan segera terpasang pada Maret atau April nanti. Selain teleskop utama itu, ada dua teleskop berukuran 0,5 meter yang dibeli untuk mengamati matahari dan ditempatkan di kantor pusat operasional di Tilong, Kupang. BRIN kini tengah mematangkan rencana operasional observatorium tersebut.
BRIN juga memantau potensi pengamatan dan ekspansi riset cuaca antariksa di bintang lain, isu layak huni, serta kondisi ekstrem di tata surya, termasuk benda jatuh antariksa yang kini masih mengorbit dan jumlahnya meningkat drastis. Izin pengamatan bisa diminta tanpa harus datang langsung ke Timau. Para peneliti tinggal menunggu hasil pengamatan foto setelah memberikan informasi obyek langit dan waktu observasi kepada operator. BRIN akan menyiapkan operator pengamatan itu di Observatorium Nasional.
Selain penyiapan sumber daya manusia di Observatorium Nasional yang masih sedikit, Rhorom melanjutkan, perlu dilakukan uji coba fasilitas teleskop dalam satu-dua tahun. Harapannya, mulai ada publikasi ilmiah yang menarik komunitas ilmiah dan masyarakat umum. Jika pengoperasian lancar dan hasil pengamatan cukup menjanjikan, Observatorium Nasional bisa membuka pintu kepada siapa pun yang ingin memakai fasilitas di sana, termasuk jaringan astronom diaspora di Finlandia dan Jepang serta komunitas astronom global yang dikenai tarif sewa.
Potensi lain Observatorium Nasional adalah untuk edukasi dan wisata. Gagasan ini merujuk pada pengalaman di luar negeri, yakni orang datang ke observatorium untuk berkemah sembari mengamati dan mempelajari bintang-bintang (stargazing).
Koordinator Stasiun Observasi Nasional Kupang BRIN Abdul Rachman menjelaskan, proyek senilai Rp 400 miliar ini juga diharapkan bisa menjaga kondisi lingkungan agar langit tetap gelap dan senyap, sefrekuensi dengan teleskop radio. Caranya adalah dibuat zona bebas polusi cahaya dengan Taman Langit Gelap dalam radius 5-15 kilometer dari observatorium tersebut. Zona ini sekaligus dimanfaatkan untuk mengembangkan wisata astronomi. Sedangkan untuk mencegah interferensi frekuensi ke teleskop optik, akan dibuat zona senyap hingga radius 25 kilometer dan pengaturan menara telekomunikasi seluler di sekitar Observatorium.
Observatorium Timau
OBSERVATORIUM Nasional Timau mesti segera dioperasikan. Apalagi Observatorium Bosscha di Lembang kini makin terancam oleh cahaya lampu perkotaan yang cukup parah. “Dengan kondisi Observatorium Bosscha yang sudah mengalami polusi cahaya cukup parah dari Kota Bandung, tentu riset-riset astronominya tidak bisa lagi seoptimal dulu,” kata Thomas Djamaluddin, peneliti utama astronomi dan astrofisika di Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Pengamatan dan pemotretan galaksi serta obyek langit yang redup lewat teropong kini terganggu cahaya langit yang terang. Polusi cahaya itu muncul sejak 1980-an dan makin cepat bertambah banyak pada 1990-an. Polusi cahaya seperti dari lampu sorot papan reklame di kota besar sulit diatasi. “Sekarang dapat disebut sudah sangat parah karena dari Observatorium melihat ke arah Bandung itu sudah terang sekali,” tutur Thomas, Kamis, 26 Januari lalu. Karena itu, tim astronomi ITB pada awal 2000-an melakukan survei daerah yang mirip dengan lokasi Observatorium Bosscha.
Saat ia menjabat deputi sains di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), diusulkan pencarian tempat baru. Usul itu disetujui dan anggarannya disiapkan. Gagasan ini selaras dengan rencana pengembangan kawasan timur Indonesia. Pada 2014, saat ia mengepalai Lapan, usulan tersebut masuk rencana strategis 2014-2019 dan anggarannya disetujui pada 2016. “Seingat saya anggarannya Rp 100 miliar per tahun. Jadi waktu itu ditargetkan Rp 300 miliar selama tiga tahun, 2017-2019,” ucap Thomas. Wajahnya semringah karena kini harapannya segera terwujud. Sebuah observatorium nasional baru yang berlokasi di Timau bakal segera berdiri meski sempat terhambat masalah infrastruktur di lokasi dan pandemi. “Tahun ini targetnya Observatorium Nasional bisa diresmikan,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo