Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Apa yang Dilakukan Para Aktivis 1998 di Istana?

Sejumlah aktivis Reformasi 1998 masuk Istana. Ikut menjalankan agenda pemerintah.

21 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGIRIMKAN pesan ke grup Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Mugiyanto menyampaikan undangan dari Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pada awal Desember 2020. Aktivis yang pernah diculik menjelang peristiwa Reformasi 1998 itu mengatakan Moeldoko ingin mendengar pendapat mereka tentang penyelesaian kasus hak asasi manusia berat secara non-yudisial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Februari 2020, Mugiyanto, mantan Ketua IKOHI, menjadi tenaga ahli madya Kedeputian V Kantor Staf Presiden (KSP) yang membidangi politik, hukum, keamanan, dan hak asasi manusia. “Pak Moeldoko ingin bertemu dengan keluarga korban pelanggaran HAM berat secara informal,” kata Mugiyanto di kantornya pada Jumat, 19 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Paian Siahaan memenuhi ajakan Mugiyanto. Ia datang bersama istrinya, Damaris Hutabarat, yang duduk di kursi roda karena penyakit lupus. Mereka orang tua Ucok Munandar Siahaan, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas—kini Perbanas Institute—yang diduga diculik pada 1998. “Mas Mugi memfasilitasi pertemuan itu,” ujarnya, Jumat, 19 Mei lalu.

Saat itu pemerintah sedang menjajaki penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lewat mekanisme di luar pengadilan. Paian ikut mendukung rencana tersebut. Saat bertemu dengan Moeldoko, ia juga menyampaikan kabar bahwa sejumlah keluarga korban yang hilang menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tersandung masalah ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Pada Agustus 2022, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Tim itu dipimpin oleh mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Makarim Wibisono. Mugiyanto juga tergabung dalam tim itu.

Mugiyanto,di Jakarta, 19 Mei 2023. Tempo/Febri Angga Palguna

Sebelum bekerja di kompleks Istana, Mugiyanto aktif di lembaga nonprofit di bidang HAM. Sebelumnya ia kerap menuntut para pelaku pelanggaran HAM diadili guna memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya. Mugiyanto mengaku diajak seorang kenalannya di KSP untuk bekerja di lembaga itu.

Mugiyanto sempat berdiskusi dengan sejumlah keluarga korban pelanggaran HAM berat, termasuk Paian Siahaan, dan Sekretaris Umum IKOHI Zaenal Muttaqien mengenai ajakan tersebut. “Kami berdiskusi soal kelebihan dan kekurangan jika Mugi bergabung ke Istana,” kata Zaenal ketika dihubungi, Jumat, 19 Mei lalu.

Sejak menjadi mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1992, Mugiyanto sudah menjadi aktivis kampus. Saat UGM berencana memberlakukan iuran sumbangan orang tua mahasiswa, Mugi—panggilan Mugiyanto—yang berasal dari keluarga buruh tani memprotesnya. Protes itu juga bergema di majalah Dian Budaya, terbitan Fakultas Sastra UGM.

Mugiyanto lalu bergabung dengan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, organisasi bawah tanah Partai Rakyat Demokratik. Ia ditugasi ke Filipina, Belanda, dan sejumlah negara lain di Eropa untuk mengkampanyekan pembebasan rekan-rekannya yang dituduh menjadi dalang pengambilalihan kantor Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996.

Pada 13 Maret 1998, sekitar sebulan sebelum Presiden Soeharto lengser, Mugiyanto diculik oleh Tim Mawar Komando Pasukan Khusus. Ia diciduk di Rumah Susun Klender, Jakarta Timur. Bersama dua rekannya, Nezar Patria dan Aan Rusdianto, ia mengalami penyiksaan seperti disetrum, dipukul, dan ditelanjangi. “Saya berpikir pasti bakal mati,” tuturnya.

Mugiyanto dan dua kawannya lantas dibawa ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan ditahan dengan tuduhan subversif. Lebih dari dua bulan di sana, Mugi mengetahui unjuk rasa mahasiswa yang menuntut Soeharto mundur makin gencar. Dari bilik sel, ia sempat mendengar suara rentetan tembakan.

Penahanan Mugiyanto ditangguhkan pada 6 Juni 1998. Setelah itu, dia bergabung dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). “Saya melakukan kampanye dan menuntut hak-hak korban kepada pemerintah,” ujarnya.

Dulu gencar menuntut pelaku pelanggaran HAM berat diadili, Mugi kemudian mendukung penyelesaian di luar pengadilan. Ia mengaku mendengar cibiran dari sejumlah aktivis mengenai sikapnya itu. “Ada yang menuding saya enggak ngapa-ngapain,” ucapnya.

Ia mengaku tetap berupaya menyelesaikan berbagai persoalan hak asasi. Direktur HAM dan Kemanusiaan Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib membenarkan kabar tentang peran Mugiyanto. Terakhir Mugi membantu menjawab pertanyaan dari PBB tentang persidangan juru bicara Komite Nasional Papua Barat, Victor Yeimo.

Victor didakwa melakukan tindakan makar dan kini kasusnya masih berlanjut di Pengadilan Negeri Jayapura. “Kami menjawab, proses sesuai dengan hukum acara dan hak-haknya telah dipenuhi,” tutur Achsanul pada Jumat, 19 Mei lalu.

Mugiyanto mengaku masih mengingat nama anggota Tim Mawar yang menculiknya. Ia tak ingin bertemu dengan para personel Kopassus yang masih aktif itu. Tapi akhirnya ia berjumpa dengan anggota Tim Mawar yang kini berpangkat mayor jenderal yang hadir saat Mugi diinterogasi. Keduanya lantas bertegur sapa. “Kami pun selfie,” katanya.

Aktivis lain yang ada di lingkaran Istana adalah Wandy Tuturoong. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional itu pernah bergabung dengan Front Aksi Mahasiswa Indonesia. Ia dipenjara dua kali pada 1993 dan 1998. Wandy yang kerap dipanggil Binyo bergabung dengan Kantor Staf Presiden sejak Maret 2015.

Binyo Tuturong di Jakarta, 17 Mei 2023. Tempo/Subekti.

Kepala Staf Kepresidenan saat itu, Teten Masduki, mengajaknya bergabung. Teten—kini Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah—meminta Wandy membantu penataan organisasi KSP. Wandy pun ikut membuat tim khusus, seperti tim khusus reformasi birokrasi dan reformasi agraria.

Pada akhir 2019, Wandy aktif terlibat membahas Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dia juga menjadi juru bicara pemerintah untuk persoalan IKN. Aktivitasnya membuat dia kerap dikritik sejumlah aktivis. Terutama terkait dengan pemenuhan hak masyarakat dan lingkungan. “Tapi akhirnya kami sama-sama paham posisi masing-masing,” ujar Wandy.

Deputi Pendanaan dan Investasi IKN Agung Wicaksono juga salah satu aktivis 1998. Ia sempat bergabung dengan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Saat menjabat Sekretaris Jenderal Forum Ketua Himpunan Jurusan Institut Teknologi Bandung, Agung dan organisasinya kerap mengkritik Soeharto. Saat itu sejumlah alumnus ITB berada di kabinet.

Agung mengikuti seleksi sebagai calon deputi pada awal 2023. Ia mau masuk ke proyek yang menjadi sorotan masyarakat itu karena pekerjaan sebelumnya, yaitu Managing Director PT Jababeka Infrastruktur di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, mirip dengan pembangunan IKN. “Mungkin 30 tahun yang lalu di Jababeka itu mirip IKN, masih hutan dan tanah,” katanya, Kamis, 18 Mei lalu.

Saat Agung menjalani proses seleksi, istrinya yang mantan aktivis lingkungan mewanti-wanti dia mengenai berbagai persoalan di IKN. Agung lantas mendapat penjelasan bahwa IKN diklaim bisa menurunkan emisi karbon pada 2045 dan tak ada deforestasi. “Ini bukan soal politis, tapi soal masa depan,” ucapnya.

Associate Profesor Nanyang Technological University, Singapura, Sulfikar Amir, juga sempat berdiskusi dengan Agung pada April lalu. Sulfikar mengingatkan model otorita IKN yang cenderung otoriter. Nanti masyarakat di IKN tak punya hak pilih karena kepala otorita ditunjuk oleh presiden. “Model otorita menjadikan tidak ada status warga kota,” katanya pada Jumat, 19 Mei lalu.

Agung kini juga sibuk mencari calon investor yang mau menginvestasikan duitnya ke IKN. Pada pertengahan Mei lalu, Agung dan tim IKN berkunjung ke Uni Emirat Arab dan Kuwait. Di sana dia memperkenalkan konsep IKN. “Tantangan di IKN berat karena 80 persen pembangunan adalah investasi,” tuturnya.

Pejabat lain yang pernah menjadi aktivis 1998 adalah Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani. Kuliah di Universitas Sam Ratulangi, Manado, Benny pernah menggelar aksi mogok makan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada akhir 1997. Saat itu krisis ekonomi melanda Indonesia.

Saat dirawat di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, Benny mendengar kabar bahwa ia dicari-cari Tim Mawar Kopassus. Ia dibawa pergi ke rumah aman di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, oleh pendiri YLBHI, Adnan Buyung Nasution. “Ada kabar Tim Mawar sudah dekat rumah sakit,” katanya. Belakangan, ia kembali ke Manado.

Setelah Reformasi 1998, Benny bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada 2014-2019, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Sulawesi Utara. Pada Pemilihan Umum 2019, Benny menjadi Direktur Kampanye Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Benny Rhamdani di Jakarta, 16 Mei 2023. Tempo/Subekti.

Benny bercerita, awal 2020, ia dipanggil Menteri Sekretariat Negara Pratikno. Ia diminta bersiap-siap menempati posisi kepala lembaga. “Tapi saya tidak dijelaskan akan jadi apa,” ucapnya. Benny, yang juga politikus Partai Hanura, dilantik menjadi Kepala BP2MI pada April 2020.

Tiga tahun memimpin BP2MI, Benny mengklaim sudah membuat terobosan untuk pekerja migran. Misalnya biaya penempatan yang selama ini ditanggung calon pekerja migran kini menjadi tanggung jawab perekrut. “Rata-rata Rp 15-19 juta,” ujarnya. Biaya itu diperlukan untuk pembuatan paspor dan visa hingga pengecekan kesehatan.

Benny juga mengklaim berhasil membongkar perdagangan pekerja migran. Namun Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menampik klaim tersebut. Menurut dia, saat ini pekerja migran justru diberi opsi Kredit Usaha Rakyat untuk biaya penempatan. “Menjerat pekerja migran dengan beban utang baru,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Selfie Korban dan Penculik"

Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus