BELUM pernah ada 'tertuduh' yang begitu sering dijatuhi hukuman
seperti Teori Evolusi. Kaum "kreasionis" pertengahan 1982
kemarin berhasil mengerahkan berbagai kalangan Nasrani untuk
kembali mengganyang hasil pemikiran Tuan Darwin itu.
Kaum "kreasionis" ada!ah para fundamentalis Kristen (Protestan)
yang dengan teori-teori mereka berusaha mati-matian membuktikan
bahwa penciptaan bumi dan seluruh isinya, tak lain tak bukan,
persis seperti yang tercantum dalam Kitab Genesis, buku pertama
Perjanjian Lama. Dengan kata lain merupakan hasil ciptaan
(kreasi) Tuhan dengan cara yang tidak lewat evolusi alamiah
seperti yang diyakini kalangan ilmu. Susahnya, Bibel menuturkan
kejadian alam yang berbeda itu secara demikian "konkrit", dan
menjadikannya sebagai awal pembeberan sejarah manusia.
Tapi kesulitan tidak hanya dijumpai di kalangan Protestan. Tidak
kurang menarik adalah mengamati kalangan Katolik: bagaimana
Gereja yang maju ini "mendamaikan" kepercayaan dan ilmu.
Terutama karena Paus di sini sejak dulu merupakan poros
perputaran dari semua pertentangan itu. Dan Paus punya
orang-orang tertentu, para ilmuwan yang membantunya.
Bulan Mei tahun lalu misalnya, di villa Renaissance bernama
Casina Pius IV, orang-orang pintar itu berembuk. Mereka adalah
anggota sebuah seminar yang diselenggarakan oleh sebuah akademi
ilmu milik Paus -- aparat ilmiah Vatikan yang bahkan oleh orang
Katolik Roma sendiri kurang dikenal. Akademi tersebut memajang
70 ilmuwan, 24 di antaranya penerima Hadiah Nobel, berasal dari
sekitar 25 negeri. Bersidang secara teratur di bawah restu Paus
untuk mendiskusikan berbagai masalah ilmiah.
Selama ini berbagai topik sudah sempat mereka perbincangkan:
penyakit parasit, bahan bakar biomas, peredaran bintang Bima
Sakti, keterbelakangan mental, perkembangan genetik, dan masalah
evolusi itu. Juga studi tentang -- termasuk pemanfaatan tenaga
nuklir, sambil memperingatkan dunia akan bahaya perang nuklir.
Paus Yohannes Paulus II sendiri yang mencanangkan topik ini.
UNTUK tiga tahun mendatang, para akademisi akan menggodok
berbagai masalah mendesak lainnya-menurut Mayo Mohs dalam
majalah Discover. Yang paling dianggap mendesak mungkin
penyelidikan kembali tentang kehidupan, karya dan kutukan Gereja
terhadap Galileo Galilei, menurut Mohs pula Diingatkan kembali,
Galileo Galilei pernah dikenai tahanan rumah pada 1933 oleh
Pengadilan Roma karena mempertahankan teori heliosentris
Copernicus.
Teori itu berpegang pada kesimpulan bahwa bumi dan planet-planet
lainnya beredar di sekeliling matahari yang berputar pada
porosnya. Ini bertentangan langsung dengan pandangan bumi
Ptolemaeus dari masa abad pertengahan -- bahwa bumi berada di
pusat dunia, dengan matahari, bintang-bintang dan planet-planet
menggelandang di sekitarnya. Inilah konon dunia yang diciptakan
Tuhan untuk manusia. Dan inilah pula pandangan Gereia berdasar
Alkitab.
Pertemuan kalangan akademikus tahun kemarin itu ditandai dengan
peringatan hari lahir ke-100 Albert Einstein Dan ini oleh Paus
Yohannes Paulus II dianggap kesempatan yang baik untuk
merehabilitasi nama Galileo. Seperti Einstein juga, Galileo
mencirii sebuah era pada zamannya, kata Paus. Dan seperti
Einstein, "kebesarannya dikenal semua orang."
Hatta maka Paus pun menghimbau, agar konflik lama yang tidak
sepantasnya antara kebebasan intelektual dan otoritas Gereja,
diperiksa kembali -- untuk "menciptakan kembali keselarasan
antara ilmu dan kepercayaan."
Lalu akademi yang menjadi salah satu tangan Paus ini memulai
lacakan pertamanya terhadap Accademia dei Lincei. Mengambil nama
dari Iynxes, binatang dongengan yang konon mempunyai pandangan
tajam, Accademia dei Lincei itu dulu menggabungkan sekelompok
ilmuwan. Malah belakangan Galileo sendiri juga menjadi
anggotanya. Mereka pertama kali berkumpul pada 1603. Tapi
setelah Galileo dikecam, ketajaman pandangan Lynxes pun meredup.
PAUS Pius IX, yang mulanya liberal minded, membangun kembali
akademi menurut model Lynxes itu pada 1874. Tapi kelompok itu
kembali kena sandung. Dan sementara orang-orang Italia sekular
mengambil alih nama dan semangat akademi, Pius -- yang menamakan
dirinya 'tawanan dari Vatikan' -- mencoba bermain utak-atik
dengan sesuatu yang modern. Pelajaran tentang Kekeliruan
Sillabus of Errors)-nya yang diumumkan pada 1864 memang tidak
secara tegas mengutuk ilmu modern, tapi Gereja dengan jelas
mengecam gagasan-gagasan progresif.
Lamentabili, Mahkamah Agama, pada 1907 pernah menetapkan bahwa
Katolisisme modern bisa saja berdamai dengan 'ilmu murni'. Tapi
penolakan besar-besaran terhadap 64 orang 'modernis' yang
terjadi kemudian, telah membikin ganjalan antara dua kubu dan
merintangi kebebasan masing-masing pihak: ilmuwan dan agamawan.
Lebih jauh, pada 1909 Komisi Alkitab Vatikan melarang bab
pertama Kitab Kejadian "dianggap apa pun selain dari pada
cacatan sejarah kata perkata."
Paus Benedict XV menghidupkan kembali akademi pada 1920-an,
dalam bentuk yang sederhana. Dan belum sampai 1930-an, Paus Pius
XI menamainya dengan nama yang sekarang dan mendorongnya
berperan sesuai dengan tuntutan zaman. Malah keanggotaannya
tidak lagi memandang bangsa, ras atau tingkat keimanan
seseorang. Tanpa keimanan sama sekalipun boleh, pokoknya asal
ilmuwan.
Maka di dalam daftar anggotanya dapat ditemukan mereka ini:
sosiolog Corneile Heymans dan para ahli fisika Niels dan Aage
Bohr, Max Planck, Sir I James Chadwick dan Werner Heisenberg.
Semuanya pemenang Hadiah Nobel.
Pada 1960, Paus Johannes XXIII mengangkat Abbe (Pendeta) Georges
Lemaitre sebagai presiden Akademi. Ia ini pendeta berkebangsaan
Belgia, juga astronom yang pernah menjadi pendukung utama
asal-usul dunia menurut versi 'resmi '. Lemaitre memegang
jabatan itu sampai saat meninggalnya pada 1966. Belakangan di
dalam daftar keangotaan Akademi terdapat nama-nama terkenal
masa kini: ahli genetik kelahiran India Har Gobind Khorana,
biolog molekul Amerika David Baltimore, dan ahli bio-kimia
kelahiran Spanyol Severe Ochoa.
Vatikan memperoleh semua orang berbakat itu dengan harga yang
pantas. Anggaran tahunan Akademi sekitar US$ 120 ribu
diperuntukkan terutama bagi penerbitan dan ongkos perjalanan
berkenaan dengan urusan Akademi. Hanya saja, kendati para
anggota menerima rantai emas yang indah pada saat pelantikan
resmi, dan sebutan 'Yang Mulia' di lingkungan Vatikan, mereka
tak bergaji.
Elite 70 itu dipilih melalui pencalonan, kemudian dikukuhkan
oleh Paus -- yang punya satu-satunya suara yang berpengaruh
mutlak dalam suatu keputusan yang diambil. Anggota Akademi
Jerome Lejeune, spesialis genetik manusia, terlihat sangat
aktif. Tapi sebagian terbesar lainnya adalah ahli dari luar yang
jika dipandang perlu diundang untuk menyumbangkan pikiran di
bidang masing-masing: paleontologi, genetika, biologi molekular.
"Mereka, tanpa kecuali, mengambil bagian dalam perdebatan
kreasionisme melawan evolusi," tutur Mohs. Tentu saja disertai
pembuktian-pembuktian ilmiah mutakhir, sedapat-dapatnya, melalui
disiplin ilmu masing-masing. Dalam banyak hal mereka mencapai
kemajuan.
Satu hal yang menjadi masalah pokok adalah: apakah nenek moyang
hominid pertama dari manusia memecah diri dari keluarga kera
pada sekitar 20 juta tahun lalu atau lebih belakangan, antara
lima sampai tujuh juta tahun yang lalu. Anda sudah tahu, hominid
adalah jenis binatang menyusui asal primate yang mulai memecah
diri menjadi kita-kita ini. Begitu konon.
Para anggota Akademi lebih senang pada angka yang lebih muda --
mendasarkan argumen pada besarnya peranan primate kuno
Romapithecus pada tahap evolusioner. Sejumlah ilmuwan tetap
menganggap Ramapithecus, yang konon hidup antara 14 dan tujuh
juta tahun lalu, sebagai hominid yang kemudian menjurus menjadi
manusia. Kelompok pekerja ilmu Vatikan umumnya mengakui bahwa
primate adalah hominid yang cabang-cabangnya memecah menjadi
kera dan manusia. Sementara Ramapithecus diduga menjadi orang
utan, seperti yang ditemui hinga kini di Malaysia dan Sumatera.
YANG cukup meyakinkan adalah laporan hasil eksperimen ahli
ilmu fisika nuklir Jerold Lowenstein dari Universitas
California, San Francisco. Lowenstein bekerja dengan suatu
teknik yang membandingkan protein fosil-fosil dengan protein
binatang yang masih hidup. Ia sampai pada kesimpulan bahwa
pecahan tulang-tulang Ramapithecus mengandung protein yang sama
seperti yang terdapat pada orang utan, gorilla dan siamang. Nah.
Kini tinggal lagi bagaimana membulatkan konsensus di antara
ilmuwan-agamawan itu sendiri. Akademikus Lajeune menghimbau
kolega-koleganya agar mengambil suatu sikap tertentu dalam
perdebatan yang masih berlangsung antara para neo-Darwinis dan
suatu kelompok teorikus yang baru tumbuh.
Pengikut Darwin berpegang pada prinsip evolusi bertahap melalui
seleksi alam. Sementara lawannya menganggap evolusi sebagai
proses pada "keseimbangan yang berhenti di satu titik". Yaitu
setelah melalui suatu periode panjang yang relatif stabil, lalu
tiba-tiba terputus mendadak, dan lahirlah perkembangan dramatis.
"Menurut gagasan itu, species ber-evolusi secara perlahan-lahan
dan dengan cara yang peka selama beribu-ribu tahun, sampai pada
satu saat pra chimpanzee secara progresif menjadi chimpanzee,"
Lejeune mengungkapkan. "Cerita ini memang tidak lumrah."
Pandangannya sendiri tentang 'keseimbangan yang berhenti di satu
titik' adalah: "si evolusioner membuat lompatan karena
terjadinya penataan kembali chromosomol yang utama dan langka.
Ini lalu secara tiba-tiba mengubah pola genetika dan mengisolasi
benih baru secara reproduktif -- yang menghasilkan penciptaan
species 'dalam sehari semalam'."
Sidang pleno Akademi berlangsung hanya sekali dalam dua tahun.
Namun sejak Yohanes Paulus II menjadi Paus (sementara presiden
Akademi adalah Carlos Chagas, fisiolog saraf asal Brazalia, yang
bersemangat), keadaan menjadi lain. Kelompok-kelompok studi dan
kegiatan-kegiatan lainnya membuat akademi itu paling sibuk
sepanjang sejarahnya.
Chagas adalah kekuatan pendorong di belakang riset penyakit
parasit serta berbagai topik lainnya yang menyangkut masalah
negeri-negeri berkembang. Ahli fisika kelahiran Austria, Victor
Weisskopf, yang bekas direktur Pusat Riset Nuklir Eropa (CERN),
dalam pada itu merupakan "telinga Paus" yang lain. Dialah
orangnya yang mengingatkan Paus tentang ketidakmungkinan sama
sekali penggunaan obat-obatan untuk menyembuhkan korban perang
nuklir. Juga Weisskopf, yang mendorong Paus mengunjungi
Hiroshima dan Nagasaki pada 1981.
Sesudah sekelompok pekerja ilmu Akademi menyelesaikan
penelitiannya pada akhir Desember 1981, sebagai buntut
pengganyangan nuklir habis-habisan, Vatikan secara resmi
mengirimkan rombongan-rombongan utusannya ke hadapan para
negarawan terkemuka dunia. Tersebutlah di dalamnya nama-nama:
Ronald Reagan, Margareth Thatcher, Francois Mitterand dan
mendiang Leonid Brezhnev. Brezhnev konon yang paling ramah
menyambut, kendati presiden Uni Soviet itu 'paling tidak biasa'
duduk bersama delegasi Vatikan.
Di Washington, Weisskopf menyebut "pertemuan kami dengan
Presiden Reagan berlangsung seluruhnya dalam sepuluh menit." Ia
menghibur dirinya dengan sambutan yang makin hangat yang
diterimanya dari uskup-uskup Katolik AS berkenaan dengan
pengurangan senjata nuklir. Weisskopf sendiri percaya, "itu
tentu dipengaruhi oleh hasil-hasil yang dicapai Akademi."
* * *
Tapi apa yang sesungguhnya dapat disebut hasil Akademi, menurut
sang pengarang, adalah citra baru tentang Galileo di mata umat
Katolik. Kasus Galileo memang kaya dengan pertentangan pendapat,
alasan-alasan membabi buta dan kabut kebohongan.
Musuh utama dan pertama-tama Galileo adalah pastor Yesuit yang
terpelajar, Robert Bellarmine. Penulis cemerlang terhadap
reformasi Protestan, Bellarmine juga penentang teori James I
dari Inggris tentang campur tangan raja-raja -- di bidang
keagamaan. Sang Yesuit adalah seorang fundamentalis injil yang,
untungnya, senantiasa menjadikan Alkitab sebagai "sumber fakta
ilmu" maupun inspirasi spiritual.
Jika Alkitab berkata bahwa "matahari terbit dan matahari
tenggelam", atau menyebut bahwa Yoshua memerintahkan matahari
berhenti di atas Gibeon, itu --menurut Bellarmine-merupakan
bukti bahwa matahari beredar mengitar, seperti ajaran
Aristoteles dan Ptolemeus. "Bellarmine salah, tentu saja," tulis
Mohs mengomentari.
Tapi teolog Katolik Roma Hans Kung -- yang belakangan berselisih
dengan Vatikan -- menilai argumen alkitabiah itu dari permukaan
saja. "Apa yang harus dipertahankan," katanya dalam bukunya
(1980) Does God Exist? (Adakah Tuhan?), "adalah supremasi
teologi yang legal terhadap hirarki ilmu pengetahuan."
Kung menyimak, kutukan terhadap Galileo "secara tidak jujur dan
melampaui batas dihubungkan dengan perpecahan Timur-Barat dan
pemisahan-pemisahan kepercayaan di Barat sebagai salah satu dari
tiga bencana terbesar di dalam sejarah Gereja. Itu memainkan
peranan pokok dalam membuka kesenjangan antara Gereja dan
peradaban modern -- yang usaha untuk menjembataninya masih
jauh."
TAPI jika Bellarmine salah, Galileo paling sedikit gegabah --
Mohs mencoba menarik kesimpulan. Copernicus mendasarkan teori
heliosentrisnya tentang tata surya sebagai hipotesa matematika
tanpa pembuktian nyata. "Galileo sendiri mulanya skeptis
mengenai hal itu," tutur penulis yang sama, "mengalihkan
teleskopnya ke angkasa dan menemukan apa yang dia anggap sebagai
pembuktian " Galileo menyimak permukaan bulan, dan hanya dapat
menjelaskan bahwa planet tersebut beredar mengelilingi matahari.
Lalu, dari pengamatannya terhadap bulan-bulan Yupiter, ia
menarik kesimpulan ini: boleh jadi bumi menarik bulannya sendiri
untuk mengorbit bersama. Timbulnya arus, demikian ia
mensugestikan, tak lain karena perputaran bumi pada sumbunya --
kesimpulan yang ternyata salah. (Ini berkaitan dengan daya tarik
bulan.)
Baik bulan-buian Yupiter maupun permukaan Venus tidak ada kaitan
dengan anggapan kini, bahwa bumi beredar mengitari matahari.
Pergerakan bandul Foucault pada abad XIX membuktikan perputaran
bumi pada porosnya (yang menjelaskan tentang gerakan 'nyata'
matahari yang 'melintasi' langit) dan gejala stellar parallax
pertama diamati dalam abad XIX, menunjukkan bahwa bumi beredar
di sekitar matahari. "Tapi penemuan ini terjadi lama sebelum
Galileo," kata Mohs, tanpa menyebut oleh siapa. Kesimpulannya:
"Dia benar, tapi dengan alasan yang salah."
Toh Galileo ngotot tentang itu, dan cukup berani mengisyaratkan
bahwa Injil sebenarnya "mengatakannya di dalam perumpamaan"
(tidak kata per kata) ketika membicarakan tentang matahari,"
tambah penulis yang sama.
Galileo menulis dan mengajar dalam bahasa Italia -- bahasa
rakyat yang bagi Bellarmine dan kolega-koleganya sangat
berbahaya. Pada 1616 mereka memintanya menghindari teori
Corpernicus dan berhenti mengajarkannya. Sebentar Galileo diam.
Tapi pada 1632 ia menerbitkan Dialog tentang Dua Sistem Utama
Dunia -- yang blak-blakan mendukung Copernicus. Kendati mulanya
buku itu lolos dari sensur Gereja, nyatanya ia memang telah
menyerang Paus Urban VIII, bekas teman dan kolega dalam Lynxes,
dengan menggunakan, dalam buku itu, tokoh pandir yang
mempertahankan sistem Ptolemeus.
Pada saat itu, berusia hampir 70 tahun, sakit, dan ketakutan,
Galileo memohon pertimbangan ketika ia dihadapkan ke Pengadilan
Vatikan. Akhir cerita ia menyangkal sebagai pengikut Copernicus
-- konon dalam bahasa yang menunjukkan bahwa ia ditekan. Ia
dihukum dengan tahanan rumah. Sebuah rumah peristirahatan yang
lebih memadai diterimanya dari Vatikan, kemudian.
Tampaknya tidak akan ada lagi "pengadilan ulang" terhadap
Galileo. Akademi yang berada di bawah kepausan itu, bekerja sama
dengan Sekretariat Vatikan untuk Kaum Pengingkar, tahun 1983 ini
akan menerbitkan sebuah koleksi yang disebut Mithos Galileo,
dalam keinginan untuk menyuguhkan fakta.
Kemudian kedua lembaga itu akan menyelidiki kasusnya secara
detil. "Agaknya mereka akan menemukan beberapa kesalahan dari
kedua belah pihak," kata penulis karangan ini. Tapi paling
sedikit pembelaan Galileo yang penuh amarah tentang keyakinan
ilmiah, akan bertahan -- sementara kesetiaan Bellarmine terhadap
bunyi Alkitab tidak. "Itu sudah digantikan oleh pengertian yang
lebih rumit tentang Injil."
Ironi memang ada. Musim gugur tahun kemarin Akademi lindungan
Paus itu memperingati penanggalan Gregorian -- yang pada 1582
menggantikan penanggalan Julian yang waktu itu sudah berusia 16
abad. Adalah astronom Yesuit yang menyusun kembali penanggalan
bagi Paus Gregorius XIII -- dengan menggunakan unsur-unsur
sistem Copernicus sebagai dasar hitungan Paus Yohannes Paulus,
sementara itu, telah membcrikan petuah ilmiah di depan akademi
ilmu tersebut untuk menghormatj Albert Einstein, pada 1979
"Kerja sama antara agama dan ilmu pengetahuan adalah untuk
keuntungan kedua pihak, tanpa saling merusakkan otonomi kedua
pihak," kata Paus. "Seperti agama menginginkan kebebasan
beragama, ilmu juga berhak menuntut kebebasan untuk melakukan
riset." Ia kemudian mengutip dokumen Dewan Vatikan kedua,
Gaudium et spes (1965), tentang "otonomi sah kebudayaan umat
manusia, dan terutama di bidang ilmu pengetahuan."
Para ilmuwan, yang menganggap kalimat-kalimat itu sebagai carte
blanche (surat mandat) untuk jenis eksperimen apa pun, tentu
arif bahwa amanat Paus Yohannes Paulus II itu, bagaimanapun,
bermata dua: di satu pihak mendorong, di lain pihak
mengingatkan. Ia memang sudah sering mengisyaratkan akan
riset-riset yang diharamkan (pemandulan in vitro, misalnya) dan
memperingatkan bahwa teknologi dapat menghancurkan, seperti juga
mengembangkan peradaban.
Satu hal, sikap positif yang mendasar dari Paus terhadap ilmu
dan para ilmuwan secara menyeluruh tampaknya jelas. "Dan ia
cenderung menganggap Galileo sebagai putra Gereja yang
diperlakukan dengan kejam," Mohs menyimpulkan. Pada 1981, dalam
sidang pleno Akademi, Yohannes Paulus mencatat bahwa Injil
"tidak ingin mengajarkan bagaimana surga dibuat, tapi bagaimana
caranya orang dapat pergi ke sana."
Itu, menurut pengarang tulisan ini, sangat akrab dengan yang
ditulis Galileo dalam pembelaan terhadap dirinya sendiri 350
tahun yang lalu: "Injil mengajarkan bagaimana caranya pergi ke
surga, bukan bagaimana (atau hendak ke mana) surga pergi'
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini