TUJUH belas gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (TPNZ) dengan wajah yang ditutup kain, awal Maret lalu, dengan santai meninggalkan San Cristobal de las Casas, sebuah kota di Negara Bagian Chiapas, Meksiko. Didampingi petugas Palang Merah Internasional dan Uskup Samuel Ruiz, delegasi TPNZ itu kembali ke markasnya di kawasan hutan pegunungan yang tak dikenal. Di saku mereka tersimpan paket usulan reformasi politik dan ekonomi yang terdiri dari 32 pasal. Itu adalah hasil perundingan maraton mereka selama sepuluh hari dengan komisi perdamaian pemerintah Meksiko, yang dipimpin bekas menteri luar negeri, Manuel Camacho. Dan jika para pengikut TPNZ yang bersembunyi di hutan dan pegunungan terpencil menyetujui usulan itu, TPNZ dan pemerintah akan menandatangani sebuah perjanjian perdamaian. Artinya, tak bakal ada lagi serangan-serangan sporadis dari TPNZ ke sasaran- sasaran yang menjadi lambang kekuasaan pemerintah. Tentu saja tetap tak ada jaminan bahwa perdamaian akan segera tercapai. Paket usulan memang mencakup peningkatan taraf hidup di Chiapas, demokratisasi, dan perhatian lebih besar pada masyarakat Indian Maya -- penduduk asli di Chiapas -- yang merupakan tuntutan TPNZ. Namun, luka yang dialami para pengikut maupun pendukung TPNZ agaknya sudah cukup dalam. Yang mereka butuhkan tak lagi sekadar kebijakan-kebijakan politik, tapi langkah perbaikan ekonomi yang kongkret. Dan jika hasil perundingan awal Maret itu tak diterima, juga tak ada jaminan TPNZ siap kembali melanjutkan perundingan lain. Ketika melepas serangan persis pada tanggal 1 Januari 1994, yang bersamaan dengan berlakunya perjanjian kawasan perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA), jelas sudah bahwa pengikut TPNZ siap berjuang sampai mati. "Perang yang kami nyatakan ini merupakan langkah terakhir tetapi yang bisa dibenarkan," seperti ditulis sebuah pernyataan ketika mereka menguasai beberapa kota awal Januari lalu. Waktu itu orang-orang belum usai merayakan tahun baru, ketika penduduk San Cristobal de las Casas dikejutkan dengan munculnya sekitar 300 pasukan petani ke dalam kota. Pasukan yang memakai penutup muka bandana itu -- yang merupakan lambang dari perjuangan Amerika Latin -- memang tidak mengganggu masyarakat umum. Dengan berbekal senjata mesin -- beberapa di antaranya bahkan hanya mengandalkan senjata kayu yang ujungnya diberi pisau -- mereka menyerbu balai kota San Cristobal. Di balai kota, tentara petani yang menyatakan diri sebagai kelompok Zapatista -- diambil dari nama Emiliano Zapata, pemimpin revolusi Meksiko tahun 1910-1917 -- menghancurkan komputer dan peralatan kantor lainnya, dan meledakkan lantai satu balai kota. "Hari ini kami menyatakan cukup," tulis sebuah pernyataan TPNZ yang sengaja disebarluaskan. Mereka memang menyatakan perang dengan pemerintahan Presiden Carlos Salinas de Gortari yang dinilai korup dan bersikap diktator. Di luar Kota San Cristobal, seorang pemimpin TPNZ, dengan kain biru penutup wajah dan menggenggam senjata AK-47, berharap aksi yang mereka picu akan menyebar ke seluruh wilayah Meksiko. "Kami tahu perang ini akan menyebar ke luar Chiapas karena banyak orang lain yang mengalami penekanan ekonomi seperti yang kami rasakan," kata orang yang mengaku bernama Kapten Arturo. "Kami tidak akan melakukan kesalahan seperti yang terjadi di El Salvador, sewaktu gerilyawan menyerahkan senjatanya," ujarnya dengan tegas. Dan sebagai buktinya, beberapa jam kemudian mereka menyerbu tiga kota lainnya, Ocosingo, Altamirano, dan Las Margaritas. Ratusan gerilyawan menguasai kantor-kantor pemerintah sampai membuat polisi lokal harus menyelamatkan diri. Hari itu, kekuatan sekitar 2.000 tentara petani berhasil menguasai enam kota di Negara Bagian Chiapas, di selatan Meksiko. Mereka juga menyandera belasan polisi, beberapa tuan tanah, serta bekas Gubernur Chiapas, Absalon Castellanios Dominguez. Para sandera dibawa menghilang ke daerah kekuasaan mereka, kawasan hutan pegunungan yang selama ini tak disentuh pemerintah. Kaget, dan lebih-lebih merasa dipermalukan dengan serangan yang berlangsung tepat pada saat berlakunya NAFTA -- pemerintahan Salinas sempat menganggap diterimanya NAFTA tanpa diwarnai demonstrasi di Meksiko sebagai suatu prestasi -- pasukan pemerintah segera diturunkan ke Chiapas. Tawaran dari pemerintah agar TPNZ menyerahkan diri jelas ditolak mentah- mentah oleh para gerilyawan. Dan agaknya, karena ingin membuktikan pada dunia internasional bahwa gerakan Zapatista tak perlu diperhitungkan sebagai masalah besar, Menteri Dalam Negeri Patrocinio Gonzalez Garrido mengerahkan sekitar 12.000 tentara Meksiko. Maka, hanya dalam waktu empat hari para gerilyawan TPNZ dipukul mundur ke pegunungan. Dua ribu gerilyawan -- sebagian besar masih mengandalkan senapan kayu -- yang terkurung di daerah perkotaan tentu jadi mainan bagi 12.000 tentara terlatih yang didukung oleh armada helikopter maupun peluncur roket. Konon, banyak gerilyawan yang lari terbirit-birit kebingungan tanpa arah, sebelum akhirnya dihajar oleh peluru tentara Meksiko. Bahkan, menurut catatan wartawan The Economist, beberapa gerilyawan yang sudah menyerah ditembak mati oleh tentara Meksiko. Diperkirakan, lebih dari seratus nyawa jadi korban. Pertarungan keras sempat terjadi di Ocosingo, kota yang mulanya ingin dipertahankan gerilyawan. Tapi jelas gelombang tentara pemerintah tak dapat dibendung dan 30 gerilyawan mati tertembak. Di pusat pasar, para wartawan menemukan enam mayat gerilyawan. Semua tangan gerilyawan terikat dan semuanya mati karena tembakan di kepala, yang menunjukkan bahwa keenam gerilyawan mati karena dieksekusi. Para saksi mata melihat aksi tentara yang menyerbu pasar membuat penduduk sipil lain ikut jadi korban, salah satunya seorang bayi. Pasukan pemerintah juga tak segan-segan menyerbu sebuah bus yang disandera delapan orang gerilyawan hingga jatuh 14 korban jiwa, termasuk enam orang penumpang bus. Aksi pukul mundur pemerintah Meksiko sepertinya ingin membatasi perlawanan gerilyawan sebagai tindakan kekerasan, bukan gerakan politik. Dan pada awal pemberontakan, Presiden Salinas sama sekali menentang gagasan untuk berunding dengan TPNZ dan menganggap kerusuhan yang melanda enam kota di daerah selatan Meksiko itu sebagai tindakan kriminal semata. "Ini bukan pemberontakan dari masyarakat asli. Ini tindakan dari sebuah kelompok kekerasan," katanya dalam sebuah siaran televisi setelah kerusuhan mereda. Sementara itu, Uskup Samuel Ruiz sempat dituduh sebagai dalang dari aksi TPNZ. Uskup senior yang kabarnya merupakan penganut aliran teologi pembebasan ini memang bersimpati pada gerakan TPNZ. Ia juga sering mengkritik pemerintah yang dinilai mengabaikan hak asasi penduduk Indian Maya. Jadi, ketika Ruiz mengharapkan agar pemerintah menempuh langkah perundingan, ia justru seperti mengesahkan tuduhan pemerintah. Tapi rupanya bola bergulir terus. Gebrakan sapu bersih belasan ribu tentara Meksiko ternyata malah membuat rakyat, yang merasa ikut terteror oleh darah, desingan peluru, maupun ledakan roket, mulai bersimpati pada TPNZ. Apalagi tembakan roket dari pasukan pemerintah juga membawa kerugian pada penduduk sipil yang tidak tahu apa-apa. Di sebuah kampung di pegunungan, misalnya, seperti yang dilaporkan wartawan Newsweek, seorang ibu Indian Maya lari bersembunyi ke dalam gubuk ketika sebuah helikopter tempur dengan dua propeler terbang di atas gubuknya. "Semoga mereka tahu bahwa aku bukan gerilyawan," cerita Irma Sanchez, yang waktu itu sedang menyusui bayinya. Ternyata, helikopter mendekatinya dan segerombolan wanita di sekitar gubuk Irma tiba-tiba melepaskan tembakan roket. Tak ada yang luka. Hal yang sama terjadi ketika beberapa pria sedang berlari di jalanan di luar kampung untuk mencari anggota keluarga mereka yang hilang. Supaya aman, para pria itu sengaja melambai- lambaikan bendera putih dan yakin helikopter bakal tahu bahwa mereka bukan gerilyawan. Tetapi pilot, yang mungkin secara refleks tak bisa mengabaikan setiap gerakan manusia, memaksa mereka berlindung di balik batu maupun di balik kendaraan wartawan. Para tokoh hak asasi manusia ikut marah melihat tentara yang membabi buta. Ini membuat aksi militer yang ditempuh jadi makin tidak populer dan masyarakat berbalik mendukung perjuangan TPNZ. Di Kota Meksiko, pertengahan Januari, sekitar 15.000 orang melakukan reli menentang aksi militer yang berlebihan dan bahkan beberapa di antaranya secara terbuka menyatakan dukungan terhadap TPNZ. Sementara itu, 400 pekerja pabrik gula di Negara Bagian Michoacan mengumumkan keinginan mereka untuk bergabung dengan TPNZ. Di Negara Bagian Puebla, 300 aktivis politik menarik dukungan mereka terhadap Partai Revolusi Demokratis -- partai oposisi sayap kiri terbesar di Meksiko -- dan membentuk Gerakan Zapatista dari Selatan. Tujuan gerakan itu, seperti tertulis di pernyataan mereka, adalah "memberantas kemiskinan untuk memperoleh pekerjaan, rumah, makanan, kesehatan, pendidikan, kemerdekaan, demokrasi, keadilan, dan perdamaian." Segera aksi yang tadinya sempat dianggap sebatas kriminalitas berkembang jadi gerakan massa untuk melawan kemiskinan. Gemanya, seperti yang diharapkan TPNZ, melanda seluruh negeri. Di Negara Bagian Oaxaca, 4.000 orang Indian menguasai 13 bangunan pemerintah lewat suatu aksi yang memang sengaja dikoordinasi. Mereka menuntut pemilikan tanah yang lebih luas, lebih banyak pembangunan sarana umum, dan penundaan pembayaran utang. Tema perjuangan juga marak di Kota San Mateo Atenco, Negara Bagian Meksiko. Para demonstran menyerbu kantor daerah dan meledakkan sebuah mobil yang parkir dengan menggunakan bom molotov. Kali ini tuntutan mereka tak hanya sekadar pemberantasan kemiskinan, tapi juga menentang dominasi Partai Revolusi Institusional (PRI) -- partainya Salinas yang sudah berkuasa sejak tahun 1912 -- yang mengangkat wali kota tanpa mau mendengar aspirasi dari bawah. Di Teopisca, sebuah kota yang tenang di Chiapas, para petani berkumpul di balai kota menuntut pengunduran diri wali kota yang mereka tuduh korupsi. Ketika pemerintah daerah tidak menanggapi tuntutan mereka, seperti yang ditulis majalah Time, para petani menyandera para pejabat pemerintah daerah itu dan mengancam baru akan melepaskan sandera sampai wali kota diganti. Dan di balai kota itu juga, para petani segera memilih anggota dewan kota yang baru. Demonstrasi segera jadi kegiatan sehari-hari di Meksiko, dan hampir semua demonstran tak pernah lupa menyebut Zapatista. "Kami bukan pengikut Zapatista, tetapi kemiskinan sama saja," kata Juan Garcia, salah seorang yang ikut menguasai balai kota Teopisca. "Tanah harus untuk petani, bukan untuk cacique," tambahnya. Cacique adalah sebutan untuk orang-orang kaya Meksiko tamak yang tak bosan-bosannya mengambil alih tanah petani. TPNZ sendiri tidak tinggal diam. Beberapa bom meledak di Ibu Kota Meksiko -- antara lain di pangkalan militer dan di sebuah pusat perbelanjaan -- yang diduga merupakan aksi balasan terhadap sikap keras pemerintah. Pemerintah juga menerima ratusan ancaman peledakan bom di bangunan umum, kantor perusahan swasta, maupun di sarana-sarana umum. Maskapai penerbangan Mexicana Airlines dalam satu hari pernah menerima 19 ancaman pengeboman. Tampaknya, TPNZ memang tak mau menyerah sebelum perjuangan mereka tercapai. Dan akhirnya mereka memang berhasil membuktikan keberadaan mereka sebagai kelompok penekan dengan cita-cita reformasi politik dan ekonomi, yang mendapat dukungan penuh masyarakat. Pemerintah Meksiko, yang mulanya hanya mengandalkan pendekatan militer, secara perlahan-lahan mulai mengakui keberadaan TNPZ dan melunakkan sikap kerasnya. Menteri Dalam Negeri Patrocinio Gonzalez Garrido, yang dianggap bertanggung jawab atas pengerahan 12.000 tentara, dicabut dari posnya. Garrido sebelumnya adalah gubernur Chiapas yang dipromosikan menjadi menteri dalam negeri. Sebulan sebelum kerusuhan marak, Garrido meyakinkan Salinas bahwa di Chiapas tidak ada gerilyawan. Orang-orang Indian Maya menganggap Garrido sebagai orang garis keras yang selama pemerintahannya di Chiapas membiarkan hak asasi manusia diinjak-injak. Untuk meredakan kebencian masyarakat terhadap pemerintahannya, Salinas menunjuk Jaksa Agung Jorge Carpizo, yang terkenal sebagai pemerhati hak asasi manusia, menjadi menteri dalam negeri. Salinas rupanya khawatir jika gelombang kebencian terhadap pemerintah akan mempengaruhi dukungan terhadap partai PRI dalam pemilihan umum Agustus mendatang. Maka ia juga segera membentuk komisi perdamaian pemerintah dan meminta Manuel Camacho Polis melepas kursi menteri luar negeri agar bisa memimpin komisi. Dan untuk melengkapi niat baik pemerintah, Uskup Samuel Ruiz diminta bantuannya sebagai penghubung dengan TPNZ. Puncaknya adalah tercapainya sebuah paket usulan reformasi politik dan ekonomi. Kini pemerintah tinggal menunggu keputusan para pemimpin TPNZ, yang diduga mempunyai kekuatan persenjataan yang lebih besar dari anggapan pemerintah. Laporan pihak militer Meksiko di Chiapas menyebutkan bahwa TPNZ juga memiliki persediaan bahan peledak, granat, maupun peluncur roket ringan. Namun sampai saat ini belum diketahui dari mana sumber persenjataan itu. Bahkan TPNZ sebagai organisasi masih remang-remang asal- usulnya. Ada dugaan, seperti yang ditulis The Economist, TPNZ terbentuk dari puing-puing organisasi gerilya yang gagal berkembang di kawasan Meksiko tengah dan utara. Para pemimpin TPNZ kemungkinan berasal dari Grupo Torreon, sebuah gerakan yang mengambil nama dari konferensi pendeta Katolik dan aktivis sosialis di Kota Torreon pada tahun 1974. Pada akhir tahun 1970-an, orang-orang Grupo Torreon mulai masuk ke gereja-gereja di Chiapas dan mengindoktrinasi para petani Indian yang miskin. Sepertinya -- setelah aksi-aksi revolusioner yang gagal di Meksiko tengah dan utara -- para tokoh gerilyawan sengaja memilih Chiapas, negara bagian berpenduduk 3,2 juta jiwa, yang tergolong kawasan paling miskin di Meksiko. Sebagian besar penduduk Chiapas adalah petani keturunan Indian, dan sekitar 250.000 orang merupakan orang Indian Maya asli yang hanya menguasai sejengkal tanah. Hampir semua orang Indian Maya buta huruf dan merupakan kelompok yang paling miskin. Empat dari lima rumah orang Indian Maya berlantai tanah, tanpa dilengkapi sarana air bersih. Yang lebih menyedihkan, para tuan tanah Meksiko di Chiapas, yang jumlahnya hanya 4% dari total penduduk Chiapas, tak puas- puasnya menjarah tanah yang sudah turun-temurun digarap oleh penduduk setempat. Para petani di sebuah pedesaan di luar Kota Alatamirano, Eugenio Santiz, misalnya, tak bisa berbuat apa-apa ketika seorang cacique dari San Cristobal menguasai satu hektare tanah mereka. Dan tak ada kompensasi dari pengambilalihan yang didukung pejabat pemerintah itu, sementara petani yang melawan ditangkapi. "Kami bosan dengan orang-orang yang selalu menipu kami," kata seorang petani, Eugenio Santiz. Ke dalam masyarakat minoritas yang tersingkir dan yang selalu dijadikan bulan-bulanan para tuan tanah dan penguasa itulah, para tokoh Grupo Torreon menyusup. Mereka jelas tak menghadapi banyak kesulitan untuk menggalang dukungan. Ada juga yang menduga kelompok TPNZ berawal dari demonstrasi anti pemerintah yang dikobarkan para pelajar di Kota Meksiko pada tahun 1968. Waktu itu jatuh ratusan korban karena pemerintah menanggapi demonstrasi itu dengan tindakan keras. Demonstrasi dapat dibasmi, sedangkan gerakan anti pemerintah tetap bergerak di bawah tanah. Tahun 1983, kabarnya, beberapa orang pelajar masuk ke hutan-hutan untuk latihan militer. Konon, merekalah yang kemudian keluar-masuk kampung di Chiapas untuk merekrut pendukung. Namun, sebenarnya cikal bakal perlawanan Chiapas sudah berkembang sejak puluhan tahun lalu. Para pengamat kembali mengingat peristiwa 25 tahun lalu, ketika pemerintah Meksiko mengumpulkan semua orang Indian Maya untuk tinggal di kawasan hutan hujan yang belum digarap pemerintah. Sayangnya, setelah dikumpulkan, pemerintah tak segera mengambil langkah pembinaan dan kelompok Indian Maya dibiarkan telantar. Hanya gereja yang mau menemani kelompok Indian Maya menghadapi keganasan alam itu. Konon, waktu itulah bibit-bibit perlawanan terhadap pemerintah mulai terdengar, yang digarap lebih jauh oleh Grupo Torreon. Itu sebabnya banyak penduduk Chiapas yang sudah pernah mendengar gerakan Zapatista sejak kecil. Seorang petani, Paco Lopez, berusia 24 tahun, misalnya, sudah pernah mendengar Zapatista waktu masih kecil, walau tak punya gagasan untuk bergabung. Namun, sehari setelah penyerbuan ke kota, ibunya meninggal diserang penyakit diabetes karena mereka tidak punya uang untuk pengobatan. Menjual tanah mereka seluas 20 are, yang merupakan satu-satunya harta untuk mencari nafkah, jelas tak mungkin. Lopez hanya bisa marah tanpa bisa berbuat apa-apa. Kini, bermodal senapan berburu kaliber 22-nya, ia siap bergabung dengan TPNZ. "Aku ingin berjuang," katanya. Tidak seperti Lopez, yang baru saja bergabung dengan TPNZ, Kapten Viktor, 19 tahun, sudah bergabung dengan TPNZ sejak lima tahun lalu. Sejak kecil, ia sudah menjadi saksi dari kemiskinan dan kematian di sekelilingnya. Sebagai anak laki-laki yang sudah harus ikut bekerja di kebun kopi keluarga, ia masih ingat, setiap harga kopi jatuh, maka pendapatan mereka juga merosot tajam. "Kami hidup gila-gilaan," ujarnya mengenang. Maka, ketika orang-orang Zapatista mengajaknya bergabung, sepertinya tak ada alasan untuk menolak. Ia ikuti latihan militer di hutan-hutan, belajar membaca dan menulis, maupun latihan membidikkan senapan AR-15. Kini ia tak mau melepas senapannya itu lagi. "Inilah satu-satunya jalan yang terbuka bagi kami. Lewat pemilihan, kami tak pernah menang. Aku siap mati untuk membela orang-orangku," katanya garang. Lain lagi pengalaman Elvira, yang kini berusia 15 tahun dan sudah menjadi pengikut TPNZ sejak dua tahun lalu. Elvira masih ingat ketika ada orang datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa penghasilan keluarga yang cuma serambut dan gubuknya yang compang-camping membuat ia sebenarnya tak punya alasan apa pun untuk tinggal di rumah. Ia setuju dan orang tuanya merestui kepergiannya ke hutan. Di sana ia hanya makan tortilla (sejenis roti) dan garam, tapi yakin hidup sebagai orang Zapatista masih lebih baik. Sebagian besar gerilyawan TPNZ adalah kelompok muda berusia 14 sampai 20 tahun, yang merasa tak punya harapan untuk bisa bertahan hidup secara normal. Umumya gerilyawan TNPZ tak pernah bersekolah dan belajar membaca maupun menulis di hutan-hutan. Pakaian mereka dijahit sendiri dan ada tanda bintang dari plastik yang menunjukkan pangkat. Mereka tak keberatan menerima kedatangan wartawan di markasnya di hutan pegunungan, namun tak pernah melepaskan bandana yang menutup semua wajah dan hanya menyisakan matanya. Tak ada komunikasi lisan di antara mereka selain anggukan, gelengan, maupun gerakan-gerakan senjata. Sepertinya, kemiskinan dan kemarahan terhadap penguasa saja yang menjadi ikatan dari para gerilyawan muda itu. Gagasan sosialisme, Marxisme, atau teologi pembebasan sama sekali tak masuk di kepala mereka. "Kami bukan sosialis dan sekarang kami tidak tahu mau jadi apa nanti," kata seorang gerilyawan, Kapten Cristobal. Para gerilyawan dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan wartawan tanpa harus berkonsultasi dengan pemimpinnya, yang selalu bisa dikontak lewat radio. Tak jelas siapa sebenarnya yang kini mejadi pemimpin TPNZ. Hanya saja, orang-orang mengenal yang disebut Komando Marcos sebagai pengatur strategi gerakan TPNZ. Pemerintah Meksiko sempat menduga Komando Marcos yang disebut-sebut itu berusia sekitar 25 tahun dan orang berambut pirang, mata hijau, dan menguasai empat bahasa. Dengan menyebarluaskan gambaran seperti itu, pemerintah tampaknya ingin menggiring masyarakat bahwa Komando Marcos adalah orang asing, dan kerusuhan didalangi pemberontak Guatemala maupun El Salvador. Untuk melawan penyesatan informasi oleh pemerintah, Komando Marcos, yang tahu betul memilih waktu serangan agar mendapat perhatian dunia internasional, juga pintar memanfaatkan media massa dengan mengirimkan berbagai pernyataan. Isinya macam- macam, mulai dari pernyataan bahwa TPNZ tidak mengganggu masyarakat biasa, atau sikap TPNZ untuk tidak mengganggu pemilihan umum, sampai pada bantahan bahwa ia bukan orang asing. "Marcos siap melepas topengnya. Apakah masyarakat Meksiko siap juga melepas topengnya?" tanyanya dalam sebuah pernyataan yang ia kirim ke media massa. Ia bahkan pernah mengundang wartawan stasiun televisi untuk sebuah wawancara panjang di kawasan hutan yang tak bisa dikenali di Selatan Meksiko. Dengan mengenakan penutup wajah hitam, jaket anti-air, serta kantong-kantong peluru berwarna merah, Marcos melambaikan tangan di depan kamera. Ia berbicara dengan aksen Kota Meksiko yang kental, mengaku pernah bekerja sebagai wartawan, berusia pertengahan 30 tahun, dan matanya berwarna cokelat. Keterangan itu jelas untuk membantah profil Marcos versi pemerintah. Ketika media ramai mempermasalahkan penutup yang tak pernah lepas dari wajahnya, Marcos malah menyindir pemerintah. "Kalau aku buka topengku, masyarakat Meksiko tentu kecewa melihatku tidak seganteng yang disebut kantor kejaksaan agung." Lewat organisasi pemberitaan yang baik, Marcos berhasil pula menjadi idola di kalangan kelompok muda Meksiko. Ia tidak hanya sekadar membela kepentingan rakyat miskin, tapi juga pengatur strategi ulung dan punya rasa humor yang baik. Penutup wajah bandana ala Zapatista segera menjadi mode di kalangan pemuda. Dalam konser-konser musik di Kota Meksiko, para pemusik tak lupa mengenakan bandana dan penonton selalu berteriak "Marcos- Marcos". Menurut kalangan pengamat, Marcos berkembang menjadi pujaan seperti Emiliano Zapata karena sebagian besar dari 84 juta penduduk Meksiko memang bosan melihat ketimpangan hidup yang makin hari makin nyata. Ada tuan tanah dan orang-orang kaya yang meraja rela, sementara kemiskinan masih terlihat di mana- mana. Sekitar 16% dari penduduk Meksiko hidup dalam kondisi sangat miskin, dan 29% lainnya tergolong miskin. Sementara itu, menurut majalah Forbes, Meksiko kini memiliki tujuh miliuner kelas dunia, sama dengan jumlah miliuner Inggris yang masuk daftar majalah Forbes. Sadar bahwa akar masalahnya adalah kemiskinan, Presiden Salinas segera mengirimkan bantuan khusus ke negara-negara bagian yang bergolak. Akhir Januari lalu, ia beri Chiapas bantuan sebesar US$ 250 juta untuk membangun jalan dan prasarana lain. Masih ada lagi kiriman 20 ton makanan serta janji tambahan dana pembangunan US$ 1 miliar untuk Chiapas. Sementara itu, dana program sosial untuk Negara Bagian Oaxaca, salah satu kawasan miskin lainnya, dinaikkan dari US$ 64,5 juta menjadi US$ 153 juta. Susahnya, tak ada jaminan semua bantuan itu akan sampai ke penduduk. Buktinya, sejak dulu Presiden Salinas sudah punya lembaga anti kemiskinan yang disebut Solidaritas. Lewat lembaga itu, dalam jangka waktu empat tahun Salinas sudah menyalurkan dana US$ 11 miliar. Dan Chiapas merupakan salah satu negara bagian yang paling banyak menerima dana Solidaritas. Tetapi bantuan itu masih tak cukup untuk mengatrol harga kopi -- tanaman utama para petani Meksiko -- dan menggantikan subsidi pertanian yang dihentikan. Dan masih ada lagi para pejabat pemerintah yang korup. Itu sebabnya, Zapatista juga mencitakan reformasi politik. Mereka ingin agar para pemimpin di daerah punya perhatian tehadap kepentingan masyarakat lokal, tidak sekadar kiriman PRI. Tak jelas, apakah dalam paket yang dibawa TPNZ juga mencakup soal itu. Namun, kabarnya, TPNZ mengincar pemilu yang demokratis bisa terlaksana Agustus mendatang, dan ada peluang PRI tersingkir. Rupanya, mereka tak hanya ingin menang di medan perang, tapi juga di pentas politik.Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini