Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BONEKA manula berwajah bubur buku bekas terbaring di atas keranjang kayu. Simbah laki-laki bertopi anyaman bambu itu berdiri, berkacak pinggang, dan berusaha menegakkan tubuh bungkuknya. Kaki ringkih simbah bergerak pelan-pelan, turun dari ranjangnya. Berjalan perlahan, dia mengambil radio dan memutar lagu keroncong. Dia mengipasi tubuhnya yang kepanasan dengan selembar koran. Anjing kesayangan kakek itu menghampirinya, mereka lalu bermain bersama. Pertunjukan dengan tokoh Kunta pun dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warung mangut lele Yu Temu di Dusun Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi latar panggung pertunjukan. Warung berdinding gedek dan berhalaman luas lengkap dengan karung beras yang dicantolkan beserta tumpukan koran bekas menjadi panggung pertunjukan selama satu jam pada Jumat, 27 Januari lalu. Sementara itu, pertunjukan kedua berlangsung di Restoran Jiwajawi, tak jauh dari studio Papermoon Puppet Theatre.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan penonton duduk lesehan menikmati pentas bertajuk The Scavenger berteman desir angin sore dan keriut bambu yang sebagian daunnya memayungi warung. Sebagian warga sekitar ikut menonton. Suasana kampung terasa hangat. Ibu-ibu yang sedang berangkat ke tempat pengajian bertukar sapa dengan dalang. Penjual bakso melintas sembari melirik pentas.
The Scavenger berkisah tentang pemulung yang menemukan kehidupannya dari tumpukan sampah. Kunta, pemungut rongsokan itu, hidup bersama anjingnya yang setia bernama Kwawi. Maria Tri Sulistyani, salah satu Sutradara Artistik Papermoon Puppet Theatre, tidak sekadar meracik kisah sederhana yang mampu menyentuh batin, tapi juga membawa orang pada imajinasi yang lebih luas.
Melalui karakter sentral Kunta dan Kwawi, mereka membawa pesan yang mengharukan. Tiga dalang itu piawai memainkan dua karakter kuat tersebut sebagai inti dari cerita pentas. Mereka memainkan dua boneka itu secara intens dan fokus. Dua boneka itu seakan-akan punya nyawa.
Beberapa kali dalang mengusap peluh dengan handuknya, menunjukkan mereka bertenaga menggerakkan boneka-boneka itu. Di pengujung cerita, Kwawi berlarian ke sana-kemari, menghampiri penonton. Kunta memanggil-manggil. Tapi Kwawi tetap berlarian hingga membuat Kunta mengejarnya.
Kunta kembali ke tempat peristirahatannya, berteman radio tua. Kwawi berjalan menghampiri Kunta dan bersuara seperti memelas. Ia mengelus-elus tubuh Kunta yang mengelilinginya, menundukkan kepala hingga tertidur pulas. Kisah persahabatan pemulung dan anjing setianya yang menyentuh.
Papermoon pernah menampilkan lakon ini di kampung nelayan tertua di Pulau Natuna, Provinsi Riau, pada 2019. Medium yang mereka gunakan sama, yakni boneka berdasarkan cerita yang diangkat. Sebagian penonton pertunjukan itu anak-anak. Di Natuna, semula pentas mereka berlangsung di gedung pemerintahan yang sebagian besar penontonnya pejabat daerah setempat.
Setelah berpentas di gedung itu, mereka lalu keluar pakem dari rencana awal. Maria Tri Sulistyani, yang juga pendiri kelompok teater boneka ini, berjalan-jalan di sekeliling kampung dan tepian laut dengan perahu-perahu kayu yang melintas. Saat berjalan-jalan itulah dia mendapatkan inspirasi untuk menggelar pentas. Dia menyandarkan boneka berkarakter Kunta di tumpukan kayu. Foto Kunta duduk di kayu-kayu itulah yang digunakan untuk poster pertunjukan The Scavenger di Yogyakarta.
Saat itu Maria bertemu dengan anak-anak dan mampir ke rumah mereka. Secara dadakan, Papermoon menggelar pertunjukan berlatar rumah-rumah penduduk dengan memanfaatkan barang bekas di sekitarnya. Pentas teater, bagi dia, tidak harus di gedung-gedung teater yang kaku.
Di Yogyakarta, panitia Papermoon Puppet Theatre merahasiakan lokasi sejak mengumumkan pertunjukan itu. “Memakai konsep kejutan di tempat tersembunyi,” kata Maria. Tiket yang dijual berupa pot dari tanah liat seharga Rp 100 ribu per orang ludes hingga mereka menambah sehari pertunjukan. Setiap orang yang hendak menonton datang ke studio Papermoon, yang dikelilingi rimbun pepohonan. Mereka satu per satu memilih pot mini yang diletakkan di meja.
Pertunjukan Papermoon Puppet Theatre berjudul The Scavenger di Dusun Sembungan, Bangunjiwo, Bantul, Yogyakarta, 27 Januari 2023/Tempo/Shinta Maharani
Penonton harus berjalan dari studio Papermoon yang berjarak sekitar 2 kilometer menuju panggung. Pentas hari kedua berlangsung di Restoran Jiwajawi yang berada di tengah hutan jati. Eksterior tempat kuliner ini mirip bangunan kuno di Tuscany, Italia. Tumpukan batu kapur mendominasi restoran dan bar yang menghadap rerumputan dan hutan. Penonton melihat pertunjukan sembari duduk-duduk serta menikmati udara segar dan rimbun pepohonan.
Pemilihan lokasi-lokasi tersembunyi itu, menurut Maria, berangkat dari eksplorasi ruang dan lingkungan paling dekat dengan studio Papermoon. Properti panggung menggunakan koran-koran bekas, kertas, dan sampah di jalanan yang diambil oleh dalang dari rumah penduduk di sepanjang perjalanan ke lokasi. Dia juga memungut sepatu bekas yang tersangkut di pepohonan dan memasukkannya ke karung beras yang ia gendong di punggung. Para pemain memandu semua penonton menuju lokasi.
Menurut Maria, saat menuju panggung, dalang sekaligus sedang berakting. Papermoon bereksperimen melalui kertas-kertas berserakan menjadi hidup. Seorang dalang, misalnya, memungut koran dan menciptakan boneka yang dia gerakkan. Boneka itu sekilas mirip bentuk burung. “Teknik memainkan boneka yang sederhana. Kertas dan koran bekas bisa jadi sesuatu yang membawa imajinasi,” ujarnya.
Peranti panggung, kata Maria, tak harus kompleks atau canggih. Dia lebih menekankan pada bagaimana peranti tersebut membawa emosi dan mendekatkan cerita dengan penonton. Melalui cerita dari setiap pertunjukan, ia menciptakan keintiman dengan penontonnya. Tiga dalang yang menghidupkan karakter boneka-boneka itu piawai membangun interaksi dengan penonton. Mereka menghampiri dan menggerakkan boneka dari koran bekas menjadi sesosok manusia dan menaruhnya di atas kepala, berpindah-pindah dari satu penonton ke penonton lain.
Di tengah pertunjukan, ketiga dalang mengenakan topeng. Dua penonton dipilih secara acak untuk maju ke panggung dan mengenakan topeng. Keduanya seperti kesurupan setelah mengenakan topeng itu. Salah satunya Astri Linda. Semula dia berdiri gontai seperti orang mabuk. Rupanya, dia kesulitan berjalan karena penglihatannya terhalang oleh topeng dengan bola mata yang kecil itu. Dia berjoget bersama topeng itu, lalu duduk dengan dua tangan yang direntangkan. Tiga dalang berada di sampingnya, mengernyitkan dahi. Astri bertingkah seperti seorang bos yang dikelilingi pelayan. Astri tak kesulitan memerankan topeng itu. Gerakannya terlihat lentur. “Saya sering latihan teater. Improvisasi saja karena mendadak diminta maju,” tuturnya.
Lain halnya dengan penonton lain yang juga ditunjuk secara acak. Dia berdiri kaku dalam posisi siap mirip orang yang sedang berbaris. Tiga dalang lalu mengikuti gerakan penonton itu dengan posisi badan tegap dan menghormat seperti orang yang sedang mengikuti upacara bendera. Menurut Maria, topeng itu dimainkan sebagai bagian dari interaksi dengan penonton. Kehadiran benda itu membawa permainan imajinasi penonton melalui gerakan di panggung. Mereka bebas menjadi apa saja untuk menghidupkan karakter masing-masing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo