Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jika Para Aktivis 1998 Masuk Partai Politik

Sejumlah aktivis pergerakan Reformasi memutuskan masuk partai politik setelah Soeharto tumbang. Dekat dengan petinggi partai. 

21 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Politikus Partai Golkar, Ace Hasan, mengenang pergerakannya saat demo menumbangkan Soeharto. Ia kini bergabung di partai yang lekat dengan Orde Baru.

  • Dita Indah Sari, pemimpin pergerakan buruh, 14 tahun menjabat sebagai staf Menteri Ketenagakerjaan hingga masuk PKB. Bersinggungan langsung dengan para buruh.

  • Budiman Sudjatmiko dan Andi Arief berbeda pilihan soal partai politik. Tapi keduanya sama-sama dekat dengan petinggi partai.

DI bawah atap gedung Dewan Perwakilan Rakyat berbentuk kura-kura, Ace Hasan Syadzily menyunggi kertas cokelat bertulisan “Turunkan Soeharto”. Waktu itu 18 Mei 1998. Ace adalah Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dua puluh lima tahun kemudian, ia mengenang peristiwa itu dengan berkantor di bawah gedung itu. Sebagai anggota DPR dari Partai Golkar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di masa Orde Baru, Partai Golkar adalah partai yang menguasai pemerintahan. Soeharto memakainya sebagai kendaraan politik untuk terus berkuasa selama 32 tahun. Para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkantor di gedung kura-kura itu terus-menerus meminta dan memilihnya berkuasa. “Dulu saya mendemo kantor ini,” katanya pada Selasa, 16 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai Ketua Senat, Ace menjalin komunikasi dengan simpul-simpul gerakan mahasiswa kampus lain. Mereka sepakat menggeruduk DPR pada hari itu meminta para wakil rakyat tak terus membebek pada Soeharto. Ia pun mengerahkan 20 bus berisi mahasiswa IAIN ke Senayan dan menerobos penjagaan gedung DPR yang superketat.

Setelah tiga hari menginap di sana, para mahasiswa menang. Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden pada 20 Mei 1998. Kekuasaan yang lumpuh membuat penjagaan gedung DPR ambrol. Mahasiswa yang kegirangan pun menerobosnya. Mereka merayakan kejatuhan Soeharto di sana hingga naik ke atapnya yang tinggi dan rapuh.

Anehnya, hanya enam tahun setelah peristiwa itu, Ace masuk Partai Golkar. Adalah Ginandjar Kartasasmita, menteri Soeharto yang loyal tapi kemudian menyatakan mundur ketika gerakan mahasiswa makin besar, yang mendorong Ace bergabung dengan partainya.

Ace mengenal Ginandjar selepas lulus dari IAIN. Ia menjadi peneliti di Indonesian Institute for Civil Society pada 2001. Di lembaga ini, Ace kerap berdiskusi dengan anak Ginandjar, Agus Gumiwang Kartasasmita, kini Menteri Perindustrian. Koneksi itu membuat karier politik Ace mulus di Golkar. Baru lima tahun bergabung, ia menjadi Ketua Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia, sayap organisasi Golkar.  

Kesetiaan dan pengabdiannya di Golkar membuatnya ditunjuk menjadi anggota DPR pengganti antarwaktu pada 2013 dan 2016. Pernah ikut Pemilihan Umum 2014 untuk daerah pemilihan Banten, Ace gagal duduk di Senayan. Namun ia menang saat Pemilu 2019. Setahun belakangan, selain menjadi anggota legislatif, Ace menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jawa Barat. 

Pilihannya berlabuh ke Golkar sempat dipertanyakan sejawatnya sesama aktivis. Ray Rangkuti, koleganya sesama aktivis mahasiswa, salah satu yang mempertanyakan keputusan Ace bergabung dengan Golkar. “Mental aktivis saat Reformasi seperti hilang,” kata Ketua Direktur Lingkar Madani itu mengingat perdebatannya dengan Ace saat dihubungi Tempo, Jumat, 19 Mei lalu.

Ace berdalih, Golkar yang ia lihat selama Orde Baru telah berubah sejak dipimpin Akbar Tandjung, Menteri Pemuda dan Olahraga era Soeharto, pada 1998-2004. Menurut Ace, di bawah Akbar, Golkar menjadi partai yang demokratis. Toh, klaim ini tak memupus citra Golkar sebagai partai pendukung pemerintah yang antidemokrasi, anti-keterbukaan, represif, dan otoriter.

Pada 2019, DPR menerima usul pemerintah merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan kewenangan independen mengusut korupsi. Revisi itu memangkas sejumlah pasal, bahkan menempatkan KPK di rumpun eksekutif—kemunduran paling fatal dalam perubahan ini.

Meski tak terlibat pembahasan langsung di Komisi Hukum DPR, Ace mengaku kerap dihubungi sesama aktivis mahasiswa soal sikap Golkar terhadap rancangan undang-undang itu. Soalnya, Golkar paling getol mendukung pelemahan KPK melalui revisi ini. Sejumlah politikusnya rutin jadi tangkapan KPK, termasuk Setya Novanto yang memimpin Golkar pada 2016-2017.

Alih-alih berbicara di DPR, Ace memilih membawa diskusi Rancangan Undang-Undang KPK keluar dari gedung parlemen, seperti di kampus. Menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten, dia pernah membagikan draf rancangan undang-undang itu kepada mahasiswa dan membedah pasal-pasal kontroversial di sela-sela mengajar. “Jadi, sebelum berdemo, mahasiswa tahu substansinya.” Kendati begitu, Ace mengaku tak menolak Rancangan Undang-Undang KPK. 

 

•••

BERJARAK enam kilometer dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat, di gedung Kementerian Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari berkantor sebagai staf menteri selama 14 tahun sejak 2009. Pemimpin pergerakan buruh era Orde Baru yang pernah dipenjara karena menuntut kenaikan upah di Surabaya itu masuk pemerintahan setelah diajak Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.

Pada periode kedua kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Oktober 2009, Muhaimin, yang didapuk sebagai Menteri Tenaga Kerja, meminta Dita menjadi juru bicaranya. Pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu mengklaim memikirkan ajakan Muhaimin berhari-hari. Sebelumnya, ia pernah menolak tawaran Jacob Nuwa Wea, Menteri Tenaga Kerja era Presiden Megawati Soekarnoputri, menjadi staf di kementerian yang sama. “Saya putuskan menerima ajakan Muhaimin karena jika ingin mengubah sistem perburuhan, harus masuk pemerintahan,” ujar Dita di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu, 17 Mei lalu. 

Dita mengenal Muhaimin sejak menjadi aktivis gerakan buruh. Sewaktu menjabat Wakil Ketua DPR 2004-2009, Muhaimin kerap menerima Dita yang berunjuk rasa menuntut hak-hak buruh dan upah minum. Setelah menerima ajakan Muhaimin, Dita meninggalkan organisasi buruh yang ia rawat sejak masa Orde Baru. Sebagai juru bicara menteri, Dita rutin menghadapi para buruh yang berdemonstrasi ke kantornya.

Dita Indah Sari. Dok. Pribadi

Lima tahun menjadi anak buah Muhaimin, Dita memutuskan masuk PKB. Mantan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang memutuskan berhenti kuliah pada 1995 itu melanjutkan kariernya di Kementerian Tenaga Kerja setelah Muhaimin lengser. Ia menjadi staf khusus menteri semasa Hanif Dhakiri dan Ida Fauziyah menjabat Menteri Ketenagakerjaan di kabinet Joko Widodo. Hanif dan Ida adalah politikus PKB.

Selama menjadi pejabat eselon I, Dita menghadapi banyak protes, terutama karena pemerintah malah mengusung omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang hendak mengutamakan investasi sehingga berdampak pada sistem perburuhan. Omnibus law bidang ketenagakerjaan malah akan membuat buruh mendapat upah murah.

Dita mengaku sempat kalang kabut menghadapi pedemo. “Sebagai mantan aktivis buruh, sulit memposisikan diri menghadapinya,” ucapnya. Ia pun mengklaim mencari jalan tengah dengan menegosiasikan pasal pesangon yang ramai diprotes. Oleh Jokowi, pesangon pekerja dipangkas dari 24 kali menjadi 17 kali gaji. “Sebagai gantinya, ada kompensasi lain. Buruh kontrak yang masa kerjanya satu-tiga tahun dapat tambahan satu kali gaji,” tuturnya. 

Kolega Dita semasa di PRD, Budiman Sudjatmiko, memutuskan kembali berpartai setelah menuntaskan pendidikan S-2 di Universitas London pada 2004. Saat ditemui di Jakarta Pusat, Rabu, 17 Mei lalu, Budiman mengenang bahwa kala itu banyak aktivis Reformasi mendapat tawaran masuk partai politik. 

Sebelum pulang ke Indonesia, Ia sempat menimbang dua partai: partai berbasis Islam dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Setibanya di Tanah Air pada pertengahan 2004, aktivis yang dituduh sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996 di kantor PDI itu bertemu dengan Andi Arief—juga aktivis PRD—di sebuah hotel di Jakarta Barat. 

Budiman meminta pendapat Andi soal pilihan politiknya. Andi yang saat itu sudah dekat dengan Partai Demokrat, partai pemenang Pemilu 2004, mengajaknya bergabung ke partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono itu. “Saya memilih PDIP setelah berkonsultasi dengan Pak Taufiq Kiemas (suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri).” Budiman resmi masuk partai banteng pada akhir 2004.

Lima tahun pertama di PDIP, ia mendapat tugas menghimpun suara pemilih di berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa. PDIP banyak kehilangan pemilihnya saat Pemilu 2004. Budiman dianggap memiliki jaringan kelompok masyarakat desa yang ia kenal semasa aktif di PRD. Dita Indah Sari, kolega Budiman di PRD, mengatakan alumnus UGM itu banyak berjejaring di serikat petani.

Menjelang Pemilu 2009, Budiman maju sebagai calon legislatif di daerah pemilihan Banyumas, Jawa Tengah. Memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya, ia lolos ke Senayan dan duduk di Komisi Pemerintahan Dalam Negeri. Ia menjadi rekan sekomisi Ganjar Pranowo yang saat ini diusung sebagai calon presiden 2024 oleh PDIP.

Andi Arief berpose di Jakarta, 19 Mei 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Di komisi itu, Budiman memobilisasi 30 ribu kepala desa untuk demonstrasi agar DPR meloloskan Rancangan Undang-Undang Desa. Selama menjadi anggota DPR 2009-2014, Budiman bercerita, ia pernah menghadapi godaan terberat sepanjang hidup: bancakan proyek kartu tanda penduduk elektronik. Budiman mengklaim lolos dari godaan itu.

Lain Budiman, lain pula Andi Arief. Jika Budiman langsung memutuskan masuk partai selepas Pemilu 2004, Andi justru menunggu 15 tahun. Menjadi anggota tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu 2004, mantan Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia (SMID) Yogyakarta itu tak langsung bergabung dengan Partai Demokrat.

Selepas Yudhoyono turun dari kursi presiden di periode kedua pada 2014, ia baru secara resmi bergabung dengan partai ini. Sebelumnya ia menjadi komisaris PT Pos Indonesia, hadiah jabatan karena masuk tim pemenangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Saat masuk Demokrat, Andi langsung menduduki jabatan wakil sekretaris jenderal.

Andi mengenal Yudhoyono sewaktu ia kuliah di Universitas Gadjah Mada pada 1995. Pada waktu itu Yudhoyono menjabat Komandan Komando Resor Militer 072. “Kami sering diskusi soal banyak hal,” kata Andi. Sewaktu Yudhoyono menjadi presiden, Andi pun ditarik ke Istana Negara sebagai staf presiden bidang kebencanaan dan bantuan sosial. Sebagai orang dalam Istana, Andi kerap mendapat titipan agar Yudhoyono segera menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu. “Ternyata tidak gampang,” ucap aktivis yang diculik tentara pada Maret 1998 ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Tol Menuju Parpol"

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput untuk kanal ekonomi dan bisnis di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus