Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pablo Neruda, Batavia, dan Kudeta

Penyair Cile dan sastrawan penerima hadiah Nobel, Pablo Neruda, mengalami masa pahit dan sepi di Batavia. Di sana lahirlah puisi-puisi yang gelap, meski sempat menikah dengan wanita Jawa-Belanda. Buku Memoir serta Passion and Impression, yang kini beredar di Jakarta, berkisah tentang hari-harinya di Batavia.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


…Saya harus mengabari sesuatu yang penting. Saya telah menikah. Istri saya tinggal di kota ini (Batavia). Istri saya adalah keturunan campuran Belanda dan Jawa yang berasal dari keluarga tradisional di Jawa. Dan bukan orang kaya. Pernikahan kami telah diresmikan. Jika kalian bisa bertemu dengannya, tentu bangga dengannya. Dia memiliki sifat luar biasa. Jangan mengkhawatirkan saya, karena saya tidak sendiri lagi. Saya akan mengirim beberapa foto pernikahan kami. Istri saya lebih tinggi dari saya. Saya tidak bisa berbahasa Belanda dan dia tidak bisa berbahasa Spanyol. Jadi, kami bicara dalam bahasa Inggris. Kami miskin tapi bahagia….
Surat ini ditulis oleh Pablo Neruda, sastrawan Cile pemenang Nobel sastra 1971, pada suatu hari tahun 1930, di Batavia. Saat itu, ia seorang pemuda belia. Layaknya seorang pemuda yang jatuh cinta, ia menulis surat itu untuk keluarganya di Cile dalam rangka pemberitahuan perkawinannya dengan Maria Antonia Hagenaar Vogeizang, seorang gadis beribu Jawa dan berayah Belanda. Surat dengan tulisan tangan rapi beserta akta perkawinan resmi Neruda dan Maria di Batavia itu hingga kini masih disimpan di kantor Kedutaan Besar Cile di Jakarta.

Tak banyak orang yang mengetahui bagaimana sastrawan Marxis masyhur di dunia ini pernah "terdampar" di Indonesia dalam sepenggal hidupnya.

Dalam hiruk-pikuk sastra Indonesia pun, meski beberapa puisi Neruda pernah diterjemahkan di majalah sastra Horison, tak banyak yang menyebut riwayat Neruda di Jakarta. Buku berjudul Memoir yang berisi catatan harian dan perenungan perjalanan Neruda itu (diterbitkan kembali oleh penerbit Farrar, Strauus and Giroux, New York) kini sudah beredar di Jakarta. Memoar ini membuat kita sadar bahwa Jakarta, betapapun pedih atau buruknya, pernah punya makna penting dalam pergulatan batin sang penyair.

Neruda menjejakkan kaki di Batavia pada 1930. Ia bekerja sebagai staf konsulat Cile hingga pertengahan 1932. Jakarta adalah rangkaian pos Asia Tenggara yang harus ditempatinya setelah Rangoon, Kolombo, dan Singapura. Adalah kebiasaan negara Amerika Latin mengirim sastrawannya sebagai diplomat. Lahir di Parral, Cile, pada 12 Juli 1904 dengan nama Ricardo Eliezer neftali Reyes Y. Basoalto, sejak usia 18 tahun, dia telah menggebrak kesusastraan Cile. Nama samarannya diambil dari gabungan nama penyair Paul Verlaine dan pengarang Cekoslovakia, Jan Neruda. Ia melakukan itu semata-mata untuk menghindar dari amarah sang ayah, seorang masinis kereta yang tak menghargai bakat pujangga dalam diri putranya.

Tapi, yang terjadi, dua kumpulan puisinya berjudul Crepusculario (1923) dan Twenty Love Poems and Song of Despair" (1924) mengukuhkan kepenyairannya. Setelah pindah ke ibu kota negara Santiago untuk belajar sebagai guru bahasa Prancis, pada 1927, Neruda dikirim ke Rangoon, Burma--sebagai konsul ad honorem.

Saat itu Neruda belum menceburkan diri dalam dalil-dalil Marxis. Tapi para pengamat sastra menyebut perjalanan ke Asia itu sangat membentuk sensibilitasnya pada kemiskinan dan antipatinya pada kolonialisme. Selama di Asia Tenggara itulah Neruda mengalami suasana yang menekan, karena lingkungan yang dikunjunginya mengalami kesulitan ekonomi.

Di Sri Lanka, Neruda menetap di sebuah rumah di daerah kumuh dekat pantai bernama Wellawatte. Ia sering nglayap ke laut bersama para nelayan dan pernah ikut berburu gajah. Ia memelihara seekor luak bernama Kiria. Sehari-hari Neruda ditemani oleh seorang bocah asli Sri Lanka bernama Bhrampy, yang bekerja membenahi rumahnya. Luak dan bocah Sri Lanka itulah sahabat setianya. Keduanya--ya, luak dan bocah itu--diajak ketika ia berlayar ke Batavia.

Rasa frustrasi Neruda terhadap situasi sepi dan miskin mencapai puncak ketika ia tiba di Jakarta. Ia didera penderitaan luar biasa, terutama merasa sulit menyalurkan kebutuhan kelelakiannya. Di Jakarta, Neruda menyelesaikan kumpulan puisi Recidentia La tierra yang dianggap memelopori suatu visi pahit yang disukai kaum surealis. Puisinya menggempalkan sebuah dunia berantakan yang penuh sambur limbur antara kegairahan erotik dan ketakutan. Segala sesuatu, bagi Neruda, seperti ancaman dan berbau kegetiran. Neruda, yang sudah menjadi yatim sejak bayi, karena ibunya meninggal lantaran tuberkulosis, menyajikan suatu visi carut-marut apokalipsme tanpa Tuhan.

"Dia sangat depresi karena saat dikirim ke Asia tidak mempersiapkan diri," kata Rafael Puelma, Sekretaris Kedutaan Besar Cile, kepada Majalah TEMPO. Menurut Puelma, Neruda bukan prototipe seorang kosmopolit. Ia tumbuh dan dewasa di desa di Cile dan tiba-tiba saja harus bekerja di suatu wilayah yang jauh dari akarnya. "Jika dibandingkan dengan di Indonesia, mungkin dia datang dari daerah di luar pulau Jawa di tahun 1920-an," ujar Puelma.

Di Jakarta, Neruda tinggal di sebuah flat murah di Jalan Probolinggo 5, Menteng. Flat itu terdiri dari ruang tamu, kamar mandi, dapur, dan garasi yang tak pernah terisi oleh mobil karena ia memang tak memilikinya. Ia memiliki seorang pembantu wanita Jawa tua yang bertugas memasak makanannya sehari-hari dan seorang pesuruh kecil asal Jawa yang membersihkan rumah dan mencuci pakaiannya. Flat itu sekarang sudah musnah. Tak ada foto yang tersisa. Bahkan pihak Kedutaan Besar Cile di Jakarta pun kini tak memiliki dokumen apa pun tentang flat itu.

Sejak pertama kali menjejakkan kaki di Jakarta, Neruda sudah bertemu dengan hal yang menjengkelkan dirinya. Dalam Memoir, dia menulis jam-jam pertama setelah dia mendarat di Batavia. Dengan pakaian rapi, ia melaju ke konsulat Cile--sebuah gedung yang besar dengan pelataran penuh pohon besar dan bungalo bertaman kecil untuk penginapan tamu. Gedung itu bercampur dengan gedung dinas kapal api Belanda. Pelayan mengantarkannya ke kepala jawatan. Tampak seorang Belanda gembrot dan wajah kemerah-merahan yang lebih berkesan seperti buruh pekerja pelabuhan.

"Saya konsul baru Cile di sini," Neruda memperkenalkan diri santun ke lelaki itu. "Pertama-tama, saya sangat berterima kasih atas segala bantuan Anda. Saya akan sangat terbantu apabila Anda menjelaskan semua tugas saya di konsulat sehari-hari. Saya hendak menjalankan pos saya secepat mungkin," kata Neruda.

Tak dinyana, lelaki itu membentaknya. "Saya satu-satunya konsul Cile di Batavia!" Lo?

Belum sempat Neruda bertanya lebih lanjut, lelaki itu mencerocos. "Bayar utang teman kamu," teriaknya marah. Sumpah-serapah meluncur dari mulut orang itu. Sampai batuk-batuk menghebat, ia tak menyisakan waktu dan ruang bagi Neruda untuk menjawab. Neruda bingung. "Sir, apa salah saya? Rasanya tak ada utang yang harus saya bayar. Setahu saya, Anda adalah konsul ad honorem di sini. Saya tak tahu kenapa Anda memaki-maki saya."

Beberapa hari kemudian barulah Neruda mengerti mengapa lelaki Belanda itu histeris. Ternyata, semua ini karena ulah Mansilla, konsul Cile sebelumnya. Syahdan, Mansilla tidak betah dengan posnya di Batavia. Lalu ia berusaha meninggalkan Batavia dan pergi ke Paris. Untuk menutupi keberadaannya, ia berkongkalikong dengan seorang warga Belanda dan memintanya berperan sebagai sang konsul Cile. Sebagai ganjarannya, Mansilla akan membayar warga Belanda itu dengan kiriman uang setiap bulan. Ternyata, uang itu tak pernah sampai. Si Belanda "konsul palsu" itu merasa ditipu mentah-mentah.

Minggu pertama Neruda di Batavia langsung frustrasi. Ia menderita demam tinggi. Hidungnya mengalami pendarahan yang mengalir tanpa henti. Pendarahan semacam itu hanya pernah dialaminya saat masa kecilnya di Temuco. Alkisah, untuk mengurus pengobatan sakitnya itu, ia harus mengurus status konsulnya di kantor pemerintahan Belanda di Buitenzorg (Bogor), yang letaknya di dalam Kebun Raya Bogor. Neruda menulis, dalam keadaan sempoyongan, akhirnya ia duduk di bawah sebuah pohon besar sembari menghirup udara bersih. Ia menyelami kesejukan pohon-pohon eukaliptus raksasa, tumbuhan rambat yang berselang-seling seperti sulur-sulur pohon anggur, beraneka bentuk dedaunan, mengheningkan suara cereceh burung, jeritan monyet, yang membuat badannya terasa lebih baik.

Ia kembali ke hotel dengan perasaan lebih segar. Tapi kemudian terjadi sebuah adegan lucu. Saat ia tengah berleyeh-leyeh di teras hotel, sembari ditemani luaknya yang bergelayutan di meja, tiba-tiba saja ia ingin menulis surat kepada pemerintah Cile.

Karena Neruda kehabisan tinta, ia memanggil pelayan laki-laki dari hotel dan dalam bahasa Inggris dia meminta mereka mengambilkan tinta. Tapi ternyata sang pesuruh sama sekali tak mengerti kalimat Inggris itu. Sang pelayan memanggil pelayan lain untuk membantu. Saat mulut Pablo mengatakan kata "ink, ink" sembari tangannya seolah mencelupkan pena ke botol mangsi dan kemudian berpura-pura menulis, keduanya malah tertawa terbahak-bahak, seolah mereka baru saja melihat pertunjukan badut. Akhirnya Neruda masuk ke kamarnya dan keluar dengan sebotol tinta kosong di tangannya. Dia memperlihatkan botol itu kepada kedua pelayan hotel, dan secara spontan keduanya berseru bersama, "Oo..., tinta." Neruda terperangah. Apa pasal? Ternyata bahasa Indonesia--yang agaknya mengambil dari bahasa Portugis-- untuk kata ink sama dengan bahasa Spanyol, yaitu tinta. Tahu begitu, sejak tadi dia akan menyebut "tinta" saja.

Pekerjaan Neruda sehari-hari sebagai konsul di Batavia hanyalah mencap surat. Tetapi kondisi demikian buruknya, bahkan cap stempel karet milik kantor itu pun sudah rusak. "Sebagai konsul dia hanya menangani masalah administratif, misalnya menandatangani surat yang menjadi prosedur untuk mendatangkan atau mengirimkan barang ke Cile. Jadi, semacam otoritas birokrasi yang mengesahkan dokumen di sini," kata Puelma. Dari pekerjaan itulah Neruda menghidupi dirinya selama di Batavia: membayar penginapan, upah si Bhrampy, dan ongkos pemeliharaan luaknya yang harus makan tiga atau empat telur sehari. Untuk membeli jas resmi, Neruda tentu harus mati-matian menghemat.

Tak banyak kemewahan yang ia lakukan. Sesekali Neruda akan duduk berlama-lama di sebuah kafe entah di tepi Pasarbaru--dalam memoarnya dia hanya menyebut "kafe terbuka di pinggir kanal"--untuk minum istilah orang Betawi: gin pahit. Terkadang ia juga menyantap hidangan riskjtafel di restoran hotel yang membuatnya terpukau, karena sebuah meja yang penuh lengkap makanan prasmanan sampai dilayani 10 atau 15 orang pelayan. Mirip sebuah prosesi, setiap piring penuh dengan lauk yang menggunung, mulai dari ikan, sayur-sayuran, ayam, aneka masakan telur, dan aneka daging. "Semua piring membinarkan rasa, aroma, warna yang misterius," demikian tulis Neruda.

Salah satu kejadian yang membuat hatinya semakin pedih dan tidak kerasan di Batavia adalah kematian Kiria, binatang piaraan kesayangannya. Maklum, setiap kali Neruda keluar rumah, sang luak punya kebiasaan menguntitnya sampai ke jalan yang padat. Setiap kali Neruda pulang, Kiria akan berjumpalitan di lututnya atau mengusapkan ekornya di kepala Neruda. Suatu hari yang nahas, saat Neruda pulang, ia melihat Bhrampy, pembantunya, duduk termenung di teras. Melalui kesedihan yang terpancar dari wajah Bhrampy, ia pun tahu bahwa Kiria lenyap.

Akhirnya Neruda memasang iklan di koran: "Telah hilang, seekor luak bernama Kiria." Tapi tidak ada informasi datang. Mungkin ia telah mati. Bhrampy, sang pembantu yang merasa sangat bersalah, segera memutuskan kembali ke Sri Lanka. Neruda makin merasa kesepian dengan perginya kedua sahabatnya itu. "Kadang kala di tengah malam saya seolah mendengar pekikan Kiria. Saya segera menyalakan lampu, membuka jendela, dan menatap pohon-pohon kelapa, barangkali ada dia," katanya dengan getir.

Segala eksotisme upacara-upacara dan sajen di Jawa tampaknya tak begitu membekas dalam diri Neruda. Yang dikenang dari tari-tarian Jawa atau Bali justru pancaran kemiskinan yang menyelimuti penarinya. Simak kenangannya atas tarian jalanan di pinggiran Semarang: "… Saya teringat suatu hari di pinggiran Semarang. Seorang penari perempuan bocah, memakai korset, sarung, dan mahkota dari seng. Penari lain seorang lelaki tua, sebuah topeng dengan pernis merah dipakainya, dan dia membawa sebuah pisau bambu yang panjang…." Puluhan tahun kemudian ia mengaku masih sering di malam hari terbangun mengingat mereka. "Sering, saat tidur, saya tergeragap karena seolah melihat lagi penari yang menyedihkan di pinggiran Semarang itu," tutur Neruda melalui Memoir.

Rasa kesepian yang menikam itulah agaknya yang mendorong ia memutuskan untuk menikah dengan Maria, wanita yang dalam kata-kata Neruda tinggi semampai, lemah, dan penuh misteri.

Tiga puluh tahun kemudian dalam kumpulan puisinya berjudul Estravagario, Neruda menulis Mengapa Saya Menikah di Batavia? Dalam tulisan tersebut dia mengakui perkawinan merupakan jalan keluar bagi persoalan kesepian yang akut. Ke mana pun mereka pergi pasti berdua. Hidup Neruda dan istrinya sehari-hari sangat sederhana. Mereka kerap mengunjungi konsul Kuba beserta istrinya, arena mereka berbahasa Spanyol. Temannya dari Kuba adalah seorang yang ceriwis yang suka membanggakan rezim Machodo, presiden Kuba saat itu.

Kepada Neruda, sang kawan dari Kuba itu berkisah bagaimana pelarian-pelarian politik Kuba yang hendak melarikan diri dari Kuba dan disantap ikan hiu di laut. Lalu dia berkisah pula bagaimana tubuh hiu di perairan Kuba banyak ditemukan jam tangan, cincin, atau gigi emas. Teman Neruda yang lain yang sering ditemuinya di Batavia bernama Wilhelm Lehmbruck, seorang Jerman Yahudi yang romantik. Dia tak percaya bahwa orang seperti Hitler bakalan berkuasa karena Hitler antisemit dan, "Jerman adalah satu-satunya tanah demokratis yang tidak mungkin menerima agitator gila macam Hitler," katanya. Suatu optimisme yang terbukti meleset di kemudian hari. Ketika berita holocaust menyebar ke seluruh dunia, Neruda segera teringat nasib Wilhelm.

Menurut Puelma, pergaulan Neruda tidak begitu luas. "Dia tidak suka dengan sikap orang-orang ekspatriat (Eropa) di Batavia. Jadi, dia mulai berhubungan dengan orang-orang lokal. Sayangnya, saya tidak tahu seberapa jauh hubungan tersebut," kata Puelma. Sebuah surat Neruda yang dikutip tabloid La Nacion, Cile, pada 1991 berbunyi, "Kehidupan konsuler, protokol, dinner, merokok, dansa, cocktail di Batavia setiap waktu seperti neraka. Kadang-kadang kami (Neruda dan Maria) memecah rutinitas dengan ke luar kota, ke gunung atau pedesaan,"

Melalui Memoir itu pula, Neruda menulis kenangan yang menunjukkan bahwa selama di Batavia ia senang berkelana ke alam bebas dan melarikan diri dari kejenuhan kota. Salah satu yang paling berkesan adalah bagaimana ia pernah minum bir dengan seekor orang utan di Medan. "Beberapa kali saya di Medan, Sumatra, saya mengunjungi sebuah kebun botani. Setelah melalui sebuah jembatan yang panjang, saya tiba di suatu tempat. Orang utan itu datang mendekat setiap kali saya ke sana. Tangan saya dan dia bergandengan. Kami duduk menghadap meja. Baik kaki maupun tangannya mencekal meja. Seorang pelayan kemudian muncul menyajikan bir. Sebotol bir setengah besar hanya untuk orang utan dan sang penyair. Kenangan ini sering datang secara halus pada diri saya," katanya.

Kehidupan rumah tangganya di Batavia dengan Maria bukan tanpa gangguan. Penari Sardono W. Kusumo, ketika diundang sanggar Robert Reford, Sundance Valley, di AS, pernah mendapat cerita dari seorang komponis tua Cile tentang Neruda. Komponis ini mengaku mengenal Neruda, karena Neruda sering datang ke rumahnya di Santiago, Cile. Maria, menurut dia, sering cemburu karena sesungguhnya sang Don Pablo adalah seorang Don Juan. "Saat Neruda suatu kali pernah terlambat pulang ke rumah, Maria marah besar. Pablo ditodong gunting atau sebilah pisau, sampai Pablo lari tunggang-langgang menuju Tanjungpriok tidak pulang-pulang," kata Sardono menirukan cerita temannya.

Tak banyak lagi yang dapat kita ketahui tentang kehidupan Neruda di Batavia kecuali dia pernah menulis sebuah kronik tentang penyair Angela de Chruchaga y de Santa Maria di Batavia pada Februari 1931.

Setahun kemudian, Neruda kembali ke Santiago. Tak lama kemudian ia menjadi konsul di Buenos Aires, Argentina. Dia kemudian bertemu dan berkawan dengan penyair legendaris Fredico Garcia Lorca, yang kemudian diculik dan dibunuh oleh militer.

Aku tak lagi melihat wajahnya
tak lagi mendengar laut kesunyiannya
sampai tiba-tiba, di satu malam penuh topan, dan salju menderu
di sana, di punggung kuda, di kejauhan
kulihat ia, sahabatku, wajahnya dipahat dari batu
tampangnya menantang cuaca liar
Menjelma jadi arca,

Inilah kenangan Neruda tentang kematian Lorca. Pada 1934, Neruda dipindahkan ke konsulat Cile di Barcelona, kemudian Madrid, Spanyol. Di sinilah, putrinya yang diberi nama Malva Marina lahir pada 18 Agustus 1934. Tapi di situ juga keretakan rumah tangganya terjadi. Ia bercerai dan Maria membawa Malva ke Belanda. Tragisnya, di Belanda, anaknya sakit dan kemudian meninggal saat masih berusia delapan tahun.

Pada 1936, Jenderal Francisco Franco di Spanyol merebut kekuasaan dan meletuskan perang saudara. Neruda menjadi seorang Marxis. Ia menentang fasisme Franco dan membela Republik. Di sini dia berkenalan dengan pelukis perempuan Argentina Dellia del Carril, yang menjadi mentor kirinya dan kemudian dinikahinya pada 1943. Pada 1943 Neruda menetap di Meksiko dan menulis antologi puisi Canto General yang sangat terkenal, yang memuat puisi Alturas de Macchu Picchu, yang bercerita tentang sisa-sisa reruntuhan kuil Maya di Meksiko. Secara keseluruhan Canto General adalah puisi-puisi yang berusaha melihat sejarah Amerika Latin pra-Kolombia dari perspektif komunis. Di Cile buku ini disebarluaskan secara klandestin. Tengok beberapa baris puisi ini:

"…(Days of vivid splendor in the inclemency
of corpses: steel transformed
into acid silence:
nights frayed to the last flour:
beleaguered stamens of the nuptial land).

Pada 1943-1947 sikap politik Neruda semakin jelas. Ia bergabung dengan Partai Komunis Cile dan terpilih menjadi senator. Ia mendukung pemogokan masal besar-besaran pekerja tambang pada 1946 melawan kebijakan Presiden Gonzalez Vida, yang mengizinkan masuknya investasi asing di Cile, pada 1946-1947. Neruda menyebut Presiden Vida sebagai Judas, pengkhianat Cile. Akibatnya, Neruda diburu aparat. Ini memaksa Neruda pergi mengasingkan diri, mengendarai bagal melintasi pegunungan Andes.

Pengalaman politiknya itu disebut pengamat membuat ia kemudian makin menanggalkan kecenderungan surealis yang tumbuh di Jakarta. Di masa lalu, di masa "produktivitas puisi surealis" Neruda, puisinya yang memiliki kecenderungan gelap yang menggerakkan banyak hal. Konon, seorang bocah dari Santiago kemudian bunuh diri menggantung di pohon dengan kumpulan puisi Residencia En La Tierra terbuka pada halaman puisi berjudul Significa Sombras.

Belakangan hari, Neruda mulai menyederhanakan puisinya agar bisa dimengerti rakyat banyak. Mendengarkan kosakata dari petani, pekerja tambang, nelayan, penebang kayu, dan pandai besi. Memaparkan dunia lelaki yang keras dan pesing. Kekuatannya terletak dalam ketelitian dan kegigihannya menemukan pengalaman yang biasa. Sebuah himne pengalaman sehari-hari. Perhatikan puisinya dalam Epic Song berjudul To Fidel Castro.

"Fidel, Fidel, the people thank you
for your words in action and deeds that sing,
which is why I brought you from far off
a cup of my country's wine:
it is the blood of a subterranean people…"

Pada 1952, saat diperbolehkan pulang ke Santiago, Neruda semakin rajin menulis hal-hal bersahaja sehari-hari. Ia menulis ode untuk benda-benda remeh-temeh sehari-hari yang menjadi bagian hidup orang jelata seperti bawang, seledri, garam, gunting, tomat, sikat gigi, sepatu tua, dan anggur. Menurut Neruda, sebuah cakrawala benda yang tumbuh dalam bauran keringat, asap, diliputi bunga bakung dan air kencing. Benda-benda yang menurutnya dimiliki sosok badan rakyat jelata yang berpeluh keringat dan dipenuhi noda tetesan sup. Menurut Pablo, puisinya mudah dimengerti siapa pun, bahkan oleh seseorang yang terseok-seok di kegelapan malam. Akibat penemuan itu, ia diganjar Stalin Prize dan Lenin Prize. Pada 1966 dia menikah lagi dengan penyanyi Cile, Mattilde Urrutia.

Empat tahun setelah pernikahannya, Neruda dicalonkan menjadi Presiden Cile, tapi dia mengundurkan diri dari pencalonan ketika Salvador Allende, sahabat karibnya, tampil di panggung politik. Ia mendukung Allende sepenuhnya. Ia membantunya membentuk Popular Unity Party dan kemudian belakangan diangkat menjadi duta besar di Prancis di masa pemerintahan Allende yang singkat.

Pada 1971 masa keemasan itu tiba. Ia mendapat hadiah Nobel untuk bidang sastra. Pada saat upacara pemberian hadiah di Swedia, ia berpidato, "Penyair yang baik adalah pembuat roti yang tidak mengangankan dirinya adalah Tuhan. (Dia) membuat adonan, memasukkan dalam oven, dan menyajikan secara sederhana."

Setahun kemudian, penyakit kanker dan rematiknya semakin menggerogoti tubuhnya. Dia kembali ke Santiago, dan hidup tenang di Isla Negra, sebuah desa nelayan di tepi laut, 60 kilometer dari Santiago. Sebuah rumah yang sangat dicintainya. Tapi kondisinya semakin buruk ketika mendengar militer mulai menangkapi teman-temannya dari Partai Komunis. Pada 11 September 1973, Allende digulingkan oleh gerakan militer. Allende kemudian tewas terbunuh. Berita itu memperburuk kesehatan Neruda. Dua belas hari kemudian, tepatnya 23 September 1973, Neruda mengembuskan napas terakhir.

Konon, menurut beberapa dokumen tertulis, kudeta militer itu memakai nama sandi "Operasi Jakarta". Dengan sadar Jenderal Augusto Pinochet, arsitek kudeta militer itu, meniru pola penggulingan Sukarno di Jakarta pada 1966. Jakarta adalah kenangan pahit bagi Neruda. Dalam masa mudanya ia mengalami kepedihan dan sepi di Jakarta. Ia pun mati, setelah negeri dan Partai Komunis yang dicintainya itu diberangus oleh rezim yang mengambil insiprasi dari geger Jakarta 1966.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus