PELACUR di berbagai tempat di Jakarta gelisah. Akhir-akhir ini
petugas keamanan dan ketertiban (Kamtib) masing-masing wilayah
Walikota gencar menertibkan mereka. Alasan yang dikemukakan para
petugas: tempat-tempat pelacur itu adalah bangunan liar.
Misalnya di Blok P Kebayoran Baru.
Tempat pelacuran di sana letaknya persis di tepi kali.
Pemerintah DKI bertekad menjadikan daerah demikian bersih dari
segala macam bangunan. Maklum banjir selalu mengancam.
Pengobrak-abrikan pelacur di tempat tersebut, menurut para
petugas berjalan tertib. "Buktinya para pemilik sendirilah yang
membongkar bangunan-bangunan yang ada di sana," kata salah
seorang dari mereka.
Namun, sementara pelacur Kebayoran Baru Jakarta Selatan sudah
angkat kaki, tak demikian halnya pelacur di daerah Kalijodoh
Jakarta Utara. Rabu malam pekan lalu mereka masih tetap menunggu
tamu. Dan suasanapun masih menampakkan cirinya yang khas:
antaranya terdengar jreng-jreng gitar orang ngamen.
Damaikah mereka? Tidak. Pos Kota awal pekan lalu menulis bahwa
pembongkaran tempat pelacuran Kalijodoh bisa ditangguhkan oleh
Kamtib Jakarta Utara, tapi dengan syarat penghuninya mau memberi
imbalan Rp 1 juta. Artinya para pelacur lewat germonya
masing-masing harus berpikir sanggupkah mengumpulkan iuran
memenuhi persyaratan tadi. Kalau tidak, tentu saja mereka pun
harus hijrah dari sana.
Benar atau tidak, para penghuni Kalijodoh mencoba cari jalan
mereka menyampaikan nasib mereka kepada Fraksi PDI di DPRD DKI
Jaya, sebagaimana dikatakan sekretaris fraksi tersebut S.
Butar-butar kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Tapi fraksi PDI,
sebagaimana dikatakan S. Butar-butar pula, "tetap mem-back
policy Pemerintah Daerah untuk melokalisir WTS di Kramat
Tunggak, kalau tidak bisa memberantasnya sama sekali."
Adakah niat memberantas itu? Tentu. Tapi masalahnya "sebanyak
pelacur yang dipulangkan, sebanyak itu pula yang datang," kata
Kepala Dinas Sosial drs Ahmad Thoha. Maksudnya, tiap kali
pelacur dirajia, atau "dikembalikan" ke masyarakat lewat satu
pendidikan mental dan berbagai ketrampilan, pada saat yang sama
datang pula pelacur baru.
Pusat pendidikan yang bisa dilalui pelacur sebelum "kembali ke
masyarakat" ada di Pasar Rebo Jakarta Timur. Ada juga hasilnya.
Sejumlah bekas pelacur belakangan banyak juga yang berumahtangga
dengan kaum transmigran bekas gelandangan yang kini tersebar di
berbagai pulau di luar Jawa.
Tapi yang gagal dari Pasar Rebo terang ada. Ahmad Thoha pun
mengatakan bahwa Kramat Tunggak' di Jakarta Utara disediakan
sebagai lokalisasi pelacur, untuk mereka yang setelah diseleksi
masih tetap akan menjadi pelacur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini