Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para ilmuwan paus

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM pernah ada 'tertuduh' yang begitu sering dijatuhi hukuman seperti Teori Evolusi. Kaum "kreasionis" pertengahan 1982 kemarin berhasil mengerahkan berbagai kalangan Nasrani untuk kembali mengganyang hasil pemikiran Tuan Darwin itu. Kaum "kreasionis" ada!ah para fundamentalis Kristen (Protestan) yang dengan teori-teori mereka berusaha mati-matian membuktikan bahwa penciptaan bumi dan seluruh isinya, tak lain tak bukan, persis seperti yang tercantum dalam Kitab Genesis, buku pertama Perjanjian Lama. Dengan kata lain merupakan hasil ciptaan (kreasi) Tuhan dengan cara yang tidak lewat evolusi alamiah seperti yang diyakini kalangan ilmu. Susahnya, Bibel menuturkan kejadian alam yang berbeda itu secara demikian "konkrit", dan menjadikannya sebagai awal pembeberan sejarah manusia. Tapi kesulitan tidak hanya dijumpai di kalangan Protestan. Tidak kurang menarik adalah mengamati kalangan Katolik: bagaimana Gereja yang maju ini "mendamaikan" kepercayaan dan ilmu. Terutama karena Paus di sini sejak dulu merupakan poros perputaran dari semua pertentangan itu. Dan Paus punya orang-orang tertentu, para ilmuwan yang membantunya. Bulan Mei tahun lalu misalnya, di villa Renaissance bernama Casina Pius IV, orang-orang pintar itu berembuk. Mereka adalah anggota sebuah seminar yang diselenggarakan oleh sebuah akademi ilmu milik Paus -- aparat ilmiah Vatikan yang bahkan oleh orang Katolik Roma sendiri kurang dikenal. Akademi tersebut memajang 70 ilmuwan, 24 di antaranya penerima Hadiah Nobel, berasal dari sekitar 25 negeri. Bersidang secara teratur di bawah restu Paus untuk mendiskusikan berbagai masalah ilmiah. Selama ini berbagai topik sudah sempat mereka perbincangkan: penyakit parasit, bahan bakar biomas, peredaran bintang Bima Sakti, keterbelakangan mental, perkembangan genetik, dan masalah evolusi itu. Juga studi tentang -- termasuk pemanfaatan tenaga nuklir, sambil memperingatkan dunia akan bahaya perang nuklir. Paus Yohannes Paulus II sendiri yang mencanangkan topik ini. UNTUK tiga tahun mendatang, para akademisi akan menggodok berbagai masalah mendesak lainnya-menurut Mayo Mohs dalam majalah Discover. Yang paling dianggap mendesak mungkin penyelidikan kembali tentang kehidupan, karya dan kutukan Gereja terhadap Galileo Galilei, menurut Mohs pula Diingatkan kembali, Galileo Galilei pernah dikenai tahanan rumah pada 1933 oleh Pengadilan Roma karena mempertahankan teori heliosentris Copernicus. Teori itu berpegang pada kesimpulan bahwa bumi dan planet-planet lainnya beredar di sekeliling matahari yang berputar pada porosnya. Ini bertentangan langsung dengan pandangan bumi Ptolemaeus dari masa abad pertengahan -- bahwa bumi berada di pusat dunia, dengan matahari, bintang-bintang dan planet-planet menggelandang di sekitarnya. Inilah konon dunia yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Dan inilah pula pandangan Gereia berdasar Alkitab. Pertemuan kalangan akademikus tahun kemarin itu ditandai dengan peringatan hari lahir ke-100 Albert Einstein Dan ini oleh Paus Yohannes Paulus II dianggap kesempatan yang baik untuk merehabilitasi nama Galileo. Seperti Einstein juga, Galileo mencirii sebuah era pada zamannya, kata Paus. Dan seperti Einstein, "kebesarannya dikenal semua orang." Hatta maka Paus pun menghimbau, agar konflik lama yang tidak sepantasnya antara kebebasan intelektual dan otoritas Gereja, diperiksa kembali -- untuk "menciptakan kembali keselarasan antara ilmu dan kepercayaan." Lalu akademi yang menjadi salah satu tangan Paus ini memulai lacakan pertamanya terhadap Accademia dei Lincei. Mengambil nama dari Iynxes, binatang dongengan yang konon mempunyai pandangan tajam, Accademia dei Lincei itu dulu menggabungkan sekelompok ilmuwan. Malah belakangan Galileo sendiri juga menjadi anggotanya. Mereka pertama kali berkumpul pada 1603. Tapi setelah Galileo dikecam, ketajaman pandangan Lynxes pun meredup. PAUS Pius IX, yang mulanya liberal minded, membangun kembali akademi menurut model Lynxes itu pada 1874. Tapi kelompok itu kembali kena sandung. Dan sementara orang-orang Italia sekular mengambil alih nama dan semangat akademi, Pius -- yang menamakan dirinya 'tawanan dari Vatikan' -- mencoba bermain utak-atik dengan sesuatu yang modern. Pelajaran tentang Kekeliruan Sillabus of Errors)-nya yang diumumkan pada 1864 memang tidak secara tegas mengutuk ilmu modern, tapi Gereja dengan jelas mengecam gagasan-gagasan progresif. Lamentabili, Mahkamah Agama, pada 1907 pernah menetapkan bahwa Katolisisme modern bisa saja berdamai dengan 'ilmu murni'. Tapi penolakan besar-besaran terhadap 64 orang 'modernis' yang terjadi kemudian, telah membikin ganjalan antara dua kubu dan merintangi kebebasan masing-masing pihak: ilmuwan dan agamawan. Lebih jauh, pada 1909 Komisi Alkitab Vatikan melarang bab pertama Kitab Kejadian "dianggap apa pun selain dari pada cacatan sejarah kata perkata." Paus Benedict XV menghidupkan kembali akademi pada 1920-an, dalam bentuk yang sederhana. Dan belum sampai 1930-an, Paus Pius XI menamainya dengan nama yang sekarang dan mendorongnya berperan sesuai dengan tuntutan zaman. Malah keanggotaannya tidak lagi memandang bangsa, ras atau tingkat keimanan seseorang. Tanpa keimanan sama sekalipun boleh, pokoknya asal ilmuwan. Maka di dalam daftar anggotanya dapat ditemukan mereka ini: sosiolog Corneile Heymans dan para ahli fisika Niels dan Aage Bohr, Max Planck, Sir I James Chadwick dan Werner Heisenberg. Semuanya pemenang Hadiah Nobel. Pada 1960, Paus Johannes XXIII mengangkat Abbe (Pendeta) Georges Lemaitre sebagai presiden Akademi. Ia ini pendeta berkebangsaan Belgia, juga astronom yang pernah menjadi pendukung utama asal-usul dunia menurut versi 'resmi '. Lemaitre memegang jabatan itu sampai saat meninggalnya pada 1966. Belakangan di dalam daftar keangotaan Akademi terdapat nama-nama terkenal masa kini: ahli genetik kelahiran India Har Gobind Khorana, biolog molekul Amerika David Baltimore, dan ahli bio-kimia kelahiran Spanyol Severe Ochoa. Vatikan memperoleh semua orang berbakat itu dengan harga yang pantas. Anggaran tahunan Akademi sekitar US$ 120 ribu diperuntukkan terutama bagi penerbitan dan ongkos perjalanan berkenaan dengan urusan Akademi. Hanya saja, kendati para anggota menerima rantai emas yang indah pada saat pelantikan resmi, dan sebutan 'Yang Mulia' di lingkungan Vatikan, mereka tak bergaji. Elite 70 itu dipilih melalui pencalonan, kemudian dikukuhkan oleh Paus -- yang punya satu-satunya suara yang berpengaruh mutlak dalam suatu keputusan yang diambil. Anggota Akademi Jerome Lejeune, spesialis genetik manusia, terlihat sangat aktif. Tapi sebagian terbesar lainnya adalah ahli dari luar yang jika dipandang perlu diundang untuk menyumbangkan pikiran di bidang masing-masing: paleontologi, genetika, biologi molekular. "Mereka, tanpa kecuali, mengambil bagian dalam perdebatan kreasionisme melawan evolusi," tutur Mohs. Tentu saja disertai pembuktian-pembuktian ilmiah mutakhir, sedapat-dapatnya, melalui disiplin ilmu masing-masing. Dalam banyak hal mereka mencapai kemajuan. Satu hal yang menjadi masalah pokok adalah: apakah nenek moyang hominid pertama dari manusia memecah diri dari keluarga kera pada sekitar 20 juta tahun lalu atau lebih belakangan, antara lima sampai tujuh juta tahun yang lalu. Anda sudah tahu, hominid adalah jenis binatang menyusui asal primate yang mulai memecah diri menjadi kita-kita ini. Begitu konon. Para anggota Akademi lebih senang pada angka yang lebih muda -- mendasarkan argumen pada besarnya peranan primate kuno Romapithecus pada tahap evolusioner. Sejumlah ilmuwan tetap menganggap Ramapithecus, yang konon hidup antara 14 dan tujuh juta tahun lalu, sebagai hominid yang kemudian menjurus menjadi manusia. Kelompok pekerja ilmu Vatikan umumnya mengakui bahwa primate adalah hominid yang cabang-cabangnya memecah menjadi kera dan manusia. Sementara Ramapithecus diduga menjadi orang utan, seperti yang ditemui hinga kini di Malaysia dan Sumatera. YANG cukup meyakinkan adalah laporan hasil eksperimen ahli ilmu fisika nuklir Jerold Lowenstein dari Universitas California, San Francisco. Lowenstein bekerja dengan suatu teknik yang membandingkan protein fosil-fosil dengan protein binatang yang masih hidup. Ia sampai pada kesimpulan bahwa pecahan tulang-tulang Ramapithecus mengandung protein yang sama seperti yang terdapat pada orang utan, gorilla dan siamang. Nah. Kini tinggal lagi bagaimana membulatkan konsensus di antara ilmuwan-agamawan itu sendiri. Akademikus Lajeune menghimbau kolega-koleganya agar mengambil suatu sikap tertentu dalam perdebatan yang masih berlangsung antara para neo-Darwinis dan suatu kelompok teorikus yang baru tumbuh. Pengikut Darwin berpegang pada prinsip evolusi bertahap melalui seleksi alam. Sementara lawannya menganggap evolusi sebagai proses pada "keseimbangan yang berhenti di satu titik". Yaitu setelah melalui suatu periode panjang yang relatif stabil, lalu tiba-tiba terputus mendadak, dan lahirlah perkembangan dramatis. "Menurut gagasan itu, species ber-evolusi secara perlahan-lahan dan dengan cara yang peka selama beribu-ribu tahun, sampai pada satu saat pra chimpanzee secara progresif menjadi chimpanzee," Lejeune mengungkapkan. "Cerita ini memang tidak lumrah." Pandangannya sendiri tentang 'keseimbangan yang berhenti di satu titik' adalah: "si evolusioner membuat lompatan karena terjadinya penataan kembali chromosomol yang utama dan langka. Ini lalu secara tiba-tiba mengubah pola genetika dan mengisolasi benih baru secara reproduktif -- yang menghasilkan penciptaan species 'dalam sehari semalam'." Sidang pleno Akademi berlangsung hanya sekali dalam dua tahun. Namun sejak Yohanes Paulus II menjadi Paus (sementara presiden Akademi adalah Carlos Chagas, fisiolog saraf asal Brazalia, yang bersemangat), keadaan menjadi lain. Kelompok-kelompok studi dan kegiatan-kegiatan lainnya membuat akademi itu paling sibuk sepanjang sejarahnya. Chagas adalah kekuatan pendorong di belakang riset penyakit parasit serta berbagai topik lainnya yang menyangkut masalah negeri-negeri berkembang. Ahli fisika kelahiran Austria, Victor Weisskopf, yang bekas direktur Pusat Riset Nuklir Eropa (CERN), dalam pada itu merupakan "telinga Paus" yang lain. Dialah orangnya yang mengingatkan Paus tentang ketidakmungkinan sama sekali penggunaan obat-obatan untuk menyembuhkan korban perang nuklir. Juga Weisskopf, yang mendorong Paus mengunjungi Hiroshima dan Nagasaki pada 1981. Sesudah sekelompok pekerja ilmu Akademi menyelesaikan penelitiannya pada akhir Desember 1981, sebagai buntut pengganyangan nuklir habis-habisan, Vatikan secara resmi mengirimkan rombongan-rombongan utusannya ke hadapan para negarawan terkemuka dunia. Tersebutlah di dalamnya nama-nama: Ronald Reagan, Margareth Thatcher, Francois Mitterand dan mendiang Leonid Brezhnev. Brezhnev konon yang paling ramah menyambut, kendati presiden Uni Soviet itu 'paling tidak biasa' duduk bersama delegasi Vatikan. Di Washington, Weisskopf menyebut "pertemuan kami dengan Presiden Reagan berlangsung seluruhnya dalam sepuluh menit." Ia menghibur dirinya dengan sambutan yang makin hangat yang diterimanya dari uskup-uskup Katolik AS berkenaan dengan pengurangan senjata nuklir. Weisskopf sendiri percaya, "itu tentu dipengaruhi oleh hasil-hasil yang dicapai Akademi." * * * Tapi apa yang sesungguhnya dapat disebut hasil Akademi, menurut sang pengarang, adalah citra baru tentang Galileo di mata umat Katolik. Kasus Galileo memang kaya dengan pertentangan pendapat, alasan-alasan membabi buta dan kabut kebohongan. Musuh utama dan pertama-tama Galileo adalah pastor Yesuit yang terpelajar, Robert Bellarmine. Penulis cemerlang terhadap reformasi Protestan, Bellarmine juga penentang teori James I dari Inggris tentang campur tangan raja-raja -- di bidang keagamaan. Sang Yesuit adalah seorang fundamentalis injil yang, untungnya, senantiasa menjadikan Alkitab sebagai "sumber fakta ilmu" maupun inspirasi spiritual. Jika Alkitab berkata bahwa "matahari terbit dan matahari tenggelam", atau menyebut bahwa Yoshua memerintahkan matahari berhenti di atas Gibeon, itu --menurut Bellarmine-merupakan bukti bahwa matahari beredar mengitar, seperti ajaran Aristoteles dan Ptolemeus. "Bellarmine salah, tentu saja," tulis Mohs mengomentari. Tapi teolog Katolik Roma Hans Kung -- yang belakangan berselisih dengan Vatikan -- menilai argumen alkitabiah itu dari permukaan saja. "Apa yang harus dipertahankan," katanya dalam bukunya (1980) Does God Exist? (Adakah Tuhan?), "adalah supremasi teologi yang legal terhadap hirarki ilmu pengetahuan." Kung menyimak, kutukan terhadap Galileo "secara tidak jujur dan melampaui batas dihubungkan dengan perpecahan Timur-Barat dan pemisahan-pemisahan kepercayaan di Barat sebagai salah satu dari tiga bencana terbesar di dalam sejarah Gereja. Itu memainkan peranan pokok dalam membuka kesenjangan antara Gereja dan peradaban modern -- yang usaha untuk menjembataninya masih jauh." TAPI jika Bellarmine salah, Galileo paling sedikit gegabah -- Mohs mencoba menarik kesimpulan. Copernicus mendasarkan teori heliosentrisnya tentang tata surya sebagai hipotesa matematika tanpa pembuktian nyata. "Galileo sendiri mulanya skeptis mengenai hal itu," tutur penulis yang sama, "mengalihkan teleskopnya ke angkasa dan menemukan apa yang dia anggap sebagai pembuktian " Galileo menyimak permukaan bulan, dan hanya dapat menjelaskan bahwa planet tersebut beredar mengelilingi matahari. Lalu, dari pengamatannya terhadap bulan-bulan Yupiter, ia menarik kesimpulan ini: boleh jadi bumi menarik bulannya sendiri untuk mengorbit bersama. Timbulnya arus, demikian ia mensugestikan, tak lain karena perputaran bumi pada sumbunya -- kesimpulan yang ternyata salah. (Ini berkaitan dengan daya tarik bulan.) Baik bulan-buian Yupiter maupun permukaan Venus tidak ada kaitan dengan anggapan kini, bahwa bumi beredar mengitari matahari. Pergerakan bandul Foucault pada abad XIX membuktikan perputaran bumi pada porosnya (yang menjelaskan tentang gerakan 'nyata' matahari yang 'melintasi' langit) dan gejala stellar parallax pertama diamati dalam abad XIX, menunjukkan bahwa bumi beredar di sekitar matahari. "Tapi penemuan ini terjadi lama sebelum Galileo," kata Mohs, tanpa menyebut oleh siapa. Kesimpulannya: "Dia benar, tapi dengan alasan yang salah." Toh Galileo ngotot tentang itu, dan cukup berani mengisyaratkan bahwa Injil sebenarnya "mengatakannya di dalam perumpamaan" (tidak kata per kata) ketika membicarakan tentang matahari," tambah penulis yang sama. Galileo menulis dan mengajar dalam bahasa Italia -- bahasa rakyat yang bagi Bellarmine dan kolega-koleganya sangat berbahaya. Pada 1616 mereka memintanya menghindari teori Corpernicus dan berhenti mengajarkannya. Sebentar Galileo diam. Tapi pada 1632 ia menerbitkan Dialog tentang Dua Sistem Utama Dunia -- yang blak-blakan mendukung Copernicus. Kendati mulanya buku itu lolos dari sensur Gereja, nyatanya ia memang telah menyerang Paus Urban VIII, bekas teman dan kolega dalam Lynxes, dengan menggunakan, dalam buku itu, tokoh pandir yang mempertahankan sistem Ptolemeus. Pada saat itu, berusia hampir 70 tahun, sakit, dan ketakutan, Galileo memohon pertimbangan ketika ia dihadapkan ke Pengadilan Vatikan. Akhir cerita ia menyangkal sebagai pengikut Copernicus -- konon dalam bahasa yang menunjukkan bahwa ia ditekan. Ia dihukum dengan tahanan rumah. Sebuah rumah peristirahatan yang lebih memadai diterimanya dari Vatikan, kemudian. Tampaknya tidak akan ada lagi "pengadilan ulang" terhadap Galileo. Akademi yang berada di bawah kepausan itu, bekerja sama dengan Sekretariat Vatikan untuk Kaum Pengingkar, tahun 1983 ini akan menerbitkan sebuah koleksi yang disebut Mithos Galileo, dalam keinginan untuk menyuguhkan fakta. Kemudian kedua lembaga itu akan menyelidiki kasusnya secara detil. "Agaknya mereka akan menemukan beberapa kesalahan dari kedua belah pihak," kata penulis karangan ini. Tapi paling sedikit pembelaan Galileo yang penuh amarah tentang keyakinan ilmiah, akan bertahan -- sementara kesetiaan Bellarmine terhadap bunyi Alkitab tidak. "Itu sudah digantikan oleh pengertian yang lebih rumit tentang Injil." Ironi memang ada. Musim gugur tahun kemarin Akademi lindungan Paus itu memperingati penanggalan Gregorian -- yang pada 1582 menggantikan penanggalan Julian yang waktu itu sudah berusia 16 abad. Adalah astronom Yesuit yang menyusun kembali penanggalan bagi Paus Gregorius XIII -- dengan menggunakan unsur-unsur sistem Copernicus sebagai dasar hitungan Paus Yohannes Paulus, sementara itu, telah membcrikan petuah ilmiah di depan akademi ilmu tersebut untuk menghormatj Albert Einstein, pada 1979 "Kerja sama antara agama dan ilmu pengetahuan adalah untuk keuntungan kedua pihak, tanpa saling merusakkan otonomi kedua pihak," kata Paus. "Seperti agama menginginkan kebebasan beragama, ilmu juga berhak menuntut kebebasan untuk melakukan riset." Ia kemudian mengutip dokumen Dewan Vatikan kedua, Gaudium et spes (1965), tentang "otonomi sah kebudayaan umat manusia, dan terutama di bidang ilmu pengetahuan." Para ilmuwan, yang menganggap kalimat-kalimat itu sebagai carte blanche (surat mandat) untuk jenis eksperimen apa pun, tentu arif bahwa amanat Paus Yohannes Paulus II itu, bagaimanapun, bermata dua: di satu pihak mendorong, di lain pihak mengingatkan. Ia memang sudah sering mengisyaratkan akan riset-riset yang diharamkan (pemandulan in vitro, misalnya) dan memperingatkan bahwa teknologi dapat menghancurkan, seperti juga mengembangkan peradaban. Satu hal, sikap positif yang mendasar dari Paus terhadap ilmu dan para ilmuwan secara menyeluruh tampaknya jelas. "Dan ia cenderung menganggap Galileo sebagai putra Gereja yang diperlakukan dengan kejam," Mohs menyimpulkan. Pada 1981, dalam sidang pleno Akademi, Yohannes Paulus mencatat bahwa Injil "tidak ingin mengajarkan bagaimana surga dibuat, tapi bagaimana caranya orang dapat pergi ke sana." Itu, menurut pengarang tulisan ini, sangat akrab dengan yang ditulis Galileo dalam pembelaan terhadap dirinya sendiri 350 tahun yang lalu: "Injil mengajarkan bagaimana caranya pergi ke surga, bukan bagaimana (atau hendak ke mana) surga pergi'

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus