Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH dunia yang gaduh: orang berlari dan melompat, saling memukul shuttle cock, mengejar bulu-bulu angsa hingga ke ujung lapangan. Inilah kehidupan dalam ruang latihan bulu tangkis. Dari titik itulah Dhina Pramita Susanti memulai temuan briliannya: teori fisika yang menyabet medali emas dalam kompetisi fisika internasional The First Step to Nobel Prize in Physics ke-13, di Polandia.
Pelajar kelas 2 SMU Negeri 3 Semarang itu berhasil memaparkan gaya-gaya fisika pada suatu rutinitas latihan bulu tangkis. Yang dilakukan Dhina persis seperti ilmuwan Yunani, Archimedes, yang berhasil memaparkan teori fisika dari kebiasaannya berendam dalam bak air.
Riset ia awali dengan mengamati permainan para atlet bulu tangkis di sekolahnya dan sebuah klub di kotanya. Seluruh gerak laju kok direkam dengan handycam dan kemudian diuji dengan peranti lunak komputer World In Motion 95. Dengan program itu, kecepatan kok yang dismash, besarnya hambatan udara, dan posisi kok bisa diketahui.
Data itu kemudian diolah Dhina. Hasilnya? Laju kok tidak mengikuti teori gaya melengkung—dalam fisika, dikenal dengan nama gerak parabola yang biasa bekerja ketika bola tenis dipukul ke udara atau bola ditendang melambung. Sementara gerak bola tenis atau bola sepak menghasilkan lintasan lengkung berbentuk parabola sempurna, lintasan kok berbentuk lebih mirip sebuah gunung dengan lereng curam. ”Saya menyebutnya parabola tak sempurna,” kata Dhina (lihat infografik).
Ada beberapa hal yang membuat berbeda. Salah satunya, bentuk kok yang memakai 16 bulu membuat kepala kok selalu jatuh lebih dulu. Bulu-bulu itu menghasilkan hambatan udara yang besar. Kecepatan kok umumnya tak lebih dari 10 meter per detik, sedangkan bola tenis kecepatannya 25-32 meter per detik.
Temuan itu klop dengan teori ilmuwan fisika Atam Parkash dalam buku Introduction to Classical Mechanics (1990). Di situ disebutkan, ada dua model gaya hambatan udara terhadap gerakan bola: model linier dan model kuadratik. Dengan penelitiannya, Dhina menemukan bahwa laju kok lebih cocok masuk ke model linier, tempat gaya hambat udara sebanding linier dengan kecepatan. Artinya, pertambahan kecepatan kok akan menghasilkan hambatan yang sebanding. Berbeda dengan bola tenis, gaya hambat udara sebanding dengan kuadrat kecepatan seperti pada bola sepak atau bola tenis.
Penelitian Dhina masih terbatas pada jenis pukulan melambung seperti servis, lob, atau netting. Tapi Yohanes Surya, ahli fisika yang menjadi pembimbing Dhina, mengatakan hanya butuh waktu satu tahun jika gadis belia itu ingin melengkapi penelitiannya dengan pukulan smash atau drop shot.
Raju Febrian (Jakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo