JVmen dan Impexmen, kini orang-orang penting baru di negara yang dulunya bernama Uni Soviet. Mereka pengusaha Joint Ventures (JV) dan impor-ekspor (Impex) yang kini menjadi raja di negara yang sebelumnya tak kenal laba itu. Mereka, generasi muda perlente, berkeliaran di jalan-jalan Moskow dalam Mercedes Benz dan Volvo turbo. Sebagian anggota perkumpulan jutawan Rusia. Mereka adalah wiraswasta yang disebut-sebut pengemban Kebijaksanaan Ekonomi Baru. Mereka berpatungan dengan perusahaan Barat menjadi pialang barang-barang untuk pasar yang kelaparan di dalam negeri. Atau menjadi eksportir, menjual kekayaan negeri yang mahaluas. Incaran mereka cuma satu: dolar. Salah satu dari pengusaha "kagetan" ini adalah Herman Stergilov. Umurnya 25 tahun. Drop out sekolah hukum, bekas pegawai negeri yang nyambi menjadi kacung di peternakan kuda. Kini, perokok berat berbadan kurus itu masuk ke dunia bisnis. Asetnya hanya sebuah komputer dan telepon. Toh, di bawah bendera "Alice", ia punya jaringan kantor di Moskow, Kiev, Donetsk, Kursk.... "Total ada di 20 kota, di sepanjang negeri yang terserah mau dinamakan apa sekarang," kata anak muda itu. Ia mengaku mendapat laba tiga juta rubel dalam satu hari. Dengan rontoknya sistem terpusat, pemasaran barang tidak lagi diatur negara. Produsen mencari sendiri pasarnya. Perusahaan-perusahaan asing yang membutuhkan bahan mentah yang bisa diekspor. "Alice" bermain di antara permintaan dan penawaran. "Dari logam, kami mendapat keuntungan terbesar," kata Stergilov. Ini bahan mentah yang diekspor ke Eropa Barat. Sebaliknya, ia memasukkan mesin-mesin, truk, mobil, suku cadang, radio, kayu, tekstil, obat, dan pupuk. Sebetulnya, ia mengincar minyak dan gas, tapi modalnya tak memadai. "Alice" juga berdagang pangan, khususnya padi. "Tapi saya mencoba menguranginya," kata Stergilov. Sebab, katanya, pangan punya dampak politik. Ia sendiri sudah mendapat ancaman. Karena itu, untuk jagajaga, ia mengirim istri dan putrinya ke New York. Pengusaha muda lain, Edvard Chousyan, 35 tahun. Sampai Maret 1988, Chousyan, sarjana arsitektur dan hukum, bekerja di perusahaan Pemerintah. Dari bermacam-macam aturan baru tentang "koperasi", arsitek ini belajar dan akhirnya mendapat gagasan untuk membuka usaha sendiri. Usaha apa? Suatu kali, ia terusik oleh berita tentang Tentara Merah Soviet. Untuk pertama kalinya, media di negeri itu berani mempertanyakan "Apakah perlu mengucurkan begitu banyak uang setiap tahun untuk Tentara Merah". Chousyan mengontak perwakilan angkatan udara Tentara Merah. Ia menanyakan apakah mereka terpikir menyewakan pesawat cargo untuk penerbangan komersial. Chousyan tinggal di daerah Kishniev, Republik Moldavia, yang kaya buah-buahan dan sayur-sayuran. Perusahaan penerbangan Pemerintah, Aeroflot, tak bisa diharapkan. Akibatnya, sejumlah besar kekayaan alam itu telantar. Padahal, di bagian negeri yang lain, bahan makanan itu langka. Syukurlah, ia mendapat jawaban menggembirakan dari angkatan udara Tentara Merah. Pesawat cargo AN 12 berikut armadanya siap disewa 1.000 rubel per jam terbang. Kini, Edvard Olegovich Chousyan adalah pemilik perusahaan "Time". Berkat manajemennya misalnya mengatur penyediaan kotak pendingin di airport untuk menghindari buah-buahan dan sayur segar membusuk Kishniev sampai juga ke wilayah terjauh di Soviet. Tetapi, konon, masih banyak orang, dengan pikiran Stalin, khawatir melihat sepak terjang anak muda ini. Dengan perusahaannya, ia mendapatkan apa yang mereka pikir benar-benar menentang sosialisme: kekayaan. Suka atau tidak, dan kendati dalam dilema, menjadi JVmen dan Impexmen adalah janji kemakmuran. Ada sekitar 2.300 perusahaan berdiri, sejak prakarsa swasta diperbolehkan di Republik Rusia, 1987. Pilihan bidang usaha amat bervariasi, mulai dari rumah sakit swasta, periklanan, dan kantor berita. Ini mungkin jawaban yang mereka temukan di harihari penuh ketegangan, ketakutan, dan kemarahan di Rusia. Rakyat benar-benar tak punya kepastian akan nilai mata uang, simpanan, dan kepercayaan. Hanya satu yang tampaknya bisa dipercaya: si uang hijau alias dolar. Seorang yang membeli mobil di Polandia, dan menjualnya lagi di Moskow, mendapat penghasilan yang sama dalam tempo 48 jam dengan profesor yang mengabdi sepuluh tahun di universitas. Seorang tukang catut, yang menjual jam tangan tentara ke turis, mengantongi uang yang nilainya sama dengan lima minggu gaji dokter. Dan pengacara Amerika, yang mengajak penerjemahnya "tidur", menawarkan bayaran sama dengan setahun gaji ayah penerjemah itu, seorang ahli fisika. Perempuan itu menolak seraya mengomel, "Apa sih yang terjadi pada kita?" Yang terjadi adalah sebuah pelajaran ekonomi yang buruk. Prinsip utama ekonomi pasar, yang tengah diperkenalkan di Rusia, adalah mata uang kuat mengusir yang lemah. Dolar tengah menghancurkan rubel. Di zaman pasang surutnya Breznev, kurs dolar kurang dari satu rubel. Meskipun semua tahu bahwa itu nilai bohong-bohongan, Pemerintah bersikukuh dengan kursnya. Tapi, masa itu, rakyat diharamkan memiliki mata uang keras, seperti dolar itu. Sekarang, orang diperbolehkan menyimpan uang hijau itu. Transaksi dolar tidak lagi dilakukan di bawah tanah. Kini, nilai rubel tiap saat berubah. Sampai akhir Oktober, nilai kurs dolar untuk turis di bank adalah 32 rubel. November, turun menjadi 47. Dan pada bulan Desember, satu dolar sama dengan 90 rubel. Malah ada yang berseloroh mengatakan rubel cuma senilai kertasnya. Sedangkan gaji rata-rata orang Rusia, stabil, 350 rubel sebulan. Jumlah itu bisa dipakai belanja 350 kilo kentang atau 117 kg gula pasir atau 50 kilo daging. Namun, tunggu. Daging sapi yang harga resminya 7 rubel sekilo tak ada di toko Pemerintah. Di pasar gelap, seperti di Jalan Tsvetnoy Moskow, bisa didapat dengan harga melonjak menjadi 65 rubel. Artinya, gaji rata-rata orang Rusia hanya bisa dibelikan 5 kiloan daging. Nilai dolar jauh lebih sakti. Gaji 350 rubel bila didolarkan memang tinggal US$ 4 atau 2,20 poundsterling. Tapi dengan selembar satu dolar, orang sudah bisa membeli 24 galon minyak atau pangan yang cukup untuk satu minggu. Satu setengah dolar bisa ditukarkan dengan 32 pound daging, atau tiket pulang pergi Moskow St. Petersburg, yang jaraknya sekitar London-Paris. Maka, seorang pemilik kedai sate di Moskow bisa berkata, "Saya suka uang hijau." Dan berkembanglah dua kelompok masyarakat. Kelompok kecil pesolek yang punya akses ke dolar, dan pemegang rubel yang lebih banyak tapi melarat. Jadi, kalau ada kesempatan, tunggu apa lagi. Alexei Abrikosov, misalnya, ia melompat ke kehidupan yang lebih baik. Ahli teori fisika itu, semula, adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan dan pemenang penghargaan Lenin. Ia digaji 1.000 rubel per bulan. Kelihatannya mewah untuk ukuran rubel, tapi kalau ditukar dengan uang AS, gajinya cuma US$ 11 atau jumlah yang bisa didapatkan sopir taksi yang membawa turis dari bandara Sheremetievo, Moskow, dalam 30 menit. Abriskov kini bekerja di Chicago. "Kalau satu hari hanya habis untuk mencari makan, mana terangsang lagi untuk melakukan penelitian-penelitian," katanya. Tak mengherankan bila rakyat di negeri yang sebelumnya sama rata sama rasa itu berlomba masuk ke kelompok uang hijau. Untuk ini, apa saja dilakukan di sana. Pelayan bar di sebuah hotel di Moskow, lulusan Institut Penerbangan Moskow. Bellboynya bekas dokter anak. Moskow bukannya sepi dari barang. Ada toko yang menyediakan macam-macam peralatan bermerek Sony hifi, sweater Benetton, pakaian olah raga Reebok. Ada toko Yves Rocher, tempat perekperek Soviet membeli parfum. Juga bar, untuk mereka yang ingin menerbangkan jiwa dengan sebotol bir Guinness. Tapi lihat di pintu. Ada satu kata sakti "Uang Asing". Maksudnya, hanya pemegang mata uang kuat yang boleh masuk. Rubel dilarang masuk. Hanya kelompok uang hijau yang bisa menikmatinya, yang tidak punya uang hijau dihadang tukang-tukang pukul. Komunisme dan kejatuhannya menyebabkan rubel sengsara dan dihinakan. Sebagian orang beranggapan, kesenjangan ini bisa diperkecil bila wiraswasta baru berhasil menciptakan pasar bebas. Padahal difinisi umum di Soviet, pengusaha adalah pemain pasar gelap. Yang selama ini dikenal berurusan dengan dolar di kota-kota besar, seperti Moskow dan St Petersburg, hanya pelacur, tukang catut, dan sopir taksi yang tidak antusias melakukan perbaikan ekonomi. Pemain yang muncul di pasar bebas membuat bursa komoditi laku keras. Tengoklah RC & RME (Russian Commodities & Raw Material Exchange), yang terletak di bangunan tua Kantor Pos Pusat, Moskow. RC & RME didirikan pada Oktober 1990. Ketika baru berjalan, transaksi yang terjadi hanya senilai 60 ribu rubel. Kini jual beli di bursa ini sudah mencapai angka 4,4 juta rubel. Para juru lelang menyebut pialang-pialang di sini gospoda atau tuantuan, sebutan yang sudah jarang didengar sejak revolusi 1917. Para pialang muda berkerumun di bawah layar yang menawarkan barang: 150 ton baja dipatok 3.900 rubel per ton, 200 botol minuman keras 220 rubel per botol, dan 10 mobil Tavria dijual 57.000 rubel per unit. Di antara tuantuan yang hadir di RC & RME ada wakil Stergilov, pengusaha yang disebutkan di atas tadi. Stergilov suka menghambur-hamburkan uang. Ia berbakat untuk selalu diberitakan. Umpamanya, awal tahun lalu, ia mengumumkan berdirinya "Klub Jutawan Rusia". Ia menyeponsori turnamen icehockey komersial pertama di Rusia. Tim pemenang berhak atas hadiah satu juta rubel kontan. Juara harapan 200 ribu rubel. Stergilov sendiri bukan pemain hoki. "Olah raga utama saya mencari duit," katanya. Stergilov konon punya motivasi menggelindingkan segala usahanya. Ini adalah suatu cara untuk merobohkan sisa-sisa rezim lama dan sosialisme. Paling tidak, mempercepat proses itu. Sebab, katanya, ia paling benci "Babi dan kekuasaan Soviet. Namun, kapitalis baru ini toh bukannya tak kenal batas. Mereka masih perlu hati-hati karena spekulan memang bisa dikenakan hukuman dibuang ke Gulag. Mereka takut ditawan kelompok konservatif yang mengkudeta Gorbachev, Agustus lalu. Ada cerita begini. Tiga orang dokter mendirikan klinik swasta pertama "Lik" pada 1987. Prakarsa tiga ahli kesehatan Voronchikov, Glantz, dan Gaskon disambut baik oleh Pemerintah. Maklumlah, lembaga kesehatan milik negara memang sedikit dan layanannya menyedihkan. Untuk mendapat pengobatan gratis, umpamanya, rakyat harus mendaftar lebih dari satu tahun sebelumnya. Setahun kemudian, wirawasta lain mengikuti jejak "Lik". Di Moskow, "koperasi" kesehatan tumbuh menjadi lebih dari 100 buah. Tapi pertengahan tahun 1989, jumlah itu tinggal 40. Mengapa? Usaha mereka dipersulit sebab banyak orang, yang selama ini terlibat dalam sistem pengobatan gratis, kehilangan pendapatan tambahan. Mereka ini birokrat di Departemen Kesehatan. Dokter-dokter birokrat itu, umpamanya, sudah terbiasa disogok "amplop biru" agar mau melayani pasiennya. Kekuatan para birokrat itu mula-mula mengeluarkan larangan klinik swasta mengimpor peralatan medis. Setelah itu, menyusul perintah Nomor 785 dari Menteri Kesehatan, Chazov. Isinya, melarang klinik swasta menyewa peralatan diagnostik rumah sakit Pemerintah. Atas kedua serangan ini, "Lik" masih bertahan. Dokter Glantz dkk. memperlebar kliniknya menjadi rumah sakit kecil yang lengkap dengan ruang bedah. Ketiga dokter itu menanamkan seluruh penghasilannya di "Lik". Sampai akhirnya datang pukulan terakhir dari Perdana Menteri Nikolai Rizhkov. Isinya, melarang lembaga kesehatan swasta mengganggu sistem kesehatan. "Mereka melarang hampir semua metode diagnostik, " kata dr. Glantz. Misalnya, kata pendiri "Lik" itu, kami dilarang memeriksa tenggorokan pasien. Karena semua diagnosa melibatkan metode invasive yang dilarang, bagaimana mau memeriksa?" Lamakelamaan, pintu klinik swasta tutup satu per satu. Jadi, yang paling aman, masuk ke bidang yang belum dijamah di negeri itu. Gleb Pavlovsky dan Vladimir Yakovlev mulai melakukan sesuatu yang mustahil untuk negeri Eropa Timur. Kantor berita "Postfactum" yang khusus untuk berita-berita ekonomi. Juga menerbitkan koran mingguan Commersant. Bermodalkan 20 komputer pribadi, mereka mengatur jaringan koresponden sendiri di seluruh Uni Soviet. Tak ada yang percaya bahwa hal seperti itu mungkin. Barangkali karena itu tak seorang pun mengganggu usaha mereka. Lain lagi Sergei Kozyrev, 32 tahun. Dia memilih menggarap lahan periklanan, dengan membangun "Eskard Advertising Agency". Bekas wartawan koran Rossiya itu tak perlu pusing soal modal. Usahanya didukung oleh mitra asingnya, biro iklan "Armando Testa Agency" dari Torino, Italia. Kendati baru berumur satu tahun, Eskard kini menjadi biro iklan swasta terbesar di Rusia. Jumlah karyawan tetapnya 45 orang. Jaringan bisnisnya tersebar dari Kota Moskow, Kiev, Minsk, Khabarovsk, sampai Vladivostok. Kozyrev beruntung bisa mengenyam pendidikan "barat", kendati hanya enam minggu. Musim semi tahun lalu, dia mengikuti program latihan manajemen di Wharton Business School, di Philadelphia, Amerika. Korysev adalah salah satu pemuda Rusia yang mengambil kesempatan dari sumbangan Amerika untuk Uni Soviet, yang diberikan dalam bentuk beasiswa. Lewat program itu, Amerika memang berniat membantu Uni Soviet melatih wiraswasta-wiraswasta muda. Bisnis periklanan itu membuat Kozyrev mengenal betul gejala yang disebutnya "paradoks Rusia": kondisi pasar sama sekali kosong, tapi bisnis periklanan benar-benar sibuk. Seorang pengusaha harus bersabar menunggu selama dua bulan untuk mendapatkan jatah halaman iklan di koran Trud terbitan Moskow. "Padahal, mungkin, iklan tak diperlukan. Barang-barang itu pasti segera terjual begitu tiba di pasaran," kata Kozyrev. Namun, birobiro iklan di Rusia tak mau tahu soal itu. "Ini betul-betul pasar yang semrawut," kata pengusaha muda itu. Tarif iklan memang melonjak-lonjak tak terkendali. Dalam jangka tiga bulan saja, ongkos siaran iklan 30 detik di TV Moskow naik dua kali lipat. Halaman iklan di surat kabar pun semakin menggila. Koran Pravda misalnya, memasang tarif 200 ribu rubel untuk setiap satu halaman iklannya. Kozyrev bingung. Dia melihat, oplah koran makin menurun karena orang tak mau tahu dengan urusan politik, tapi tarif iklan menanjak terus. Betapapun "paradoks Rusia" itu terus membayang, bisnis Kozyrev tak pernah terganggu. Klien-klien terus berdatangan, dan kini telah mencapai jumlah yang ratusan. Namanama besar Philips, Citizen, Gold Star, dan Volvo masuk dalam daftar kliennya. "Saya tak tahu mengapa orang harus merasa perlu mengiklankan sebuah Volvo baru," ujarnya lugu. Suasana baru di Rusia juga memberi peluang usaha bagi Andrei Kurashov, 31 tahun. Kini, dia biasa menyeberang perbatasan Polandia-Ukraina, membawa mobil-mobil bekas yang telah empatlima kali berpindah tangan. Di setiap kota di Polandia, dia bisa mendapatkan barang dagangan yang dibutuhkannya. Namun, Kusharov biasa memilih tempat yang betul-betul menyediakan segala macam kebutuhannya: pasar di dekat stasiun kereta api di Warsawa. "Di sana, saya bisa mendapatkan mobil sampai kaus kaki," ujarnya. Di Warsawa, Kurashov membeli sebuah Mercy Tiger 280E berumur enam tahun dengan harga 6.000 dolar, lengkap dengan surat-suratnya. Kalau Mercy kosong, yang tak dilengkapi sepotong surat pun, harganya hanya US$ 2.000. Tapi untuk mobil gelap itu, Kurashov harus membayar US$ 12 ribu lagi untuk melengkapi segala dokumen yang diperlukan. Toh dengan mengeluarkan US$ 14 ribu, Kurashov masih mendapat laba. Dia tak mau membawa mobil bekas itu jauh-jauh ke Moskow. Mobil-mobil itu dijualnya di dekat perbatasan, seperti di Yuzhny Port. Sebagian mobil-mobil itu dibeli dari orang-orang Polandia yang merantau ke Jerman. Sebagian lagi merupakan barang curian. Tapi Kurashov tak perlu panik. Tak sulit mengurus dokumennya. Kadang-kadang ia menerima pesanan untuk memasukkan mobil mewah, semacam Porsche 984 atau Camaro. "Tapi sebagian besar pesanan yang saya layani adalah Mercedes dan Volvo," tuturnya. Kalau pasaran mobil sedan sedang sepi, Kurashov membeli truktruk bekas jenis Ladas, Nevas, Kamaz, yang sebetulnya buatan eks Uni Soviet, di Jerman. "Orang Jerman kini tak butuh mobil-mobil buatan Uni Soviet," kata Kurashov. Kamaz diperolehnya dengan harga 1.000 mark. Dengan membeli truk-truk besar itu, dia bisa untung dua kali. Selain mendapat laba dari truknya, Kurashov juga bisa memperdagangkan onderdil-onderdil bekas dari segala macam merek. Onderdil-onderdil itu dicopot dari mobil-mobil yang sudah tak laik jalan. Lalu bak truknya tak dibiarkan kosong. Ia mengisinya dengan barang-barang konsumsi buatan Eropa Barat: video, kamera, pakaian, sampai kaus kaki. "Kita bisa menjual segala macam barang karena kekurangan dalam segala hal," kata seorang pengusaha muda lain, Alexei Solntsev. Ia adalah direktur Shevro, salah satu apa yang dinamakan sebagai "koperasi", yang akhir-akhir ini bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Sebuah koperasi yang pada kenyataannya tak lain dari suatu perusahaan dagang, apabila kondisi mengizinkan. Shevro didirikan beberapa tahun yang silam. Mulanya, sebagai pabrik pembuat sepatu. Tapi, perusahaan itu berkembang menjadi usaha dagang di pelbagai bidang, terutama dengan membuka rangkaian toko-toko. Di Moskow saja, ia memiliki tiga toko yang menjual sepatu, pakaian, dan benda-benda elektronik. Problema yang dihadapi mereka adalah bagaimana mengisi toko-toko itu dengan barang. Rakraknya kebanyakan kosong. Shevro memperoleh barang-barangnya melalui perusahaan-perusahaan yang disebut sebagai "turisme bisnis perorangan". Sebagian waktu dari para direkturnya dihabiskan untuk berusaha memperoleh karcis kereta api dan pesawat terbang: sebagian untuk pergi ke Cina buat membeli barang dagangan atau sebagian lagi ke negara-negara Baltik untuk menukarkan rubel. "Kami mengirim banyak orang terutama ke Cina," kata Solntsev. "Barang di sana sangat murah harganya, terutama tekstil. Tapi kita juga bisa memperoleh komputer, stereo set, hifi, video, atau televisi. Kami lebih menyukai bepergian dengan kereta api karena bisa membawa lebih banyak barang. Tapi, kadang-kadang sukar juga mendapat karcis kereta api, jadi kami terpaksa pergi dengan pesawat." Toko-toko itu menjual barang-barang yang dapat mereka peroleh dari para pembelinya sendiri atau dari orang-orang yang kembali dari luar negeri. Dengan cara itulah mereka memperoleh kaus tangan dari Korea, sutera Muangthai, kain wol Hungaria, alat-alat elektronik JVC, Panasonic, dan Sony. Kadang-kadang barang-barang juga diperoleh dari buruh perusahaan-perusahaan yang punya hubungan dengan perusahaan asing. "Di salah satu pabrik, setiap buruhnya punya hak untuk memiliki sebuah lemari es merek Bosch dengan harga tujuh ribu rubel. Kami membeli dari dia dan menjualnya dengan harga sampai 20.000 rubel," kata Solntsev. Shevro menjual barang dengan rubel, tapi ia harus membeli barang dengan dolar. Keadaan itu mengharuskan para petugas pembeliannya untuk lebih banyak bepergian. "Orang-orang di Baltik, tak seperti kami di sini, tak begitu bernafsu untuk memiliki rubel," kata Solntsev. "Umpamanya saja, kurs dolar di Moskow 50 rubel, sedangkan di Baltik 65 rubel. Jadi, kami bisa mendapat keuntungan dengan menjual dolar di Baltik, kemudian membeli dolar lagi di Moskow." Bermain jualbeli valuta asing dengan bepergian dengan kereta api dan membawa uang kontan adalah salah satu pelajaran tentang dunia kapitalistis yang didapat para pengusaha muda. Sampai akhir dasawarsa 80, pekerjaan seperti itu adalah perbuatan melanggar hukum. Karena itu, sampai sekarang, mereka belum bisa membedakan bisnis gaya baru dengan pasar gelap. "Saya hanya tahu tentang gelombang radio dan tak paham sedikit pun tentang ekonomi pasar," kata Solntsev, 24 tahun, lulusan Institut Konstruksi Radio, Moskow. Yang diketahui pengusaha muda ini sebetulnya hanya pengetahuan dasar tentang untung rugi. Ada beberapa hal yang aneh mengenai kapitalisme yang sedang muncul di Uni Soviet. Salah satu segi dari keanehan itu adalah kecenderungan untuk menaikkan harga, dan bukan menurunkannya, apabila ada pesanan partai besar. Misalnya saja, sebuah jam tangan militer bisa diperoleh dengan harga US$ 10. Bila ditawar US$ 25 untuk tiga buah jam, si penjual akan mencibir dan minta US$ 35. Hal seperti itu masuk akal saja buat Solntsev yang belum terbiasa menghadapi pesanan besar. "Kalau pembeli menginginkan sesuatu lebih banyak lagi, artinya ia sangat memerlukannya, karena itu kita harus menjualnya dengan lebih mahal lagi," katanya. Sistem baru yang disebut "anarkokapitalisme" telah memunculkan orang-orang kaya baru dengan banyak uang kontan. Sebagian dari mereka memegang dolar. Para periset pasar Eskart memperkirakan bahwa 40% penduduk Moskow memegang dolar, paling tidak, sampai US$ 50. Di wilayah-wilayah dekat perbatasan, misalnya dekat perbatasan dengan Polandia, uang mark Jerman yang penting. Di St Petersburg, mark Finlandia yang berkuasa. Empat dari lima keluarga yang tinggal dekat perbatasan memiliki valuta asing. Fakta finansial di Rusia disebut defitsitny sebagai akibat dari kekurangan persediaan. Tak banyak dari uanguang itu masuk ke bank. Apabila tak bisa didapatkan alasan yang masuk akal, dolar itu bisa disita. Sampai saat ini, memiliki dolar dianggap melanggar peraturan Pemerintah. Tapi bahkan rubel segan masuk bank. Untuk tabungan diberikan bunga 20% per tahun, padahal inflasi mencapai 5% per minggu dan kecenderungannya meningkat terus. Hanya sedikit sekali orang Rusia yang percaya pada bank atau paham tentang seluk-beluk perbankan. Akibat dari keadaan itu, para OKB memegang uang kas yang banyak, tanpa bisa membeli apa-apa. Igor Ballo, bekas dokter gigi berusia 37 tahun, punya jalan keluar. "Di negeri kami, ada dua macam kekurangan: makanan dan waktu untuk senang-senang," katanya. Di mana kedua kekurangan itu bisa dikombinasikan? Inilah peluang bisnis Ballo: kasino. "Sebuah kasino menyediakan makanan, anggur, kesenangan, dan istirahat," katanya. Selama ini, orang asing hanya bisa berjudi dengan menggunakan mata uang asing di tempat-tempat atau hotel yang telah ditentukan. "Tak ada tempat untuk itu yang diperuntukkan untuk rakyat kita sendiri," kata Ballo. Karenanya, ia bercita-cita untuk mendirikan kasino dengan menggunakan rubel, walaupun kecil kemungkinannya untuk terlaksana. Di Rusia, berjudi dianggap sebagai perbuatan tak bermoral. "Tapi," katanya lagi, "segala hal di sini sangat sukar dilaksanakan. Hal yang paling utama, dengan demikian, adalah bagaimana mencari jalan pintas menembus sistem. Saya sangat suka berbuat sesuatu yang tak bisa dilakukan orang lain. Saya senang bisnis yang penuh risiko." Ballo mendapat pendidikan sebagai dokter gigi di Institut Kesehatan Moskow. Setelah lulus, ia berpraktek beberapa tahun saja sebelum terjun ke bisnis. "Saya lebih suka mengutak-atik duit daripada mereka-reka gigi," katanya. Kegiatannya dalam jualbeli buah-buahan, suku cadang mobil, dan video games. Ia telah menyimpan sebagian uangnya untuk tabungan. Untuk melaksanakan impiannya ini, ia pergi ke luar negeri. Ini untuk pertama kali selama hidupnya ia pergi ke Atlantic City, negara bagian New Jersey. Itulah ibu kota perjudian di wilayah timur Amerika. "Kesan yang saya peroleh untuk pertama kalinya adalah kenyataan bahwa negara telah berbuat banyak hal untuk warganya. Di Amerika, kita bisa berpikir di pagi hari: apa yang akan kita lakukan hari ini? Ke mana saya akan pergi hari ini? Sedangkan di Rusia, yang kita pikirkan adalah berapa lama saya akan berdiri dalam antrean pada hari ini?" Ia melihat dan memahami mesin slot, rolet, dan blackjack di New Jersey. Lalu sekelompok masyarakat kecil asal Rusia di pusat perjudian New Jersey mengurus segalanya untuknya. Dibelinya dua roda rolet bekas, dan tiga meja blackjack. Ia merasa terkesan dengan adanya kecurangan dalam judi, ia menanamkan sisa uangnya untuk membeli peralatan televisi jarak dekat untuk "mengintip" permainan. Begitu kembali ke Moskow, dimulailah usahanya untuk mendapat lisensi impor. "Kasino dengan menggunakan rubel masih belum legal," katanya. "Tapi, tak berarti bahwa itu juga tak legal. Belum ada orang yang memikirkan untuk membentuknya. Ballo menyewa tiga ruangan pada lantai dasar sebuah blok perumahan di Leninsky Prospek, lingkungan di sekitar museum Lenin, di Lapangan Merah. "Saya tak tertarik pada Lenin atau politik," katanya. "Politiklah yang telah menghancurkan Rusia." Kasino yang diasuhnya diberinya nama Nineveh. Di dalamnya, tergantung benda-benda hiasan Turki dan lukisan-lukisan fantasi gaya cerita fiksi ilmiah yang menutupi hampir seluruh dindingnya. Barnya dihiasai gambar iklan rokok Winston dan Camel. Benda-benda yang dibelinya di Atlantic City tiba pada bulan Mei. Ballo menggaji seorang bandar judi dari kasino uang asing untuk melatih anak buahnya. Nineveh mulai beroperasi pada Juni. Biaya keanggotaan adalah 1.500 rubel per tahun atau 116 rubel per malam, yang bisa dibeli di depan pintu masuk. Dengan membayar tanda masuk, seorang pengunjung mendapat cip seharga 20 rubel, pilihan kaviar hitam atau putih, sepotong daging, dan sayuran segar. Barnya menyediakan anggur mahal dari Georgia, vodka pepper yang mahal dan jarang didapat, brendi dan wiski impor. Ballo punya kontak-kontak baik untuk memperoleh barang-barang ini. Gadis yang melayani bar mengenakan blus tipis dengan garisgaris matros. Seragam ini didapat Ballo dari kru sirkus. Sementara itu, suara Ray Charles menyanyikan Georgia on my Mind mengalun memenuhi ruangan. Baik pengunjung maupun bandar masih belum biasa main, dan dengan demikian suasananya jadi kaku. Tapi, di belakang setiap penjudi, selalu berdiri seorang gadis berambut pirang yang memberikan instruksi dan penerangan. Beberapa orang berperawakan tegap dudukduduk di sana. Mereka membawa telepon yang tentu saja merupakan simbol status. Itulah para satpam yang menjaga keamanan. Begitu bangganya mereka dengan barang mainan mirip HT itu, mereka terus-menerus saling ngomong lewat alat itu walaupun berada di ruangan yang sama. Buat orang Barat, keadaan "kasino" itu aneh dan amatir. Tapi, untuk orang Rusia, adalah sebuah kebanggaan. Wanitanya berdandan rapi dengan sepatu mengkilat dan dandanan rambut aduhai. Para lelaki kehilangan uang dengan kegembiraan tinggi. Cipcip setebal satu inci dan bernilai sampai 50 rubel bertukar tangan dengan gampang. Seorang Georgia kehilangan 20.000 rubel dalam satu meja. Itulah suasana Rusia baru dengan sistem kapitalismenya. Situasi dagang dan perburuan duit tidak berkembang hanya pada kalangan bisnis yang punya Mercedes dan BMW (bekas). Bukan juga terbatas di kalangan mereka yang asyik berpesta di disko-disko baru. Sudah banyak anak-anak muda di Rusia yang sudah terjangkit berpikir bisnis. Bukan pemandangan aneh bila terlihat anak-anak membersihkan kaca mobil di jalan-jalan. Mereka membawa sekaleng alat pembersih dan mendapat penghasilan yang lumayan, bahkan lebih banyak dari anak-anak yang melakukan "bisnis" yang sama di negara-negara Barat. Sekelompok anak muda lain memiliki kios di Pasar Izmailovo sebuah "pasar kaget" yang berdiri hanya di akhir pekan. Di sini, dijual seragam militer (dua dolar untuk sebuah jubah Red Army) dan juga kotak rokok yang dilapis dengan kain bertuliskan nama-nama keluarga bangsawan yang sudah lama mati. Ada juga yang membuat dasi, dengan tulisan: "Aku Cinta Yeltsin", "Agen KGB". Sekelompok anak lain menjual bendera partai yang sudah tak berkibar, potongan kain perca berbentuk muka Lenin di atas kain beledu, atau bendera Stalin yang langka. Harga rata-rata barang antik ini US$ 75. Mereka yang lebih tua yang masih terikat dengan gaji tetapnya mengecam harga-harga yang dipatok anak-anak muda itu. Mereka merujuk pada angka kejahatan yang meningkat. Tapi, bagi mereka yang antusias melihat lembaran uang, semua itu kemajuan, sebuah kemerdekaan dari tekanan prinsip "sama suka sama rasa" yang akhir lebih terasa sebagai sama-sama menderita. Jadi, itulah, tidak ada kata "mundur" untuk mereka. BSU, ADN, SHA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini