Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membaca Ulang Kolonialisme Belanda di Tropenmuseum

Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda, menggelar pameran bertajuk “Warisan Kolonial Kita”. Menyajikan kisah-kisah penjajahan sejak abad 17-20.

2 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran bertajuk Warisan Kolonial Kita di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda.

  • Menyajikan kisah-kisah semasa periode penjajahan sejak abad ke-17 hingga abad ke-20.

  • Selain Indonesia, pameran ini menampilkan kisah sejarah dari negeri jajahan Belanda lain, seperti Suriname dan Ghana.

KEBERADAAN lukisan berukuran 6 x 2 meter itu cukup mencolok dibanding koleksi lain yang sedang dipamerkan di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda. Karya Zico Albaiquni berjudul Ruwatan Tanah Air Beta itu menjadi satu dari ratusan obyek yang dipajang dalam pameran berjudul “Onze Koloniale Erfenis” (“Warisan Kolonial Kita”) tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Didominasi oleh warna menyala, seperti jingga, kuning, dan hijau, lukisan itu menyajikan imaji tentang kebun raya sebagai produk kolonialisme. Selain berbagai tanaman dan pohon, tersaji gambar paviliun Kebun Raya Bogor dengan sosok (seperti) Sukarno di dalamnya, prasasti peninggalan Hindu, tampi-tampi berisi berbagai bahan makanan, dan sekelompok ibu-ibu dan anak-anak yang menari melingkar. Di sudut lain sosok berpakaian Eropa berdiri congkak, sementara seorang pria pribumi bertelanjang dada duduk di tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain karena ukurannya yang paling besar, lukisan Ruwatan Tanah Air Beta yang diperoleh dua tahun lalu itu dinilai Tropenmuseum sebagai salah satu koleksi penting bagi mereka. “Karena ada kritik besar dalam karya Zico terhadap sistem kolonialisme,” kata kurator pameran Pim Westerkamp kepada Tempo di sela-sela pembukaan pameran, pertengahan Juni lalu.

Lukisan Ruwatan Tanah Air Beta karya Zico Albaiquni. Foto: Yavuz Gallery

Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, yang menjadi obyek lukisan tersebut, menurut Westerkamp, dulu merupakan tempat suci bagi orang Sunda. Lalu, pada awal abad ke-19, Belanda membangun kediaman gubernur jenderal yang sekarang menjadi Istana Kepresidenan. “Di sana mereka juga menanam berbagai macam pohon untuk diteliti, termasuk kelapa sawit,” ujar Westerkamp, yang memiliki spesialisasi sejarah Indonesia.

•••

KRITIK terhadap kolonialisme yang disebut Pim Westerkamp tidak hanya terdapat dalam lukisan Zico Albaiquni. Hampir semua narasi yang dihidangkan dalam pameran “Onze Koloniale Erfenis” mengandung kritik dan fakta sejarah yang selama ini tersembunyi dan ditutupi, terutama terkait dengan kekejaman, eksploitasi, rasialisme, dan penindasan yang dilakukan Belanda selama menjajah.

Misalnya narasi yang disajikan di salah satu ruang pameran yang mempertanyakan keuntungan yang diperoleh pemerintah kolonial. Belanda mulai melakukan ekspedisi pada akhir abad ke-16 mengikuti jejak negara Eropa lain. Kekerasan dan represi merupakan metode yang digunakan. “Mereka yang diperbudak diperjualbelikan layaknya barang dan properti,” begitu tertulis di salah satu dinding pameran.

Riwayat lain adalah soal rasialisme yang dibangun sistem kolonial dan mengakar hingga saat ini. Salah satunya sistem stratifikasi sosial berdasarkan warna kulit; bangsa kulit putih, peranakan, dan pribumi. Dan di salah satu dinding ruang pameran terpampang besar kutipan penulis Ta-Nehisi Coates, “Ras adalah anak dari rasialisme, bukan orang tuanya.”

Acara pembukaan pameran “Warisan Kolonial Kita” di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda, 23 Juni 2022. Foto: Tito Sianipar

Selain mempertunjukkan soal Indonesia, “Onze Koloniale Erfenis” menampilkan kisah sejarah dari negeri jajahan Belanda lain, seperti Aruba di Lautan Karibia, Suriname di Benua Amerika, dan Ghana di Afrika. Tapi boleh dikatakan koleksi yang berbau Indonesia mendominasi pameran yang akan berlangsung hingga tujuh tahun ke depan ini, yakni lebih dari 80 persen.

Salah satu kisah dari Ghana adalah foto seorang pria kulit hitam berseragam dengan pasangannya yang berpakaian kebaya dan anak perempuan mereka. Keterangan foto menyebutkan gambar itu diambil pada 1854 di Jawa. Ketika itu, seusai perang Diponegoro, pemerintah kolonial memobilisasi pria Ghana, yang merupakan wilayah koloninya, ke Indonesia. Mereka dijadikan tentara untuk memerangi perlawanan rakyat pada pertengahan abad ke-19.

Secara garis besar, pameran “Onze Koloniale Erfenis” dibagi dalam berbagai tema, seperti Rasialisme, Sumber Daya di Seberang Laut, Agama dan Kepercayaan, Perbudakan, Perang dan Kekerasan, serta Nasionalisme, Perlawanan, dan Kemerdekaan pada 1912-1962. “Kami memang tidak membaginya berdasarkan negara karena ketersediaan ruang,” kata Wendy Snoek, penata spasial pameran.

Selain soal perbudakan dan perlawanannya, salah satu cerita dari Suriname adalah di bagian Agama dan Kepercayaan. Disebutkan bahwa Islam masuk ke Suriname pada pertengahan abad ke-19 dibawa oleh pekerja Indonesia yang dikerahkan Belanda dari Jawa untuk bekerja, termasuk dari India. Islam yang ada di Suriname sangat dipengaruhi oleh budaya India dan Jawa.

Suasana pameran “Warisan Kolonial Kita” di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda, pada 23 Juni 2022. Foto: Tito Sianipar

Di bagian Perang dan Kekerasan, “Onze Koloniale Erfenis” mencuplik juga kisah pembantaian 14 ribu warga Banda yang dipimpin langsung oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada 1621. Ditulis dengan judul Genosida di Banda, museum menceritakan bahwa pembantaian terjadi karena penolakan monopoli pala oleh Belanda. Diperkirakan hanya seribu orang yang selamat dari pembantaian massal itu.

Bersanding dengan kisah itu, dipajang juga batu berukir muka Jan Pieterszoon Coen yang tadinya hendak dijadikan ornamen permanen di gedung Tropenmuseum. Karena kontroversi soal sosok Coen yang penuh kekerasan dan pembantaian, akhirnya ornamen itu ditiadakan dari gedung museum yang dibangun pada 1864 ini.

Sebelum bernama Tropenmuseum, dulu lembaga ini disebut sebagai Institut Kolonial di bawah Kementerian Kolonial, yang berfungsi menyimpan barang-barang hasil jajahan. Hingga 1926, Tropenmuseum merupakan gedung terbesar yang ada di Amsterdam.

Pameran “Onze Koloniale Erfenis” menampilkan ratusan barang menjadi pajangan, dari artefak sejarah, lukisan, kain, wayang, keris, meriam, gambar, foto dokumentasi, instalasi suara, diorama, hingga perangkat digital gambar dan suara. Salah satunya keris tertua di dunia dari abad ke-13. “Pangeran Paku Alam V memberikannya kepada penyembuh Charles Knadu karena pulih dari kekuatan sihir,” tulis narasi.

Ada juga perangkat layar sentuh yang memberikan pengalaman bermain mengasah pengetahuan umum. Temanya adalah soal asal-usul sumber daya yang diperoleh Belanda semasa zaman kolonial, seperti rempah, gula, kopi, teh, bauksit, opium, dan emas. Permainan itu bisa dimainkan sampai empat orang dan setiap jawaban yang benar akan diberi nilai. Di akhir permainan, peserta yang memperoleh skor tertinggi akan keluar sebagai pemenang.

Potongan ukiran muka Jan Pieterszoo Coen koleksi Tropenmuseum pada pameran “Warisan Kolonial Kita” di Amsterdam, Belanda. Foto: Tito Sianipar

Petugas humas sekaligus juru bicara Tropenmuseum, Coromandel Brombacher, mengatakan pameran ini bertujuan memberikan gambaran ke publik bagaimana dunia yang kita jalani sekarang tidak terlepas dari sejarah kolonialisme. “Kita menjadi kaya tapi sering lupa itu dibangun di atas hidup orang lain. Itu merupakan sisi lain kolonialisme,” ucapnya kepada Tempo.

Brombacher menambahkan, pameran “Onze Koloniale Erfenis” terpisah dari hasil penelitian yang dilakukan tiga lembaga pemerintah Belanda terkait dengan kekejaman masa perang kolonial 1945-1949. Juga tidak terkait dengan pameran “Revolusi” yang digelar Rijksmuseum, Amsterdam. “Ini merupakan pameran kami sendiri yang disiapkan sejak tiga tahun lalu,” ujarnya.

•••

MESKI menyajikan kekejian, eksploitasi, dan penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda melalui perusahaan dagangnya, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan West-Indische Compagnie (WIC), di berbagai belahan dunia, kritik tetap melayang ke Tropenmuseum. Salah satunya dari Jeffry Pondaag, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, yang turut hadir dalam acara pembukaan pameran.

Menurut Jeffry, pameran semacam ini hanya merupakan acara seremonial yang tidak menyentuh langsung ke pokok permasalahan yang diwariskan oleh kolonialisme. Salah satu yang disorot Jeffry adalah lemahnya posisi pemerintah Indonesia terhadap Belanda. “Seharusnya pemerintah menagih kembali utang penjajahan Belanda selama 350 tahun,” kata Jeffry kepada Tempo.

Jeffry, yang sukses mendampingi keluarga korban pembantaian Rawagede memenangi gugatan di pengadilan Belanda, juga menilai seharusnya Belanda mengembalikan pembayaran 4,5 miliar gulden setelah perundingan Konferensi Meja Bundar 1949. Bahkan Jeffry menilai keberadaan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta ilegal. “Karena sampai sekarang Belanda mengakui tanggal kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945 sesuai dengan konstitusi kita.”

Ruang pamer dengan tema "Perbudakan" di pameran “Warisan Kolonial Kita”, Tropenmuseum, Belanda. Foto: Tropenmuseum/Rick Mandoeng

Senada dengan Jeffry, sejarawan Marjolein van Pagee menilai warisan kolonial bahkan jauh lebih merusak dari sekadar apa yang telah terjadi. “Ideologi kolonialisme tidak pernah mati,” tuturnya. Ia menganalogikan bahwa inti dari kolonialisme adalah eksploitasi untuk mendapat untung sebesar-besarnya. “Mencaplok lahan, mencuri, memaksa, dan membunuh untuk menguasai sumber daya (alam) masih terjadi sampai saat ini,” ucap perempuan ahli sejarah kolonial lulusan Universiteit Leiden itu.

Pemindahan orang secara paksa oleh kuasa kolonial Belanda, baik dari Afrika ke Asia maupun dari Asia ke Amerika, secara sosiologis dinilai sangat bermasalah. Pasalnya, mereka yang dibawa paksa di bawah todongan senjata itu harus tercerabut dari akar budaya di tempat asal masing-masing. Hal ini juga terkait dengan pandangan superioritas orang kulit putih terhadap orang lokal yang mereka nilai terbelakang.

Marjolein van Pagee juga menyoroti perbedaan cara pandang orang Belanda terhadap sejarah kolonialisme dengan Perang Dunia Kedua. Mereka dengan terbuka mengutuk kekejian Nazi Jerman di Belanda dan Jepang di Indonesia, tapi tidak bersuara terhadap kekejaman Belanda selama menduduki Indonesia. “Era kolonial adalah pelanggaran hak asasi manusia yang sangat buruk,” ujarnya.

•••

HAL lain adalah soal repatriasi atau pemulangan barang-barang jarahan kolonial. Meski berkomitmen mengembalikannya, Tropenmuseum dinilai tidak serius. Sebagai bagian dari Museum Nasional Kebudayaan Dunia (NMVW), mereka seharusnya mengembalikan semua barang rampasan. “Pengembalian itu harus dilihat bukan karena kebaikan Belanda, tapi kewajiban,” kata Jeffry Pondaag.

Selain Tropenmuseum di Amsterdam, beberapa museum lain berada di bawah payung NMVW, yakni Afrikamuseum (Museum Afrika) di Berg en Dal, Museum Voolkunde (Museum Etnologi) di Leiden, dan Wereldmuseum (Museum Dunia) di Rotterdam.

NMVW sejatinya membagikan tata cara untuk mengklaim benda peninggalan milik Indonesia di situsnya, dari mendaftar dan memasukkan klaim atas barang yang ada. Dilanjutkan dengan proses verifikasi hingga akhirnya akan diputuskan oleh Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan. Setelah pengembalian keris Diponegoro pada 2020, tidak terdengar lagi aktivitas repatriasi barang-barang lain.

Sayangnya, pihak NMVW enggan membagikan informasi mengenai perkembangan pengembalian barang, termasuk apakah ada klaim yang masuk terhadap koleksi mereka yang lain dan berapa banyak klaim yang masuk tersebut. Dalam surat elektronik balasan, NMVW beralasan sedang sibuk menyiapkan pameran baru. “Kami (juga) kekurangan staf,” begitu tertulis di surat elektronik.

Di situs NMVW, dengan pencarian menggunakan kata kunci “Indonesie”, ada 318.858 dari total 844.879 benda yang mereka kuasai. Sementara itu, dengan pencarian memakai kata kunci “Indonesia”, akan keluar hasil sebanyak 8.031 benda. Di antaranya artefak batu Durga, Nandiswara, Syiwa, Ganesha, dan Nandi dari zaman Singosari 1275-1300; perhiasan dari berbagai daerah; serta keris dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali.

Pemerintah Belanda bukannya tanpa tekanan. Di dalam negeri Belanda, kelompok oposisi kerap bersuara keras terkait dengan kebijakan Belanda terhadap negeri bekas koloninya. Salah satunya dari Partai BIJ1. Dalam sikap partainya, selain mendesak pengembalian barang rampasan, BIJ1 mendesak pemerintah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945, bukan 1949.

BIJ1, yang berdiri pada 2016, juga mendesak permintaan maaf atas sejarah perbudakan dan pendudukan selama periode kolonial. Permintaan maaf Raja Willem-Alexander pada 2020 untuk kekerasan berlebihan pada 1945-1949 dinilai tidak cukup. “Kenapa cuma untuk empat tahun itu? Seharusnya minta maaf untuk penjajahan selama 350 tahun,” tutur Lyra Tilder, salah satu anggota Partai BIJ1.

Sepertinya permintaan maaf Raja Willem dan pengembalian keris pada tahun yang sama tersebut memang dirancang—seperti yang dikatakan Jeffry Pondaag—sebagai seremoni. Belanda belum pernah secara resmi mengakui penindasan, pembunuhan, dan eksploitasi terhadap Indonesia yang membuat mereka kaya. Belanda juga belum mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945. “Anda berharap mereka menulis ulang sejarah? Tidak. Ini semua cuma permainan mereka,” ujar Marjolein van Pagee.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tito Sianipar

Tito Sianipar

Kontributor Tempo di Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus