Dolly bukan hanya lahir dari nama Advonso Dollyres Chavid. Ia juga lahir dari bagian sebuah malam di Surabaya, 24 tahun silam. Bagi banyak orang, Dolly bukan hanya menyediakan ruang bagi nafsu lelaki, tapi juga menyediakan pekerjaan bagi banyak perempuan dan mucikari, tukang parkir, penjahit, kedai minuman, kios rokok, dan -- sekarang ini yang laris -- kondom. Ini menjadi alasan perempuan malam, seperti Sri (bukan nama sebenarnya), untuk bergabung dengan orang-orang yang diludahi para moralis, disorot pers dan para sosiolog yang kepingin menulis buku, dan dianggap sebagai korban kutukan ketika ada yang terhinggap AIDS. Mami Dolly sudah mengembuskan napas awal Januari. Tapi "anak-anaknya" masih duduk di kursi "khusus wanita", menyembunyikan air matanya dan tertawa setiap malam karena masih percaya akan kehidupan. "Seandainya aku bernama Sita atau Jessy, anak Tuan Suwito pemilik puluhan hotel di Bali, kini aku tengah berkeringat mempersiapkan Sipenmaru untuk sebuah sertifikat kebanggaan. Tapi namaku Sri, anak petani melarat, maka kulalui malam-malam yang berkeringat demi Rp 15.000 per jam (dipotong Rp 8.500 untuk "si Om"). "Seandainya aku lahir sebagai putri Bapak Sugondo, pemilik 15 majalah terkemuka, aku akan menemani ayahku yang sakit kencing batu untuk berobat ke Belanda atau Australia. Tapi, jauh di pojok Dolly, yang kulakukan hanya menggoret angka Rp 500.000 di atas kartu kelabu itu untuk obat Bapak dan sekolah adik-adik. Mengeluh? Tidak. Aku tahu, suatu hari aku bisa menundukkan nasibku. Toh hidupku sudah kenyang dengan pergantian peran: menjadi pelayan toko emas, buruh pabrik roti, pelayan toko, buruh pabrik baja, pembantu rumah tangga, hingga suatu hari pacarku memaksaku melayaninya hingga aku semaput dan bajuku robek-robek. "Pelacur bukanlah sebuah cita-cita bagi siapa pun. Seperti semua rekan-rekanku di Dolly, ini hanya satu cara untuk bertahan. Dolly mungkin sebuah lorong gelap bagi banyak orang. Tapi Dolly juga sebuah jalan penuh lampu bagi orang lain. Karena itu, aku masih berani bercita-cita menjadi seorang istri atau bahkan menjadi pengusaha -- walau tak harus punya puluhan hotel dan belasan majalah. Memang benar, orangtuaku di kampung menjadi getir ketika mereka tahu pekerjaanku. Tapi tunggulah, dua tahun lagi aku akan keluar dari lorong ini. Kalaupun itu hanya sebuah mimpi, tolong jangan bangunkan aku." Foto Esei: Rully Kesuma Teks: Leila S. Chudori, Rully Kesuma, Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini