Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tiga Menguak Gender

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengembangkan metodologi dakwah yang aktual dan berperspektif kesetaraan gender. Digagas oleh tiga ulama.

4 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II baru saja usai digelar di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, 24-26 November lalu. Kongres yang diawali dengan seminar internasional di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 23 November 2022, ini menghasilkan sejumlah fatwa dan rekomendasi atas berbagai isu krusial. KUPI II juga meluncurkan Metodologi Fatwa KUPI yang digagas para ulama perempuan. Tiga ulama yang menjadi penggerak utama metodologi dakwah KUPI ini adalah Nyai Badriyah Fayumi, Nyai Nur Rofiah, dan Kiai Faqihuddin Abdul Kodir.


Nyai Badriyah Fayumi

Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, ini lahir dan besar di lingkungan Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Pati, Jawa Tengah. Perempuan kelahiran Pati, 5 Agustus 1971, ini putri pasangan Nyai H. Yuhandz Fayumi dan KH. Ahmad Fayumi Munji. Ia adalah salah satu penggagas lahirnya KUPI dan menjadi Ketua Majelis Musyawarah KUPI.

Ia menamatkan pendidikan di Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan melanjutkan pendidikan di Al-Azhar University, Mesir. Sempat terjun di dunia politik, dia kemudian menjadi komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia selama dua periode; Ketua Alimat, anggota Masyayikh, dan A’wan Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; serta Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia.

Nyai Badriyah mulai tergerak oleh masalah kesenjangan gender dan keadilan untuk perempuan ketika masih menempuh pendidikan di pesantren. Di sekelilingnya banyak muncul persepsi dan perspektif negatif dalam konstruksi gender. Seiring dengan pendidikan dan pengalaman yang diperoleh, ia menemukan banyak rujukan Islam yang memberikan konstruksi gender positif yang selama ini luput dalam narasi. Meski tak aktif secara politik, dia mencoba kembali ke jalan organisasi kultural memperjuangkan kesetaraan gender dan keadilan untuk perempuan.

Ia menawarkan konsep makruf sebagai salah satu istilah kunci dalam tradisi Islam, terutama yang menyangkut hukum. Ia mendefinisikan konsep makruf sebagai sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran, dan kepantasan yang sesuai dengan syariat, akal sehat, dan pandangan umum masyarakat.

Konsep makruf ini mengandung tiga ide dasar, yakni prinsip relasi sosial, keadilan, dan kerja sama. Hal ini juga diartikan sebagai bentuk apresiasi dan referensi tradisi baik yang diterima dan diamalkan dalam masyarakat. Makruf juga adalah pendekatan dalam menurunkan dan mengkontekstualisasi nilai-nilai universal Islam. “Seperti keharusan saling rela dan musyawarah,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Nyai Nur Rofiah

Nur Rofiah di rumahnya, Tangerang Selatan, Banten, Mei 2021. Dok. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nyai yang satu ini adalah salah satu ahli tafsir lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan di Ankara University, Turki, hingga meraih gelar doktornya. Ia juga salah satu anggota tim utama KUPI. Selain itu, ia seorang pengajar ilmu Al-Quran dan tafsir di Universitas Negeri Syarif Hidayatullah dan Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran Jakarta. Nur Rofiah pernah terjun pula dalam politik melalui Partai Kebangkitan Bangsa dan Fatayat NU.

Perempuan yang lahir di Pemalang, Jawa Tengah, 8 September 1971, ini juga aktif mengasuh pengajian daring melalui Ngaji Keadilan Gender Islam. Melalui pengajian ini, Nur Rofiah menghadirkan tafsir-tafsir hadis dan Al-Quran yang memberdayakan perempuan. Ia mencoba merebut narasi yang selama ini membuat perempuan menjadi obyek dengan tafsir-tafsir yang mencerahkan dengan perspektif keadilan hakiki perempuan. Di dalamnya dia menjelaskan konsep Al-Quran sebagai sistem dan proses.

Ia menjelaskan, konsep keadilan hakiki perempuan Al-Quran sebagai sistem dibagi menjadi tiga, yakni ayat misi, ayat fondasi moral, dan ayat cara. Adapun sebagai proses, ayat Al-Quran dibagi menjadi tiga, yakni ayat titik berangkat, ayat target antara, dan ayat tujuan final.

Tafsir yang disodorkan adalah tafsir yang memanusiakan perempuan, menjadikan perempuan sebagai subyek, dan mengintegrasikan pengalaman kemanusiaan khas perempuan, baik secara biologis maupun sosial. Dia menerangkan, prinsip keadilan hakiki perempuan mengintegrasikan pengalaman kemanusiaan khas perempuan dalam keadilan. Yang pertama adalah pengalaman biologis karena sistem reproduksi perempuan dimulai dari menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman tersebut tidak bisa didefinisikan oleh laki-laki dan forum yang berisi laki-laki. Pengalaman nyata perempuan yang beragam inilah yang membuat keputusan forum harus melibatkan mereka.

Yang kedua berangkat dari pengalaman sosial perempuan karena sistem patriarki. Perempuan banyak mengalami ketidakadilan gender hanya karena jenis kelaminnya. “Seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, beban ganda, agar tidak terjadi sama sekali,” ujarnya. 

Ketertarikannya terhadap isu gender dan Islam muncul setelah ia terjun dalam dunia aktivisme dan bersinggungan dengan perempuan korban kekerasan. Pengalaman itu kemudian membawanya untuk lebih kritis merebut tafsir yang lebih adil gender dan membumikannya melalui dakwah.


Kiai Faqihuddin Abdul Kodir

Kiai Faqihuddin Abdul Kodir. Kupi.or.id

Biasa dipanggil Kang Faqih, pria yang lahir di Cirebon, 31 Desember 1971 ini, menghabiskan waktunya selama enam tahun di Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon, pimpinan KH. Ibnu Ubaidillah Syathori dan KH. Husein Muhammad. Ia menamatkan pendidikan double degree di Fakultas Syariah dan Fakultas Dakwah Damascus University, Suriah. Ia lalu melanjutkan pendidikan S-2 di University of Khartoum di Damaskus dan International Islamic University Malaysia. Pendidikan doktoralnya diselesaikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pengajar di Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat; Ma’had Aly Pesantren Kebon Jambu Babakan, Ciwaringin, Cirebon; dan Institut Studi Islam Fahmina ini juga menjadi salah satu ulama yang punya perhatian terhadap penguatan hak-hak perempuan dalam Islam. Ia menggerakkan para ulama muda untuk menyebarkan tafsir yang lebih memberdayakan perempuan atau muslimah. Konsep yang diusungnya adalah mubadalah (kesalingan).

Metode yang diperkenalkan Kang Faqih adalah satu kesatuan dengan konsep yang diusung Nyai Badriyah Fayumi dan Nyai Nur Rofiah. Konsep kesalingan dan kerja sama basisnya adalah kerja sama dua pihak, bukan hierarki atau hegemoni. Menurut Faqih, dalam relasi gender dan perempuan, hukum Islam adalah kerahmatan. Karena itu, kemaslahatan harus diusahakan dan diperoleh oleh laki-laki dan perempuan. “Muaranya adalah mewujudkan kemaslahatan, menghapus keburukan. Jadi semua ayat, hadis, fikih jika sedang diserukan, ya untuk kebaikan perempuan dan laki-laki,” ucapnya.

Mubadalah, yang mengutamakan kesalingan, tidak boleh hanya untuk satu pihak. Ini menjadi metode tafsir untuk menemukan makna yang digunakan oleh ulama perempuan dan sebagai strategi dakwah.

Menurut Faqih, sebagai pendekatan, konsep ini sudah lama ada tapi belum dinamakan. Faqih beserta para tokoh di lembaga swadaya masyarakat Rahima dan Institut Studi Islam Fahmina membuat pendekatan ini guna diluncurkan dalam KUPI I, tapi belum cukup kuat bergaung. Setelah berbagai halaqah dan pertemuan selama lima tahun, pendekatan ini mulai bergema. Sebanyak 28-30 ulama utama KUPI mengukuhkan metode ini pada 2018 dan disepakati pada 2019 dengan berbagai hasil konsultasi dan masukan. Metode baru ini makin dikenal dalam kongres di Jepara pada 24-26 November lalu.

Faqih salah satu ulama laki-laki yang terjun menggeluti isu perempuan. Tak hanya karena bimbingan sang guru, KH. Husein Muhammad, persinggungannya dengan para perempuan penyintas kekerasan dan aktivis membuatnya peduli terhadap perempuan. Dengan pengetahuannya, ia berusaha menggali jawaban melalui tradisi di pesantren. Feminisme dan gender menjadi kacamatanya. Karena ada perbedaan pengalaman fisik, biologis, serta sosial laki-laki dan perempuan, konsep ini menekankan laki-laki agar lebih sabar, sadar, dan aktif.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus