Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari tengah para pemetik anggur

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM semi baru saja tiba di Paris. Lorong-lorong basah dan jalan sempit di Latin Quarter mulai tampak hidup kembali. Di situlah Raymond Mason tinggal, sejak 1946. Secara tetap dan teratur pelukis dan pematung ini memperlihatkan hasil-hasil karyanya di Paris. Maka pamerannya terakhir di Galeri Serpentine, London, yang berakhir 9 Januari kemarin, boleh jadi merupakan kejutan besar terutama untuk khalayak Inggris Setelah 25 tahun, inilah untuk pertama kalinya Raymond Mason, kelahiran Birmingham dan berusia 60 tahun, memamerkan buah tangannya di tanah airnya sendiri. Maka pada musim semi Prancis yang baru menjelang itu, Michael Peppiat menyelusuri jalan kecil yang menuju ke sanggar Raymond. "Dan dalam studio di lantai dasar itu, musim seperti tak pernah berganti," katanya dalam sebuah laporan di majalah Sunday Times. Pediangan yang tua itu tetap membara, menghangati ruang lapang yang lebih mendekati suasana gudang. Debu melekat di sana bagai salju abadi. Ketika Raymond tampil, yang pertama mengesankan adalah rambutnya yang kusut masai dan bingkai kaca matanya yang tebal. Sebagian besar ruang lapang itu dihuni Para Pemetik Anggur. Ini nama patung relief karya terakhir Raymond yang belum sudah. Dibuat dalam ukuran empat kali manusia biasa, terbalut dalam warna putih yang dominan. "Anda lihat?" kata Raymond kepada Peppiat, sambil menuding karya raksasanya. "Setiap lembar daun harus ditatah dengan teliti. Setiap biji anggur, setiap gumpal tanah, dengan segala keunikannya." Segalanya seperti menuntut penyelesaian. Detil yang timbul dan mengabur, seperti muncul dan sirna di tengah warna putih yang menyeluruh. "Kemudian setiap helai daun, setiap biji anggur, dan gumpalan tanah, harus diberi warna dan sentuhan pribadi yang tepat," kata Raymond. Di luar studio, pagi musim semi telah telanjang seutuhnya. Sinarnya yang hangat merambat melalui tingkap. Peppiat tak bisa melepaskan haru-biru perasaannya di depan patung itu. "Sebuah petualangan yang nekat," katanya menarik kesimpulannya sendiri. Pemetik Anggur mungkin karya puncak dari 30 tahun karir Raymond Mason di dunia seni rupa, yang ditampilkannya lewat pameran di Galeri Serpentine, Hyde Park, London. "Untuk banyak pengunjung, pameran itu merupakan kejutan, untuk tidak mengatakannya sebagai guncangan," kata Michael Peppiat. Karya itu, konon, "memancarkan pandangan yang penuh kekuatan, yang tidak terdapat di dalam seni kontemporer mana pun". Mason tak dirasuk pertimbangan terlalu pelik tatkala ia membuang dirinya dari Inggris, 1946. Masalahnya tampak begitu sederhana. Ia melihat segala kebutuhan untuk perkembangan keseniannya justru tersedia di Prancis. Ia betah di sana, dan tidak menemukan alasan terlalu penting untuk pulang ke tanah air. Dari segi temperamen, Mason mungkin contoh klasik seorang outsider. Ia begitu cepat berpaling dari latar belakang kelas pekerjanya yang miskin kesenian. Pada usia 15 Raymond muda sadar, ia tak berminat mempelajari "sesuatu yang bermanfaat". Ia mendaftarkan diri di Sekolah Seni dan Kerajinan Birmingham, dan tidak pernah menyesal atas pilihan itu. Setelah masa yang singkat di Sekolah Kesenian Kerajaan, London, pada 1943 Mason diterima di Slade. Di sini ia bertemu dengan Profesor Schwabe, kepala sekolah yang berpandangan jauh. Tokoh ini mengarahkannya ke dunia patung. Slade kemudian pindah ke Oxford. Untuk menunjang hidupnya di kota ini, Mason bekerja di Museum Ashmolean. Senja-senja musim panas yang panjang memberi kesempatan kepada anak muda ini untuk menikmati dan merenungkan kemegahan dan kebesaran patung-patung pualam Yunani dan Romawi. Ia mulai merasakan 'tantangan' itu. Namun, kendati teknik dasar yang sangat berguna didapatkannya di Oxford, Parislah yang agaknya berpengaruh besar dalam pembentukan Mason sebagai pematung. Pengaruh paling besar diterimanya dari karya dan teladan pribadi Alberto Giacometti, yang ketika itu diakui sebagai seniman yang bertujuan memperbarui serii figuratif. Pada senja pertama di Paris, Mason secara kebetulan bersua dengan Alberto yang legendaris itu di Cafe de Flore. Mereka segera menjalin persahabatan yang harlgat, hingga saat kematian Giacometti. Keterikatan Mason pada gaya seniman kelahiran Swiss itu kentara dalam patung-patung pemandangan kotanya sepanjang dekade pertama masa pemukimannya di Paris. Karya kunci seluruh periode awal ini adalah Trem Barcelona, 1953. Dalam relief perunggu ini tampak beberapa tokoh yang duduk di depan jendela trem, sementara yang lain berdiri dalam,antrean panjang di seberangnya. Permukaan relief ini ditatah dengan tajam, dan komposisinya teracu dalam keyakinan yang trampil. Karya sepanjang empat kaki itu menampilkan bayangan kebesaran dari adegan yang sebenarnya sangat biasa: orang-orang di jalanan. "Saya seorang pemuja kenyataan," kata Mason. Meski kini sangat sulit bertemu dengan Mason di luar studionya, dekade pertama di Paris dihabiskannya dengan mengembara di jalanan, berbekal sebuah buku sket. "Paris memberikan kekuatan yang besar pada masa itu," katanya, "semacam spontanitas yang menakjubkan." Mason tidak pernah kehilangan kehangatannya bila mengenang masa lalu itu. "Di sana hadir kemerdekaan yang sejati. Anda boleh hidup dan mati seenaknya, orang Prancis tak ambil peduli." Tetapi betapa pun ia memuja kota itu, Mason mengakui betapa kerasnya hidup dari hari ke hari. Tak jarang kantungnya kosong sama sekali. Tapi bakat dan semangatnya yang liat untuk bertahan lambat laun memperlihatkan hasil. Ia mulai memiliki sejumlah penggemar. Pameran tunggalnya yang pertama berlangsung di Galeri Beaux-Arts, London, 1954. Diorganisasi oleh Helen Lessore yan terkenal berpengamatan tajam, dalam kesempatan itu Mason sekaligus memamerkan lukisan dan patung-patungnya. Dua tahun kemudian ia kembali berpameran tunggal di tempat yang sama. Dan setelah itu ia seperti menghilang dari panorama kesenian Ingris. Pamerannya di Galeri Serpentine belakangan ini seolah rujuknya kembali dengan para pengagumnya di tanah kelahiran. Prancis memberikan pengakuannya yang definitif kepada Raymond Mason setelah pameran besarnya di Galeri Claude Bernard, t965. Pilihan dimulai dari karyanya Trem, tapi yang kemudian paling menonjol adalah Massa. Karya monumental itu merupakan ciptaan Mason yang paling ambisius saat itu. Tanpa dukungan latar belakang, ia secara ketat mengatur sekelompok tokoh dalam patung-patung yang dinamis. Melalui karya ini Mason ditantang untuk mendaki puncaknya yang baru. Massa "memaksa pandangan kita bergerak secara tetap dan terpaut pada volume dan pengulangan bentuk yang terus-menerus," kata Michael Peppiat. Komposisi dengan pengucapan yang berat selalu menjadi ciri utama pematung ini. Tapi kemudian unsur-unsur itu berubah menjadi hanya seperti pendorong kegairahan saja baginya. Seorang yang penuh kontradiksi dan bakat seperti Mason, yang keyakinannya selalu diguncangkan oleh pelbagai kesangsian, tak mungkin dibayangkan terikat pada hanya sebuah teknik dan gaya. Dan sekali relief-relief perunggunya diterima Paris dan New York, Mason tak pernah berhenti menatah. Tapi ia tak melupakan satu hal. Bermula sebagai pelukis, ia tak pernah kehilangan kecintaan terhadap warna. Ia seperti dirasuk hasrat memadukan kegairahannya mematung dengan kesenangannya akan warna. "Sintesa yang jarang muncul di Barat sekarang ini," tulis Peppiat. Kemudian ia menemukan jawaban aas kebutuhannya melalui penemuan sebuah teknik baru. Mason menemukan cara menuang patung dalam damar sintetis. Teknik ini memungkinkan munculnya kombinasi warna lukisan dan sosok patung dalam imajinasi visual yang memukau. Bertepatan dengan penemuan itu, sebuah peluang emas terbuka baginya. Pasar makanan Les Halles yang bagus, tepat di jantung Kota Paris, akan digusur. Etalase-etalase akan dibongkar, dan dunia malam para portir, pelacur dan pengembara itu akan lenyap unluk selama-lamanya. Mason melihat peristiwa ini sebagai kesempatan yang unik untuk mengabadikan Paris yang dicintainya. Selama dua tahun, 1969-1971, ia mensket penuh semangat adegan pasar yang akan digusur itu. Hasil sket itu kemudian dipindahkan ke dalam bentuk model plaster, sebelum dituangkan sebagai patung jadi. Akhirnya muncullah sebuah fresco berukuran 10 x 10 kaki, menyajikan pemandangan antara kedai-kedai dan Gereja St. Eutache, tempat 'tokoh-tokoh' Halles berdesakan di antara keranjang sayur dan buah-buahan. "Aku ingin membuat patungku sehidup, semanusiawi dan sehangat mungkin," katanya. Tentu banyak pendapat yang bertentangan menanggapi langkah Mason mewarnai patung-patungnya. Tapi ia tak beranjak: "Cukup jelas bahwa patung berwarna lebih manusiawi ketimbang patung pualam atau perunggu." "Saya tahu sebagian orang terkejut melihat warna patung-patung saya yang demikian menyala," ujar Mason menambahkan. "Tapi mereka harus tahu, teknik mewarnai patung berbeda dengan mewarnai lukisan." Halles akhirnya menjadi karya patung yang musykil. Di antara menara dan detil arsitektur yang rumit, muncul wajah-wajah yang seperti berhimpitan dengan sayuran dan buah-buahan. "Imaji yang sangat kaya seperti ini hanya mampu dipadukan melalui pengaturan komposisi yang ketat," kata Peppiat. "Setiap tingkap, kepala, setiap apel dan daun bawang, memainkan peranan dalam keseluruhan keseimbangan." Mason sangat berhati-hati menuangkan adegan itu. Tapi menjelang akhir penyelesaian, pelbagai hal yang sebelumnya tak tampak, muncul satu per satu. Sebiji kentang ternyata membiaskan kesan yang kurang sedap. Sehelai daun kubis secara tidak disengaja mengulangi pola hiasan kaca jendela gereja di belakang. Perencanaan setapak demi setapak patung yang besar itu tidak saja memungkinkan Mason mencapai kesatuan maksimal bentuk dan warna. Melainkan juga kelengkapan informasi dan fakta. Halles memang akhirnya bagai dokumen kehidupan pasar malam hari yang musykil itu. Kepuasan, dalam pandangan Mason, sangat diperlukan di dalam kesenian yang tahan waktu. Ia menjejalkan sebanyak mungkin fakta ke dalam karya-karyanya Sikap ini pula membuat ia tidak begitu sepaham dengan banyak gerakan kontemporer. "Bagi saya, kesenian haruslah menjadi semacam jalan yang memintas pikiran," katanya "Ia harus memiliki bobot dan sosok yang mampu bertahan melalui abad. Seni sejati memiliki kekuatan yang cukup untuk memuaskan setiap orang -- tua atau muda, berkebudayaan atau tidak -- yang memandangnya. Saya mendambakan seni yang berakar langsung dari kehidupan, bukan dari seni lainnya." 'Kredo' ini tampaknya cukup kuat diwakili oleh patung-patung besar Raymond Mason berikutnya. Antara lain Sebuah Tragedi di Utara. Salju, Hujan, dan Air Mata. Keduanya diangkat dari sebuah kecelakaan tambang, 1974. Tragedi telah memperlihatkan pencapaian pengaruh yang besar sekali dalam Biennale Venesia tahun lalu. Karya ini memperlihatkan sekelompok orang yang dirasuk duka cita, keluar dari lubang tambang yang berasap. Di latar belakang tampak bangunan tinggi berwarna bata dan onggokan kotoran bijih besi yang memuakkan. Setiap lekuk patung itu seperti langsung bercerita mengenai bencana itu. Perspektif tersusun dalam pengucapan yang unik, sehingga mereka yang menyaksikan patung tersebut seperti langsung dilibatkan ke dalam bencana tersebut. Mata penonton dituntun melalui tokoh-tokoh ke mulut tambang, kemudian kembali ke latar depan. "Patung-patung Mason sepenuhnya bertutur," kata Michael Peppiat. "Dan cerita yang dituturkannya diperuntukkan pendengar seluas mungkin." Itu sebabnya ia selalu mencari subyek yang paling mudah dimengerti. Misalnya Pemetik Anggur. Karya ini sangat akrab dengan pengalaman Mason sendiri. Di seberang rumah musim panasnya di Provence, terbentang ladang anggur yang luas. Dan para pemetik di kebun itu adalah tetangga-tetangga Mason sendiri. Pameran Serpentine tak pelak lagi merupakan momen yang sangat khas buat dirinya. Inilah untuk pertama kalinya seluruh karya pentingnya dipamerkan bersama-sama. Untuk pertama kalinya pula karya-karya itu dipamerkan di sebuah museum umum. Sejak lama Mason berpendapat, sebagian besar masyarakat sedang menanti hasil kesenian yang bisa memuaskan mereka, yang selama ini tidak tercukupi oleh karya kontemporer yang estetis murni. Apa pun reaksi masyarakat terhadap Pameran Serpentine, "reaksi itu pasti meriah," kata Michael Peppiat "Patung-patung itu terlalu kuat, terlalu tegar dengan hidup dan keyakinan, dan terlalu provokatif untuk dilewatkan begitu saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus