Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKIN banyak pesantren hijau atau pesantren ramah lingkungan. Salah satunya di Desa Krawon di Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur. Akhir November lalu, tampak sejumlah santri Pesantren Mambaul Hikam sedang memotong-motong bungkus plastik bekas kemasan. Mereka memotongnya kecil-kecil lalu memasukkanya ke botol plastik kosong bekas berukuran sekitar setengah liter hingga penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah terisi penuh, botol-botol tersebut dikumpulkan dan dibuat menjadi benda atau media yang bisa digunakan kembali. Salah satunya dijadikan ecobrick. Mereka menjadikannya sebagai penahan meja dan kursi. Potongan limbah plastik juga dipakai sebagai isian bantal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada juga yang sedang memilah botol dan tutupnya untuk dijual ke bank sampah atau mengecat pot daur ulang dari limbah kertas. Sekelompok santri lain sedang membuat eco-enzym, pupuk organik cair dari bekas makanan atau sisa buah. Sementara itu, sampah daun mereka manfaatkan sebagai pupuk kompos. Di tempat lain, beberapa santri sedang membuat sabun cair dan padat dari limbah minyak jelantah. Produk sabun cair dan padat karya santri ini sudah dipasarkan secara online.
Kebijakan Pesantren Mambaul Hikam mendaur ulang sampah dirintis pada 2015 hingga kini dan dilakukan di pondok putra dan putri. Pondok ini mendidik 105 santri putri dan 130 santri putra. “Tidak ada yang terbuang, semua kami manfaatkan. Bagi kami sampah adalah berkah,” kata pengasuh Pondok Pesantren Putri Mambaul Hikam, Maftuhah Mustiqowati, 48 tahun, saat ditemui di pesantren setempat, Rabu, 30 November lalu.
Ika—sapaan Maftuhah Mustiqowati—meneruskan pengelolaan pesantren yang didirikan kedua orang tuanya, (almarhum) KH. Zubaidi Muslich dan Hj. Asmah Aziz. Pondok pesantren putra didirikan pada 12 Januari 1986 dan pondok pesantren putri berdiri pada 17 Juni 2010.
Ika mengatakan idenya untuk mengelola dan mendaur ulang sampah bermula dari keresahan banyaknya sampah plastik dari kemasan makanan atau jajanan yang dibeli para santri. Ia lalu mempelajari teknik mengelola sampah serta memiliki ide membuat ecobrick dari plastik dan mendaur ulang kertas menjadi pot. Tutup botol disetorkan ke bank sampah. Adapun sampah organik dikelola menjadi kompos, eco-enzym, dan sabun. Hasilnya bisa dipakai untuk pupuk, membersihkan lantai atau mandi, serta mencuci di lingkungan pondok.
Tak hanya dari lingkungan pondok, mereka juga menerima sampah plastik dari banyak instansi dan menebar sedekah berupa keranjang sampah. Misalnya dari madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah milik pesantren, sekolah lain di luar pesantren, instansi pemerintah, serta tempat ibadah. Mereka pun menerima minyak jelantah dari masyarakat sekitar dan rumah makan di Jombang. Untuk meningkatkan kesadaran santri, para orang tua santri diwajibkan bersedekah jelantah setiap berkunjung.
Yang cukup menarik adalah larangan penggunaan pembalut sekali pakai untuk para santri putri. Mereka diwajibkan menggunakan pembalut cuci ulang yang berbahan kain dan plastik atau kain antibocor. “Ada juga menspad yang dibuat anak-anak. Kami produksi sendiri dan banyak dipakai di pesantren ini,” tuturnya. Berkat pengelolaan sampah ini, Pondok Pesantren Mambaul Hikam serta MTs dan MA Al Hikam mendapat sejumlah penghargaan tingkat kabupaten hingga nasional beberapa tahun terakhir. MTs dan MA mendapat penghargaan Adiwiyata. Pengelolaan sampah ini menjadi salah satu elemen pembahasan dan fatwa di Kongres Ulama Perempuan Indonesia II.
Santri Pondok Pesantren Mambaul Hikam, Jombang, Jawa Timur, membuat cairan "eco-enzyme" hasil dari fermentasi ampas buah dan sayuran, gula aren, dan air, pada 30 November 2022. TEMPO/Ishomuddin
Pengelolaan sampah yang ketat juga mulai dilakukan di Sekolah Menengah Atas 3 di bawah naungan Pesantren Annuqayah “Ndalem Timur”, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pondok Ndalem Timur ini satu dari sekian banyak pondok di pesantren tersebut. Mereka mendapat sampah sebanyak dua-tiga truk pikap per hari saat masa kunjungan orang tua.
Untuk mengatasi masalah sampah itu, pengasuh pesantren seperti KH. M. Faizi kemudian berusaha mengelola sampah yang ada. Selain memilah, sampah plastik didaur ulang. Pengelolaan ini dilakukan secara ketat di SMA 3. Ada yang dibuat tas punggung, pouch, atau ecobrick. “Bahkan tas kami sempat dipesan untuk sebuah acara,” ujar Moh. Khatibul Umam, Kepala SMA 3, yang memulai pengelolaan pada 2008.
Khatib mengakui tantangan mengelola sampah ini masih besar karena belum munculnya kesadaran semua santri, orang tua, dan masyarakat di lingkungan sekitar pondok. Untuk memunculkan kesadaran itu, mereka menerapkan sistem denda bagi mereka yang membawa air minum kemasan. Sebagai penegak peraturan, dibentuk pula semacam polisi lingkungan. Mereka pun mewajibkan para santri atau siswa membawa perlengkapan makan dan minum sendiri. Sekolah menyediakan air botol galon. Untuk membeli makanan mereka harus membawa wadah sendiri dan orang tua dilarang membungkus makanan dengan plastik, melainkan membawanya dengan rantang. Khatib menjelaskan, mereka juga mengupayakan pengurangan sampah dari pembalut untuk santri putri. Caranya, mereka melarang pembalut sekali pakai untuk menstruasi.
Program pesantren ramah lingkungan atau pesantren hijau, termasuk pengelolaan sampah, juga sedang dikembangkan oleh tiga lembaga di Nahdlatul Ulama, yakni Lembaga Amil, Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama; Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU; serta Rabithah Ma’ahid Islamiyah PBNU. “Fikih lingkungan sudah lama diajarkan, saatnya dipraktikkan,” ucap Riri Khariroh, Ketua Pelaksana Program Pesantren Hijau PBNU.
ISHOMUDDIN, MUSTOFA BISRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo