Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSENYAWAAN antara musik populer dan khazanah musik pesisir Madura, itulah yang dicapai oleh Lorjhu’, yang bernama asli Badrus Zeman. Album pertama Badrus memuat elemen-elemen musik dari dua poros itu, yang saling melebur, sehingga musiknya tidak dapat lagi dikatakan berada di antara satu dan yang lain, tapi telah menemui watak dan bentuk barunya. Ini bukan hal langka dalam kancah musik irama dunia (world beat), tapi belum banyak ditemui di arena musik populer Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesembilan lagu dalam album Paseser semula dirilis sebagai single melalui ranah digital. Hampir seluruh proses pembuatan musik Lorjhu’ dikerjakan Badrus secara solo, baik lagu maupun lirik. Begitu pula pengerjaan aransemen hingga proses perekaman, yang pada awalnya dilakukan dengan mengandalkan perangkat telepon seluler miliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecuali pada lagu “Nemor” (Musim Kemarau)—sebagai single perdana yang dirilis pada Februari 2020—ia dibantu oleh musikus asal Sumenep, Jawa Timur, Rifan Khoridi, dalam pembuatan musik serta Candra Aditya dalam perekaman, mixing, dan mastering. Badrus mengatakan, pada dasarnya, “Dalam 80 persen proses pembuatan, sayalah yang ‘memasak’-nya.”
Proses pembuatan album Lorjhu’ dimulai pada pertengahan 2019. Sepanjang dua tahun Badrus menggerakkan proses musiknya tersebut sewaktu masa pandemi. Demi kelancaran proses tersebut, ia melakukan berbagai cara, antara lain mengutak-atik teknologi demi pemanfaatan sederhana. Alat musik utamanya adalah gitar, tapi ia juga bernyanyi sekaligus membunyikan drum dan synthesizer. Kecuali untuk perkusi dan suling, ia mendapat bantuan dari kawan-kawannya.
Pada Mei 2022, barulah ia membentuk sebuah band yang beranggotakan Gahara Iden Sutansyah (drumer) dan Ikhsan Insan Negara (basis). Kelompok ini menemukan panggung pertamanya dalam Archipelago Festival di Museum MACAN, Jakarta, pada Juni 2022, dan panggung-panggung lain, seperti Synchronize Fest 2022.
Lorjhu saat konser live-nya di Jakarta, Juli 2022/Azmi
Badrus mengakui setiap lagu dimulai dengan sebuah tema yang selalu terkait dengan paseser atau pesisir, tepatnya pesisir Sumenep tempat ia menghabiskan masa kecil dan remaja. Dia juga menamai kelompok musiknya Lorjhu’, sebuah kata Madura untuk kerang bambu. Selain mengalami lingkungan budaya musik Madura, Badrus pernah bermain aliran musik populer, tepatnya jenis rock dan metal.
Keinginannya membuat musik campuran bercita rasa lokal dan rock serta berbahasa Madura muncul ketika masih di bangku sekolah menengah pertama. Keinginan tersebut terbawa hingga masa masuk kuliah pada 2009 di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.
Dari acuan musik yang didengarkannya, terlihat bahwa dia ingin menggali bunyi berbeda dari musik-musik campuran yang ia ketahui sebelumnya, tapi masih mengandung unsur budaya musik setempat. Musik hibrida, terutama dari Afrika utara dan barat yang dikenal kaya akan musik campuran berciri lokal, sebutlah yang dihasilkan oleh Habib Koité dan Songhoy Blues dari Mali, serta grup musik lain yang berbasis pada bunyi gitar khas Afrika, yang juga dikenal dengan gaya desert blues, seperti Tinariwen (sebuah kolektif musik Tuareg beranggotakan pemusik dari berbagai negara di barat dan utara Afrika), adalah sumber inspirasi baginya dalam proses pembuatan musik Lorjhu’.
Bangunan lagu-lagu dalam Paseser tidak mengikuti kaidah lagu pop pada umumnya, yang berstruktur strofik (AABA), melainkan mengikuti struktur lagu rakyat Madura. Ini terdengar misalnya pada melodi yang tersusun dalam frasa-frasa pendek berulang dengan satu, dua, atau lebih variasi kecil dari melodi utamanya. Melodi dalam musik Lorjhu’ berdasarkan lima nada dalam wilayah nada diatonik atau dapat dikatakan sebagai pseudo-pentatonik.
Hampir semua lagu dalam Paseser dinyanyikan menggunakan ornamen, terutama penggunaan beberapa nada pada ujung kalimat melodi yang diliukkan atau digelombangkan, hal yang dapat ditelusuri sebagai turunan dari ornamen dalam nyanyian tradisional Madura.
Lagu pembuka, “Kembang Koning” (Kembang Kuning), dinyatakan Badrus sebagai satu-satunya lagu dengan tema yang tidak direncanakan lebih dulu dalam Paseser. Kata kembang koning secara acak dilantunkan ketika ia sedang melakukan pekerjaan sehari-hari hingga kemudian muncul pola ritme dan frasa melodi yang dituliskannya kembali.
“Kembang Koning” terbentuk dengan sendirinya. Tapi belakangan, melalui beberapa penelusuran, Badrus menemukan konteks dan kaitan kembang koning dengan lingkungan sekitarnya, dari kembang tanaman bakau yang berwarna kuning hingga nama salah satu tokoh ulama yang makamnya terletak tak jauh dari rumahnya. Meskipun berbagai subtema kembang kuning ditemukan secara kebetulan sebagai lirik lagu, unsur-unsur musikalnya tertata rapi, sebagaimana terdapat dalam lagu-lagu lain di album ini.
Lagu “Can-macanan”, yang merupakan single hit dalam Paseser, bertema kesenian barongan Madura yang berbentuk serupa harimau. Lagu dimulai dengan intro vokal dengan struktur lagu yang memiliki ciri frasa melodi utama dengan dua variasi kecil dari frasa melodi utama. Terdapat senggakan meningkahi interlude atau selingan melodi dari instrumen musik. Begitu pula lagu “Toron”, yang diawali dengan intro gitar bermeter bebas, bertempo lambat, dan terdapat empat variasi kecil dari frasa melodi utama.
Toron secara harfiah berarti turun, yang dalam budaya Madura adalah sebuah konsep yang menggambarkan peristiwa mudik. Merantau, bagi masyarakat Madura, dipercayai sebagai proses menuju arah yang lebih tinggi. Setelah kembali dari merantau atau “berlayar”, Badrus mengatakan, “Seseorang dianggap telah berhasil turun dari sebatang pohon dan memetik buahnya.” Sebagai perantau, Badrus sesekali turun menghadiri peristiwa penting di kampung halamannya.
Pengaruh bunyi gitar desert blues dan gaya meter bebas nyanyian Nusantara, terutama pada intro gitar dan vokal dalam lagu “Romassanah Kerrong” (Perasaanku Rindu), memperlihatkan bagaimana lapisan campuran unsur musikal terjadi sehingga membentuk ciri bebunyian baru. Begitu pula “Saporana” (Maaf, Permisi), “Lakonah Oreng Manceng” (Tingkah Orang Mancing), dan “Moy Tamoyan” (Bertamu), intro gitar memperkuat pernyataan bunyi campuran sekaligus cerita yang terkandung pada lagu-lagu tersebut.
Jelaslah, penceritaan tidak hanya melalui makna lirik yang terkandung di dalam lagu—hal ini berlaku terutama bagi pendengar yang tak paham bahasa Madura—tapi bebunyian bersahaja, khususnya gitar, dari Lorjhu’-lah yang menggambarkan makna lagu. Di sini bunyi gitar berperan, mengantar cerita-cerita pesisir, konteks Madura, dalam bunyi komunikatif, tersambungkan kepada generasi pendengar musik populer masa kini.
Dua lagu lain memperkuat usaha Lorjhu’ meleburkan unsur bunyi-bunyian Madura ke dalam bebunyian arus utama, bunyi populer, sebagai cerminan ingatannya tentang pesisir secara reflektif. Lagu “Nemor” (Musim Kemarau) memuat pola ritme yang menunjukkan semangat seperti dalam musik daul atau patrol (keduanya genre musik perkusif Madura yang berkaitan dengan peristiwa Ramadan). Dalam lagu “Malem Pengghir Sereng” (Pesisir di Waktu Malam), terjadi pembalikan gagasan tentang pantai.
Pantai biasanya dikaitkan dengan kesenjaan dan pasir putih. Namun, bagi nelayan, keindahan pantai justru terjadi pada malam hari. Pembenturan gagasan non-musikal dan musikal dilakukan Lorjhu’ melalui imaji bunyi daul lewat bunyi gitar. Keinginan Lorjhu’ untuk mempertemukan dua kutub atau gaya musikal secara sadar terjadi melalui berbagai proses reflektif. Menurut Badrus, akan menarik jika, “Bunyi-bunyian Madura atau nada-nada tertentu yang pentatonik dimainkan pada alat musik Barat, misalnya gitar.”
Lorjhu/Tempo
Kesadaran seorang pemusik bermetamorfosis, bagi Lorjhu’, terdorong oleh beberapa hal, misalnya bagaimana keterbukaan dapat dicapai justru setelah berada di rantau. Selain itu, lingkungan kampus seni tempat ia kuliah, meski bukan dalam bidang musik, telah memberikan andil besar dalam membuka serta memperluas wawasan seni dan budayanya.
Hal penting untuk dicatat adalah bagaimana Lorjhu’ berupaya mengemas “kedaerahan” dapat diterima berbagai lapisan pendengar. Tidak hanya berfokus pada kemaduraan, tapi juga pendengar Indonesia pada umumnya.
Lorjhu’ hendak merumpunkan musiknya ke wilayah world beat, meskipun menurut Badrus berbagai pendapat mengatakan musik Lorjhu’ digolongkan sebagai psychedelic rock atau rock alternatif dengan rasa tradisional. Ia mengatakan, “Dulu mungkin masih berjiwa remaja, ingin bikin band pakai alat musik tradisional, tapi hanya sampai di situ.” Menurut dia, hal itu semacam tempelan. Lalu, dia melanjutkan, “Bagaimana melebur lokal, Barat, dan Timur menjadi satu.”
Gejala kesadaran akan kelokalan muncul pada pemusik dan pendengar generasi kini. Tengoklah beberapa peristiwa musik. Festival musik dan panggung yang mengetengahkan musik “etnik” mulai dikunjungi penonton. Di Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini, pemanfaatan khazanah bunyi lokal telah dilakukan oleh beberapa kelompok musik populer, tapi hasil olahan mereka belum dapat dikatakan sebagai musik hibrida. Lorjhu’, terutama pada 2022, tampak sangat menonjol karena Badrus dan kawan-kawan berhasil memadukan dua sumber musik, yaitu musik populer dan musik lokal Madura, dan menghasilkan suara ketiga, yaitu musik hibrida.
Tentu di sini harus ditambahkan pula keunikan Lorjhu’ dalam mengolah unsur-unsur naratif yang bertolak dari kemaduraan tapi mengarahkan diri ke lingkaran pemirsa yang nasional. Pada album Paseser dapat kita harapkan datangnya musik hibrida yang betul-betul menusantara, sebagaimana pernah terjadi pada musik keroncong di masa kemarin.
NYAK INA RASEUKI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo