Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Minyak Sawit Pengganti Solar

Mesin diesel kini bisa menggunakan minyak kelapa sawit. Lebih ramah lingkungan. Sayang, harganya masih di atas solar yang disubsidi.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


SUMBER devisa yang bisa dipanen dari kelapa sawit ternyata bisa bertambah. Minyak sawit atau crude palm oil (CPO) tak hanya bisa diekspor dalam bentuk konvensional CPO, tapi bisa pula dikemas sebagai bahan bakar mesin diesel (metilester) pengganti solar. Tentu potensi itu amat menggembirakan. Sebab, Indonesia tergolong negara produsen kelapa sawit nomor dua di dunia setelah Malaysia. Selain itu, bahan bakar biodiesel berupa metilester lebih ramah lingkungan ketimbang bahan bakar minyak seperti solar, yang juga terus memakan subsidi negara dan jumlah persediannya kian kritis.

Belum lama ini, sebanyak 600 liter metilester hasil produksi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas) dikabarkan telah dibeli oleh sebuah perusahaan minyak di Jepang. Belum jelas apakah metilester itu akan digunakan pihak Jepang untuk bahan bakar biodiesel atau akan diteliti lebih lanjut. Yang jelas, pihak Jepang berjanji akan membeli metilester sebanyak 16 ribu liter bila suplai perdana tadi dianggap cocok.

Sebenarnya, metilester yang dihasilkan Lemigas merupakan rangkaian dari jerih payah lembaga itu sebelumnya. Lembaga itu dikabarkan pula sejak tahun 1994 telah mengembangkan teknologi pembuatan metilester. Menurut Abdul Gafar, Ketua Kelompok Proses Konversi dan Katalis Lemigas, bahan baku untuk membuat metilester terdiri dari 1 liter metanol, 9 gram natrium hidrokarbon, dan 1 liter CPO. Campuran itu dimasukkan ke tabung reaksi dan dipanasi dengan suhu 60 ×C. Dari pemanasan itulah dihasilkan metilester dan gliserol. Sebelum dipakai, metilester dicuci dengan air agar hilang metanolnya. Ternyata, kandungan metilester tak jauh beda dengan solar.

Untuk implementasi konkret, metilester kemudian diuji coba pada truk dan Isuzu Panther. Satu truk diisi solar 70 persen dan 30 persen metilester, sementara satu truk lainnya diisi solar 100 persen. Dua jenis perlakuan itu juga dikenakan pada dua Isuzu Panther. Kendaraan-kendaraan sampel itu lalu dijalankan dengan rute Jakarta-Bogor. Rute itu ditempuh bolak-balik selama tiga bulan hingga mencapai total jarak 20 ribu kilometer.

Hasilnya, kata Abdul, tak ada kerusakan pada mesin kendaraan sampel yang memakai campuran metilester. Tapi, kendaraan itu agak lebih boros sekitar 5 persen dibandingkan dengan kendaraan yang memakai solar. Yang pasti, hasil uji coba yang menunjukkan kesetaraan metilester dan solar itu amat menakjubkan.

Sayang, proyek penelitian yang dibiayai Pertamina itu tak berlanjut. Sekalipun demikian, sampai akhir tahun 2000, Lemigas berhasil merancang mesin pengolah metilester. Mesin itu rampung pada Februari 2001, dengan kapasitas produksi sebanyak 200 liter metilester per batch. Sebagian dari hasil metilester itulah yang telah diminati pihak Jepang.

Selain Lemigas, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan ternyata juga telah membuat metilester sejak 1992. Caranya hampir sama dengan yang dilakukan oleh Lemigas. Bahkan, penelitian di PPKS sudah sampai pada proses separasi membran untuk memisahkan biodiesel dari senyawa minor di dalam minyak sawit, seperti beta-carotene.

Khusus untuk beta-carotene, agaknya ada nilai tambah tersendiri. Senyawa ini bisa menjadi bahan kosmetik, sabun, sampo, ataupun plastik. Dan, ini yang juga amat menggiurkan, beta-carotene (provitamin A) berharga Rp 3,5 juta per kilogram. Kata Dr. Darnoko, peneliti di PPKS, dari satu ton CPO bisa dihasilkan 85 persen biodiesel dan 0,5 kilogram beta-carotene. Padahal, "Beta-carotene awalnya cuma limbah sawit," ucap Darnoko.

Doktor lulusan Universitas Illinois, Amerika Serikat, dengan tesis biodiesel minyak sawit itu juga telah berhasil mengujicobakan metilester buatannya untuk traktor perkebunan. Namun, harga biodiesel jadinya lebih mahal dari solar. Satu liter metilester bisa berharga Rp 2.000, sementara solar hanya Rp 600 karena disubsidi negara. Padahal, di Jerman, harga satu liter solar Rp 6.000 dan metilester Rp 4.000 per liternya. "Kalau pajak biodiesel dan subsidi solar dihapus, harga biodiesel bisa menyaingi solar," Darnoko menandaskan.

Terlepas dari kondisi solar ataupun bensin yang masih disubsidi, tampaknya pengembangan lebih lanjut bagi metilester sebagai bahan bakar alternatif bisa memberikan harapan segar. Di Jerman saja hingga sekarang sudah bisa diproduksi 741 ribu ton biodiesel per tahun.

Agus S. Riyanto, Bambang Soedjiartono (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus