MUSIM semi baru saja tiba di Paris. Lorong-lorong basah dan
jalan sempit di Latin Quarter mulai tampak hidup kembali. Di
situlah Raymond Mason tinggal, sejak 1946.
Secara tetap dan teratur pelukis dan pematung ini memperlihatkan
hasil-hasil karyanya di Paris. Maka pamerannya terakhir di
Galeri Serpentine, London, yang berakhir 9 Januari kemarin,
boleh jadi merupakan kejutan besar terutama untuk khalayak
Inggris Setelah 25 tahun, inilah untuk pertama kalinya Raymond
Mason, kelahiran Birmingham dan berusia 60 tahun, memamerkan
buah tangannya di tanah airnya sendiri.
Maka pada musim semi Prancis yang baru menjelang itu, Michael
Peppiat menyelusuri jalan kecil yang menuju ke sanggar Raymond.
"Dan dalam studio di lantai dasar itu, musim seperti tak pernah
berganti," katanya dalam sebuah laporan di majalah Sunday Times.
Pediangan yang tua itu tetap membara, menghangati ruang lapang
yang lebih mendekati suasana gudang. Debu melekat di sana bagai
salju abadi.
Ketika Raymond tampil, yang pertama mengesankan adalah rambutnya
yang kusut masai dan bingkai kaca matanya yang tebal. Sebagian
besar ruang lapang itu dihuni Para Pemetik Anggur. Ini nama
patung relief karya terakhir Raymond yang belum sudah. Dibuat
dalam ukuran empat kali manusia biasa, terbalut dalam warna
putih yang dominan.
"Anda lihat?" kata Raymond kepada Peppiat, sambil menuding karya
raksasanya. "Setiap lembar daun harus ditatah dengan teliti.
Setiap biji anggur, setiap gumpal tanah, dengan segala
keunikannya."
Segalanya seperti menuntut penyelesaian. Detil yang timbul dan
mengabur, seperti muncul dan sirna di tengah warna putih yang
menyeluruh. "Kemudian setiap helai daun, setiap biji anggur, dan
gumpalan tanah, harus diberi warna dan sentuhan pribadi yang
tepat," kata Raymond.
Di luar studio, pagi musim semi telah telanjang seutuhnya.
Sinarnya yang hangat merambat melalui tingkap. Peppiat tak bisa
melepaskan haru-biru perasaannya di depan patung itu. "Sebuah
petualangan yang nekat," katanya menarik kesimpulannya sendiri.
Pemetik Anggur mungkin karya puncak dari 30 tahun karir Raymond
Mason di dunia seni rupa, yang ditampilkannya lewat pameran di
Galeri Serpentine, Hyde Park, London. "Untuk banyak pengunjung,
pameran itu merupakan kejutan, untuk tidak mengatakannya sebagai
guncangan," kata Michael Peppiat. Karya itu, konon, "memancarkan
pandangan yang penuh kekuatan, yang tidak terdapat di dalam seni
kontemporer mana pun".
Mason tak dirasuk pertimbangan terlalu pelik tatkala ia membuang
dirinya dari Inggris, 1946. Masalahnya tampak begitu sederhana.
Ia melihat segala kebutuhan untuk perkembangan keseniannya
justru tersedia di Prancis. Ia betah di sana, dan tidak
menemukan alasan terlalu penting untuk pulang ke tanah air.
Dari segi temperamen, Mason mungkin contoh klasik seorang
outsider. Ia begitu cepat berpaling dari latar belakang kelas
pekerjanya yang miskin kesenian. Pada usia 15 Raymond muda
sadar, ia tak berminat mempelajari "sesuatu yang bermanfaat". Ia
mendaftarkan diri di Sekolah Seni dan Kerajinan Birmingham, dan
tidak pernah menyesal atas pilihan itu.
Setelah masa yang singkat di Sekolah Kesenian Kerajaan, London,
pada 1943 Mason diterima di Slade. Di sini ia bertemu dengan
Profesor Schwabe, kepala sekolah yang berpandangan jauh. Tokoh
ini mengarahkannya ke dunia patung.
Slade kemudian pindah ke Oxford. Untuk menunjang hidupnya di
kota ini, Mason bekerja di Museum Ashmolean. Senja-senja musim
panas yang panjang memberi kesempatan kepada anak muda ini untuk
menikmati dan merenungkan kemegahan dan kebesaran patung-patung
pualam Yunani dan Romawi. Ia mulai merasakan 'tantangan' itu.
Namun, kendati teknik dasar yang sangat berguna didapatkannya di
Oxford, Parislah yang agaknya berpengaruh besar dalam
pembentukan Mason sebagai pematung.
Pengaruh paling besar diterimanya dari karya dan teladan pribadi
Alberto Giacometti, yang ketika itu diakui sebagai seniman yang
bertujuan memperbarui serii figuratif. Pada senja pertama di
Paris, Mason secara kebetulan bersua dengan Alberto yang
legendaris itu di Cafe de Flore. Mereka segera menjalin
persahabatan yang harlgat, hingga saat kematian Giacometti.
Keterikatan Mason pada gaya seniman kelahiran Swiss itu kentara
dalam patung-patung pemandangan kotanya sepanjang dekade pertama
masa pemukimannya di Paris.
Karya kunci seluruh periode awal ini adalah Trem Barcelona,
1953. Dalam relief perunggu ini tampak beberapa tokoh yang duduk
di depan jendela trem, sementara yang lain berdiri dalam,antrean
panjang di seberangnya.
Permukaan relief ini ditatah dengan tajam, dan komposisinya
teracu dalam keyakinan yang trampil. Karya sepanjang empat kaki
itu menampilkan bayangan kebesaran dari adegan yang sebenarnya
sangat biasa: orang-orang di jalanan.
"Saya seorang pemuja kenyataan," kata Mason. Meski kini sangat
sulit bertemu dengan Mason di luar studionya, dekade pertama di
Paris dihabiskannya dengan mengembara di jalanan, berbekal
sebuah buku sket.
"Paris memberikan kekuatan yang besar pada masa itu," katanya,
"semacam spontanitas yang menakjubkan." Mason tidak pernah
kehilangan kehangatannya bila mengenang masa lalu itu. "Di sana
hadir kemerdekaan yang sejati. Anda boleh hidup dan mati
seenaknya, orang Prancis tak ambil peduli."
Tetapi betapa pun ia memuja kota itu, Mason mengakui betapa
kerasnya hidup dari hari ke hari. Tak jarang kantungnya kosong
sama sekali. Tapi bakat dan semangatnya yang liat untuk bertahan
lambat laun memperlihatkan hasil. Ia mulai memiliki sejumlah
penggemar.
Pameran tunggalnya yang pertama berlangsung di Galeri
Beaux-Arts, London, 1954. Diorganisasi oleh Helen Lessore yan
terkenal berpengamatan tajam, dalam kesempatan itu Mason
sekaligus memamerkan lukisan dan patung-patungnya.
Dua tahun kemudian ia kembali berpameran tunggal di tempat yang
sama. Dan setelah itu ia seperti menghilang dari panorama
kesenian Ingris. Pamerannya di Galeri Serpentine belakangan ini
seolah rujuknya kembali dengan para pengagumnya di tanah
kelahiran.
Prancis memberikan pengakuannya yang definitif kepada Raymond
Mason setelah pameran besarnya di Galeri Claude Bernard, t965.
Pilihan dimulai dari karyanya Trem, tapi yang kemudian paling
menonjol adalah Massa.
Karya monumental itu merupakan ciptaan Mason yang paling
ambisius saat itu. Tanpa dukungan latar belakang, ia secara
ketat mengatur sekelompok tokoh dalam patung-patung yang
dinamis. Melalui karya ini Mason ditantang untuk mendaki
puncaknya yang baru. Massa "memaksa pandangan kita bergerak
secara tetap dan terpaut pada volume dan pengulangan bentuk yang
terus-menerus," kata Michael Peppiat.
Komposisi dengan pengucapan yang berat selalu menjadi ciri utama
pematung ini. Tapi kemudian unsur-unsur itu berubah menjadi
hanya seperti pendorong kegairahan saja baginya. Seorang yang
penuh kontradiksi dan bakat seperti Mason, yang keyakinannya
selalu diguncangkan oleh pelbagai kesangsian, tak mungkin
dibayangkan terikat pada hanya sebuah teknik dan gaya.
Dan sekali relief-relief perunggunya diterima Paris dan New
York, Mason tak pernah berhenti menatah. Tapi ia tak melupakan
satu hal. Bermula sebagai pelukis, ia tak pernah kehilangan
kecintaan terhadap warna.
Ia seperti dirasuk hasrat memadukan kegairahannya mematung
dengan kesenangannya akan warna. "Sintesa yang jarang muncul di
Barat sekarang ini," tulis Peppiat.
Kemudian ia menemukan jawaban aas kebutuhannya melalui penemuan
sebuah teknik baru. Mason menemukan cara menuang patung dalam
damar sintetis. Teknik ini memungkinkan munculnya kombinasi
warna lukisan dan sosok patung dalam imajinasi visual yang
memukau.
Bertepatan dengan penemuan itu, sebuah peluang emas terbuka
baginya. Pasar makanan Les Halles yang bagus, tepat di jantung
Kota Paris, akan digusur. Etalase-etalase akan dibongkar, dan
dunia malam para portir, pelacur dan pengembara itu akan lenyap
unluk selama-lamanya. Mason melihat peristiwa ini sebagai
kesempatan yang unik untuk mengabadikan Paris yang dicintainya.
Selama dua tahun, 1969-1971, ia mensket penuh semangat adegan
pasar yang akan digusur itu. Hasil sket itu kemudian dipindahkan
ke dalam bentuk model plaster, sebelum dituangkan sebagai patung
jadi.
Akhirnya muncullah sebuah fresco berukuran 10 x 10 kaki,
menyajikan pemandangan antara kedai-kedai dan Gereja St.
Eutache, tempat 'tokoh-tokoh' Halles berdesakan di antara
keranjang sayur dan buah-buahan. "Aku ingin membuat patungku
sehidup, semanusiawi dan sehangat mungkin," katanya.
Tentu banyak pendapat yang bertentangan menanggapi langkah Mason
mewarnai patung-patungnya. Tapi ia tak beranjak: "Cukup jelas
bahwa patung berwarna lebih manusiawi ketimbang patung pualam
atau perunggu."
"Saya tahu sebagian orang terkejut melihat warna patung-patung
saya yang demikian menyala," ujar Mason menambahkan. "Tapi
mereka harus tahu, teknik mewarnai patung berbeda dengan
mewarnai lukisan."
Halles akhirnya menjadi karya patung yang musykil. Di antara
menara dan detil arsitektur yang rumit, muncul wajah-wajah yang
seperti berhimpitan dengan sayuran dan buah-buahan. "Imaji yang
sangat kaya seperti ini hanya mampu dipadukan melalui pengaturan
komposisi yang ketat," kata Peppiat. "Setiap tingkap, kepala,
setiap apel dan daun bawang, memainkan peranan dalam keseluruhan
keseimbangan."
Mason sangat berhati-hati menuangkan adegan itu. Tapi menjelang
akhir penyelesaian, pelbagai hal yang sebelumnya tak tampak,
muncul satu per satu. Sebiji kentang ternyata membiaskan kesan
yang kurang sedap. Sehelai daun kubis secara tidak disengaja
mengulangi pola hiasan kaca jendela gereja di belakang.
Perencanaan setapak demi setapak patung yang besar itu tidak
saja memungkinkan Mason mencapai kesatuan maksimal bentuk dan
warna. Melainkan juga kelengkapan informasi dan fakta. Halles
memang akhirnya bagai dokumen kehidupan pasar malam hari yang
musykil itu.
Kepuasan, dalam pandangan Mason, sangat diperlukan di dalam
kesenian yang tahan waktu. Ia menjejalkan sebanyak mungkin fakta
ke dalam karya-karyanya Sikap ini pula membuat ia tidak begitu
sepaham dengan banyak gerakan kontemporer.
"Bagi saya, kesenian haruslah menjadi semacam jalan yang
memintas pikiran," katanya "Ia harus memiliki bobot dan sosok
yang mampu bertahan melalui abad. Seni sejati memiliki kekuatan
yang cukup untuk memuaskan setiap orang -- tua atau muda,
berkebudayaan atau tidak -- yang memandangnya. Saya mendambakan
seni yang berakar langsung dari kehidupan, bukan dari seni
lainnya."
'Kredo' ini tampaknya cukup kuat diwakili oleh patung-patung
besar Raymond Mason berikutnya. Antara lain Sebuah Tragedi di
Utara. Salju, Hujan, dan Air Mata. Keduanya diangkat dari sebuah
kecelakaan tambang, 1974.
Tragedi telah memperlihatkan pencapaian pengaruh yang besar
sekali dalam Biennale Venesia tahun lalu. Karya ini
memperlihatkan sekelompok orang yang dirasuk duka cita, keluar
dari lubang tambang yang berasap. Di latar belakang tampak
bangunan tinggi berwarna bata dan onggokan kotoran bijih besi
yang memuakkan.
Setiap lekuk patung itu seperti langsung bercerita mengenai
bencana itu. Perspektif tersusun dalam pengucapan yang unik,
sehingga mereka yang menyaksikan patung tersebut seperti
langsung dilibatkan ke dalam bencana tersebut. Mata penonton
dituntun melalui tokoh-tokoh ke mulut tambang, kemudian kembali
ke latar depan.
"Patung-patung Mason sepenuhnya bertutur," kata Michael Peppiat.
"Dan cerita yang dituturkannya diperuntukkan pendengar seluas
mungkin." Itu sebabnya ia selalu mencari subyek yang paling
mudah dimengerti.
Misalnya Pemetik Anggur. Karya ini sangat akrab dengan
pengalaman Mason sendiri. Di seberang rumah musim panasnya di
Provence, terbentang ladang anggur yang luas. Dan para pemetik
di kebun itu adalah tetangga-tetangga Mason sendiri.
Pameran Serpentine tak pelak lagi merupakan momen yang sangat
khas buat dirinya. Inilah untuk pertama kalinya seluruh karya
pentingnya dipamerkan bersama-sama. Untuk pertama kalinya pula
karya-karya itu dipamerkan di sebuah museum umum.
Sejak lama Mason berpendapat, sebagian besar masyarakat sedang
menanti hasil kesenian yang bisa memuaskan mereka, yang selama
ini tidak tercukupi oleh karya kontemporer yang estetis murni.
Apa pun reaksi masyarakat terhadap Pameran Serpentine, "reaksi
itu pasti meriah," kata Michael Peppiat "Patung-patung itu
terlalu kuat, terlalu tegar dengan hidup dan keyakinan, dan
terlalu provokatif untuk dilewatkan begitu saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini