Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku karya Eric Buvelot tentang perubahan sosial di Bali selama 50 tahun terakhir.
Hasil wawancara Eric Buvelot, jurnalis Prancis, dengan pengamat Bali, Jean Couteau.
Dialog Eric Buvelot-Jean Couteau di buku ini terasa bernas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“SALAH satu kesalahpahaman besar para gay dari Barat adalah saat melihat betapa akrabnya pergaulan para lelaki Bali, mereka mengira itu bisa didekati.” Jawaban menggelitik ini muncul dari Jean Couteau saat ia ditanya tentang banyaknya gay (juga paedofil) dari Eropa yang datang ke Bali mencari “mangsa”. Couteau lalu menjelaskan konsep tubuh orang Bali. Ia mengamati ada perilaku seksual yang dulu secara tradisional dianggap normal tapi kini bisa digolongkan sebagai penyimpangan. Misalnya perilaku mecenceng juwuk, tindakan sesama wanita saling mengusap genital yang dulu dipandang wajar, sekarang bisa dituduh “lesbianisme”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawaban-jawaban Mengejutkan Jean Couteau
Jean Couteau, 77 tahun, kita kenal sebagai orang Prancis yang lama menetap di Bali. Sejak 1970-an ia mengamati Bali. Ia kolumnis di banyak media. Lelaki yang rambutnya kadang dikucir ini dikenal luwes dalam pergaulan. Ia banyak menulis buku keren tentang Bali, di antaranya Time, Rites and Festivals in Bali (bersama I Gusti Nyoman Darta dan Georges Breguet, 2014), Myth, Magic, Mystery in Bali (2017), Lempad: A Timeless Balinese Master (bersama Ana Gaspar dan Antonio Casanovas, 2018), serta Bali Today: Love and Social Life (2020) yang merupakan kumpulan tulisannya di harian Bali Post dalam kurun 1991-1994. Kini muncul buku baru yang lain daripada yang lain. Buku ini berisi wawancara jurnalis Prancis, Eric Buvelot, dengan dirinya. Wawancara ini menggali pandangan-pandangannya mengenai 50 tahun perubahan Bali. Buku ini lebih dulu diterbitkan dalam bahasa Prancis, kemudian diterjemahkan Diana Darling ke bahasa Inggris. Buvelot memilih pendekatan jurnalistik dengan format tanya-jawab.
Justru karena tidak berpretensi akademis, pembicaraan tidak dibatas-batasi dan jauh dari kaku. Pertanyaan-pertanyaan Buvelot bisa bergerak leluasa. Banyak hal yang dijangkau sampai menyerempet hal tabu. Format ask-answer membuat jawaban-jawaban Couteau mengalir, terlihat apa adanya, dan jujur. Buku ini cenderung seperti percakapan dua sahabat tanpa disensor mengenai semua aspek kehidupan Bali. Dialognya spontan, kaya, penuh warna. Saat membicarakan seksualitas, Couteau, misalnya, berani mengulik jauh tentang hasrat, kejantanan, ketidaksetaraan gender, erotisme dan pornografi, hubungan seks antar-ras, vulgarisme, serta prostitusi. Uraian Couteau sering informatif. Misalnya tatkala membahas ciuman. Ia menyatakan sebelum mengenal ciuman bibir ala Barat sesungguhnya di Bali yang disebut ciuman adalah mendekatkan hidung dengan hidung. Ciuman bibir adalah budaya impor.
Persoalan seks, tubuh, dan hasrat tersebut hanya salah satu tema yang dibicarakan. Buvelot membagi wawancaranya menjadi empat tema besar: “Kama”, “Arta”, “Darma”, dan “Moksa”. Setiap tema terdiri atas beberapa wawancara. Secara keseluruhan ada 16 wawancara panjang. Dalam “Arta”, mereka antara lain berdialog tentang kelas menengah Bali, kasta, dan pendidikan. Sementara itu, dalam “Darma” topiknya adalah tradisi, agama, dan etika. Dalam “Moksa” mereka membicarakan hubungan warga Bali dengan Islam, bahkan bertukar pikiran mengenai ateisme. Couteau tak pernah mengemukakan pendapatnya bertolak mentah-mentah dari lensa konsep filsafat Hindu mapan atau kategorisasi klise Barat, melainkan dari pengamatan empiris kehidupan sehari-hari. Saat membicarakan penanganan masyarakat Bali terhadap orang gila, misalnya, ia berseloroh, “Jika Michel Foucault datang ke Bali ia pasti menulis ulang bukunya, Madness and Civilization.”
Minat Couteau adalah membaca pergeseran tradisi masyarakat Bali dari agraris ke modern. Sewaktu ia datang pertama kali di Bali pada 1972, Bali masih “sepi”. Couteau blakblakkan berkata Bali kini cenderung kapitalis. Semua keputusan pertimbangan di bidang apa pun bertolak dari norma kapitalisme. Namun masyarakat Bali tidak mau mengakui secara terbuka realitas tersebut. Menurut Couteau, hal itu mengakibatkan banyak munculnya kontradiksi dan paradoks. Saat membahas hubungan masyarakat Bali dengan warga muslim dan keturunan Tionghoa, Couteau mengutarakan panjang-lebar bagaimana pada 1970-an muslim dan warga Tionghoa masih dianggap bagian dari Bali karena jumlah mereka kecil.
Saat itu banyak pura Bali memiliki altar Cina. Sementara itu, terdapat beberapa kuburan muslim yang dianggap keramat. Namun tatkala populasi muslim sekarang 20 persen dan makin banyak pendatang Cina dari luar Bali membeli tanah di Bali, hal itu memunculkan problem “the other” tersendiri. Problem identitas juga dipicu turisme. Masyarakat Bali, menurut Couteau, sering membaca dirinya sendiri melalui kacamata orang Barat yang menuntut Bali menjadi sebuah “surga”. Obsesi turistik Barat itu sangat kuat mengkristalisasi identitas Bali sekarang.
Yang sering mencuat dalam wawancara adalah pembicaraan mengenai makin menguatnya formalisme Hindu atau indianisasi Hindu di Bali. Pembicaraan reindianisasi itu menyelip di antara pembicaraan seks, pendidikan, dan kriminalitas. Agaknya fenomena indianisasi Hindu Bali itu menjadi kerisauan pribadi Couteau. Bagi Couteau, formalisme Hindu atau yang dia istilahkan sebagai neo-Hindu atau pan-Hindu adalah fenomena yang muncul belakangan. Agama Hindu Bali, menurut Couteau, sejatinya bertumpu pada gabungan pemujaan leluhur, dewa-dewa lokal, dan dewa Hindu. Couteau melihat agama rakyat di Bali amat memuliakan kekudusan alam. Setiap tempat meiliki “penguasa niskalanya” sendiri-sendiri. Kepercayaan ini lebih tua dari pengaruh India Hindu.
Jean Couteau. lemhannas.go.id
Dalam ritual-ritual dewa lokal, dewa Hindu bisa saling fluid. Secara menarik, Couteau mengamati fenomena trance tatkala seseorang kerasukan, yang menurut dia banyak menyebutkan nama dewa-dewa lokal, jarang Siwa atau Wisnu. Formalisme membuat teologi menjadi rigid. Dulu orang Bali menurut Couteau sering guyon tentang Batara Celak, dewa phallus. Namun sekarang mereka tak bisa seenaknya membicarakan Wisnu atau Krisna. Sekarang di Bali terdapat gejala fenomena “kembali ke India”, seperti ziarah ke India mencari air suci. Hal demikian, menurut Couteau, juga tidak ada dalam konsep religi Bali sebelumnya.
Yang menarik, Couteau melongok tanda-tanda perujukan pada teks kanon India sudah muncul dalam tragedi 1965. Untuk menjustifikasi pembunuhan massal kaum kiri di Bali, beberapa kalangan menyitir Bhagavadgita. Kitab itu kita tahu intinya adalah kisah Krisna yang memberi penguatan moral terhadap Arjuna untuk mau tak mau membunuh para saudara sepupunya sendiri, Kurawa, demi darma. Menurut Couteau, sesungguhnya Bhagavadgita tidak begitu dikenal di Bali. Ledakan bom di Bali 20 tahun lalu, menurut Couteau, mempengaruhi makin menguatnya neo-Hindu. Teks-teks India dipenetrasikan lembaga-lembaga pendidikan ke desa-desa. Teks menciptakan fabrikasi kebenaran dan distorsi atasnya memunculkan problem otherness. Teks-teks India, Couteau menjelaskan, banyak menggunakan terminologi-terminologi Hindu yang bukan berasal dari pengalaman religi Bali sendiri. Couteau khawatir ekses berlebihan akan menciptakan ortodoksi, intoleransi, dan xenophobia.
Pendapat Couteau tentang “tidak begitu pentingnya” memahami religi masyarakat Bali berdasarkan teks-teks mungkin agak berseberangan dengan pendapat filolog seperti Andrea Acri. Acri antara lain melihat Bali mewarisi kontinuitas tradisi literer keagamaan sejak masa Kerajaan Majapahit. Teks-teks Tutur/Tattva (teks esoteris), seperti Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Ganapatitattva, dan Sarasamucaccaya, yang menyebar luas di masyarakat diperkirakan berasal dari masa Majapahit antara abad ke-13 dan ke-15. Teks-teks itu, menurut Acri, juga memiliki paralelisme dengan siwaisme di India.
Namun tak dapat dimungkiri pendapat Couteau mengenai religi asli Bali sangat argumentatif. Di sana-sini pengetahuannya tentang folklor religi kerakyatan non-Hindu India muncul. Ia bisa berbicara tentang kisah Lud Lud Peng, monster yang memiliki penis panjang dan besar yang sering mengintip wanita mandi di sungai. Kemudian, ia tiba-tiba ia berbicara ihwal kepercayaan tentang Sang Hyang Embang—kekosongan sublim yang lebih tinggi daripada Siwa atau Wisnu. Betapapun terlihat “ngalor-ngidul” dan tidak ingin terjebak kategorisasi, sesungguhnya tema yang diusung Couteau tetap dalam ranah minat ilmu sosial. Hasrat, relasi kuasa, gender, marginalisasi, migrasi, dan lain-lain adalah tema “milik” ilmu sosial. Hanya, hal itu diutarakan tidak dengan rigid, melainkan dalam pembicaraan yang lepas dan obrolan santai.
Buku ini patut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ini bisa menjadi model bagaimana seorang scholar selain menulis di jurnal juga bisa menumpahkan pemikirannya. Thick description—istilah Clifford Geertz tentang deskripsi yang dalam—ternyata bisa tertuang bukan saja melalui monografi, tapi juga lewat tanya-jawab yang intens. Tentu saja faktor penentu adalah kepiawaian pewawancara. Dalam konteks ini, Erick Buvelot mampu membuat Jean Couteau merasa nyaman dan menumpahkan “emosinya”. Kadang Buvelot mendebat, membuat terpancing Couteau untuk menjelaskan lebih rinci pandangannya. Tapi, yang paling penting, Buvelot mampu memahami arah argumentasi Couteau dan mengejarnya sampai jauh sehingga menghasilkan discourse.
Buku ini, menurut saya, juga penting bagi para jurnalis. Buku ini menyadarkan bahwa wawancara panjang dengan peneliti bukan melulu seputar persoalan skandal politik atau ekonomi, tapi juga bisa seputar isu cultural studies yang mendalam.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo