Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEKANAN darah Soeharto tiba-tiba anjlok. Para dokter terkejut setengah mati. Tingkat kesadarannya juga turun drastis. Napas tersengal-sengal. Pendek-pendek. Malah helaan napasnya sempat berhenti. Jumat sore pekan lalu itu, Siti Hardijanti Rukmana, atau Tutut, panik bukan kepalang. Putri sulung tokoh sentral semasa rezim Orde Baru itu meminta para dokter memasang ventilator. Ini alat bantu napas agar sang ayah tidak tersengal-sengal.
Para dokter sigap beraksi. Dalam situasi panik, Tutut lalu menelepon adik-adiknya agar segera berkumpul di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan, tempat jenderal bintang lima itu dirawat sejak 4 Januari lalu. Bukan hanya semua anak Soeharto yang tiba di rumah sakit itu, tapi juga menantu, bekas menantu, cucu, dan cicit. Pramesti Regina Cahyani alias Tata, bekas istri Tommy Soeharto, yang lama tak kelihatan, juga hadir di situ. Ia mengenakan kemeja marun lengan panjang, celana jins hitam, dan kerudung cokelat. Suasana hening.
Sesudah itu, kabar pun simpang-siur. Soeharto disebut sedang terkulai koma, gawat, dan, ”Hanya Tuhan yang tahu,” kata Hadi Kusno, salah seorang dokter yang merawat penguasa Orde Baru itu. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan sampai diperintah Presiden Yudhoyono, yang sedang berada di Malaysia, agar menyaksikan masa kritis itu. Ia batal menghadiri sejumlah acara di Pekanbaru, Riau, yang dijadwalkan Sabtu pekan ini.
Sekitar 200 wartawan tumpah-ruah di sana. Mereka memadati hampir semua jalan masuk, lorong, dan ruang lobi. Juru foto siap menjepret di sana-sini. Sejumlah juru kamera televisi memanggul peralatannya, berlarian ke sana-kemari, menancapkan tripodnya di teras dan di dekat pintu lift di lantai satu, tempat para tamu naik-turun dari lantai lima.
Maklum, situasi dikabarkan gawat betul. Kecuali ventilator tadi, semua alat bantu di tubuh Soeharto dikabarkan telah dicabut. ”Soeharto tinggal menunggu waktu,” begitu kabar yang beredar. Ketegangan kian merebak setelah sejumlah tokoh penting bertaburan ke sana. Ada sejumlah kroni Cendana yang ikut menunggu: pengusaha Sudwikatmono, mantan Kepala Bulog Bustanul Arifin, dan lainnya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang malam itu datang ditemani sang istri, tiba selepas isya. Tiba di lantai lima, dia dipersilakan masuk ke kamar 537. Ini adalah ruang tunggu keluarga yang berseberangan dengan kamar perawatan Soeharto. Di situ, mantan wakil presiden Try Sutrisno, mantan Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Agama Maftuh Basyuni, dan ustad Quraish Shihab tengah menunggu. Wajah mereka muram, bicaranya bisik-bisik.
Di dalam ruangan itu, sejumlah orang tampak membaca surah Yasin. Khusyuk. Sesekali Moerdiono meledek Maftuh, juniornya, agar ikut menyuguhkan teh panas untuk mereka dari cangkir putih berlogo Istana Presiden. Jumat malam pekan lalu itu, semua ruangan di lantai lima tadi dijaga ketat polisi, pasukan pengaman presiden, dan aparat lainnya. Jalur masuk ke sana juga dikawal. Tempo beruntung bisa masuk lewat ruang unit gawat darurat.
Di luar pintu lift di lantai lima itu berderetan kursi tamu. Sejumlah artis duduk tepekur di situ. Ada Deddy Dhukun, Camelia Malik, dan Lulu Tobing, artis sinetron yang menikah dengan salah seorang cucu Soeharto. Tak sedikit yang meneteskan air mata. Sigit Harjojudanto, putra Soeharto, tampak keluar-masuk, berjaket hitam, dengan mata sembap. Dari ruang besar itu, tamu masuk ke sebuah lorong yang dijaga ketat beberapa pengawal. Di lorong itu sekitar 10 orang hilir-mudik. Ada dokter dan orang dekat Soeharto.
Ruang perawatan terletak di kiri lorong itu. Persis di depannya, ada ruang khusus. Saat Tempo masuk, upss… salah kamar. Rupanya, ini ruangan khusus tim dokter. Para dokter, yang jumlahnya satu, dua, tiga, bahkan lebih dari sepuluh orang itu, terlihat sibuk berdiskusi. Beberapa tampak berselonjor. Di sebelah ruang dokter itu, Jusuf Kalla dan sejumlah tokoh tadi menunggu. Aqua gelas, jajan pasar, dan teh panas disuguhkan.
Setelah hampir sejam, tiba-tiba Tutut masuk bersama dua adiknya, Titik dan Mamik. Sembari mengusap air mata, Tutut menyalami Kalla dan para tamu. Kalla dan istrinya dipersilakan menengok Soeharto. Moerdiono menyusul, seraya bergegas mengajak Maftuh, Quraish, dan Hatta. Cuma sekitar 10 menit. Sesudah itu, Kalla pulang, dan tamu terus berdatangan. Beberapa menenteng Quran kecil dan surah Yasin.
Ketegangan di rumah sakit itu menjalar ke rumah Soeharto di Cendana, Jakarta Pusat. Penghuni rumah itu bergegas mengatur kursi. Sekitar seratus wartawan tumpah di situ. Ratusan polisi terlihat bersiaga.
Di Solo, Jawa Tengah, kediaman keluarga Soeharto ramai didatangi penduduk Jumat malam pekan lalu itu. Sekitar sepuluh orang dari Gunung Kidul datang ke situ menjelang malam. Mereka mengaku ingin melihat keadaan Kalitan setelah mendengar Soeharto mengalami koma. Karena tidak diperbolehkan masuk, mereka lalu balik kanan, pulang.
Ketegangan Jumat malam pekan lalu itu diakhiri dengan siaran pers yang digelar tim dokter. Keadaan Soeharto, kata tim dokter, ”Masih kritis dan masih dipertahankan dengan ventilator.” Menjelang pukul 12 malam, para dokter tersebut satu per satu meninggalkan rumah sakit itu.
Bagaimana sesungguhnya keadaan Soeharto? Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengungkapkan bahwa Soeharto sejatinya sedang dibius. Tujuannya agar ventilator bisa bekerja. Kalau dia tidak dibius, paru-paru akan melawan ventilator dan bisa berakibat fatal. Siti juga menambahkan bahwa Soeharto mungkin punya kehidupan palsu lantaran menggunakan alat bantu pada tubuhnya.
Namun, Sabtu siang pekan lalu, tim dokter membantah Ibu Menteri. ”Pernyataan itu terlalu berani. Kami berharap Pak Harto bebas dari ventilator beberapa hari,” kata spesialis ginjal, dokter Djoko Raharjo. Hingga Sabtu sore pekan lalu, keadaan pasien di kamar 534 yang sejak lengser sudah masuk rumah sakit 10 kali itu masih kritis.
Suasana tegang sesungguhnya sudah meletup semenjak pukul tiga sore Jumat pekan lalu. Saat itu, kisah seorang dokter yang merawat kepada Tempo, seraya matanya terpejam, Soeharto tiba-tiba menunjuk selimut berwarna putih. Lamat-lamat dia melafalkan ayat-ayat Quran, surat Al-Ikhlas. ”Qulhuwallaahu ahad….” Suaranya bergetar, para dokter terkejut. Berkali-kali dia melafalkan ayat seraya menekan telunjuknya ke selimut. Sesudah itu, dia terdiam.
Pagi harinya, Soeharto dikabarkan sadar penuh. Bahkan sempat pula menitipkan sejumlah pesan. Dia, misalnya, berpesan agar dua anak Tommy dan Tata diislamkan atas nama Soeharto. Seorang dokter dengan takzim mencatat semua permintaan itu dalam sebuah buku kecil. ”Semua pesan dan perkembangan beliau, jam demi jam, saya catat di sini,” ujar sang dokter sambil menunjukkan memonya.
Tiba-tiba Soeharto minta didudukkan. Perlahan-lahan para dokter berusaha mengangkat kepala dan punggungnya. Dia tidak bisa duduk sempurna. Tubuhnya miring. Tapi Soeharto berujar, ”It’s okay, it’s okay….” Sang jenderal besar yang leher dan dadanya dibalut syal cokelat kotak-kotak itu lalu meminta para dokter membaca surah Al-Fatihah keras-keras. Sejumlah dokter yang mengelilinginya pun melafalkan surat itu dengan keras. Itu tampak jelas dari rekaman kamera telepon seluler seorang dokter.
Pagi Jumat pekan lalu itu Soeharto juga berwasiat: jika dirinya meninggal siang hari, jenazahnya disemayamkan di Masjid At-Tien di kompleks Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta Timur. Taman Mini itu didirikan atas gagasan Raden Ayu Siti Hartinah, istri Soeharto, yang wafat pada April 1996. Pendirian kawasan itu digagas dalam rapat di Cendana pada 13 Maret 1970. Walau ditolak keras mahasiswa dan sejumlah kalangan, Soeharto jalan terus.
Di Taman Mini itulah Soeharto minta disemayamkan. Sejumlah sumber menuturkan bahwa anak-anak Soeharto sempat mendiskusikan permintaan itu dengan sejumlah orang dekat Cendana. Try Sutrisno menyarankan agar mereka memenuhi permintaan itu. Sekaligus memberi waktu kepada masyarakat untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sang jenderal bintang lima kelahiran Yogyakarta, 8 Juni 1921.
Kondisi Soeharto yang terus memburuk membuat pemerintah siaga penuh. Pekan lalu beredar kabar bahwa Tentara Nasional Indonesia sudah menyiapkan dua skenario pemakaman. Rencana pemakaman itu tertuang dalam dua lembar. Diberi judul ”Rencana Kegiatan Alpha”, rencana itu diterbitkan asisten operasi TNI pada 5 Januari lalu.
Ada dua rute perjalanan jenazah. Skenario pertama, yang dalam surat itu disebut dalam bahasa sandi CB I, dari Rumah Sakit Pusat Pertamina, jenazah dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Dari situ diterbangkan ke Bandara Adi Soemarmo, Solo. Jenazah tidak singgah di Kalitan, tempat kediaman pribadinya, tapi langsung diantar ke pemakaman Astana Giribangun di Mangadeg.
Skenario kedua, dari rumah sakit, jenazah dibawa ke Cendana, lalu ke Halim Perdanakusuma. Dari situ diterbangkan ke Solo dan terus ke Mangadeg. Dalam dua lembar rencana yang diperoleh Tempo itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla akan memimpin upacara pemberangkatan jenazah di Halim, sementara Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie sebagai inspektur upacara.
Komandan upacara belum ditentukan. Tapi tanggung jawab dipikul Kepala Staf Garnizun Satu. Peserta upacara satu batalion tentara dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Di Bandara Adi Soemarmo, jenazah akan dijemput Panglima Kodam IV Diponegoro Mayor Jenderal Agus Soeyitno. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono direncanakan menjadi inspektur upacara di tempat pemakaman. Jika Presiden berhalangan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. menjadi penggantinya.
Lima pesawat terbang dari berbagai jenis dikerahkan untuk mengangkut tim pendahulu dan pasukan pengawal presiden. Jenazah dan keluarga akan dibawa dengan pesawat C-130-V. Tapi Kepala Pusat Penerangan TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen membantah keras adanya dua skenario pemakaman itu. ”Waduh, itu tidak benar,” katanya.
Sagom mengaku sudah meminta klarifikasi sejumlah media yang menulis skenario tersebut. Kalaupun ada rencana seperti itu, Sagom menambahkan, ”Masih merupakan pembicaraan orang dalam.” Artinya, tidak untuk dipublikasikan.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Daryatmo juga membantah kabar bahwa Angkatan Udara telah melakukan persiapan. ”Saya belum tahu. Rasanya tidak etis membicarakan hal itu,” katanya. Tapi dia memastikan Angkatan Udara selalu siaga.
Sabtu siang pekan lalu, kompleks pemakaman Astana Giribangun di Karanganyar, Jawa Tengah, dijaga ketat. Dua tank kavaleri terlihat siaga di pintu gerbang. Dua tank itu didatangkan dari Komando Daerah Militer Diponegoro di Semarang.
Soeharto sendiri telah lama berwasiat agar dimakamkan di Giribangun. Dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran dan Tindakan Saya, dia menulis bahwa Tien Soeharto telah mendirikan makam Astana Giribangun. ”Masak, saya akan pisah dari istri saya. Dengan sendirinya saya pun minta dimakamkan di Giribangun.”
Sabtu pagi pekan lalu, Panglima Kodam Diponegoro Mayor Jenderal Agus Soeyitno terlihat memeriksa pengamanan di pemakaman Giribangun itu. Sejumlah petinggi militer dari Jawa Tengah terlihat di situ. Komando Resor Militer Warastratama Surakarta malah sudah menyiapkan kartu identitas wartawan yang hendak meliput pemakaman.
Tanda pengenal berukuran sedang itu bertulisan ”Pemakaman Bp Panglima Besar Jenderal Purn HM Soeharto”. ”Ini untuk antisipasi, karena kami lihat kondisinya sudah seperti itu,” kata Kepala Penerangan Korem Warastratama Kapten Kav Baso Syukri. Tapi dia buru-buru meminta para juru warta, ”Jangan dipakai dulu, ya.”
Menjelang dini hari, Sabtu pekan lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji datang ke Rumah Sakit Pusat Pertamina. Atas perintah Presiden Yudhoyono, yang masih berkunjung ke Malaysia, Hendarman menawarkan penyelesaian di luar pengadilan atas kasus perdata yang membelit Soeharto. Tutut cs didampingi Try Sutrisno—yang malam itu sudah memesan dan dibelikan nasi goreng dan otak-otak. Sejumlah bekas menteri hadir dan ikut menyaksikan ”tawaran Hendarman”: Haryono Suyono, Subijakto Tjakrawerdaja, juga Wiranto.
Deal? Sabtu siang pekan lalu, santer beredar kabar bahwa Siti Hardijanti Rukmana setuju dengan tawaran itu, yakni membayar kepada negara sekitar Rp 4 triliun. Tapi koordinator kuasa hukum Soeharto, Otto Cornelis Kaligis, membantah keras. ”Hendarman itu hanya berkunjung biasa. Sejak awal, Pak Harto sendiri tidak mau penyelesaian di luar pengadilan,” kata Kaligis.
Namun, menurut sumber Tempo yang hadir di situ, Tutut kaget dengan pesan Presiden SBY via Jaksa Agung Hendarman yang disebut ”win-win solution” itu. ”Gila apa, tega banget, masak dalam situasi kritis macam ini diajak itung-itungan duit. Tutut kan nggak bisa mikir,” ujar bekas menteri Soeharto itu. Walhasil, pembicaraan yang berlangsung tak sampai sejam itu buntu. ”Deadlock, tak ada keputusan apa pun.”
Di samping kesehatannya bermasalah, penguasa Orde Baru itu sedang dibelit masalah lain, yakni tuduhan korupsi dalam pengelolaan tujuh yayasan negara. Sidang perdata kasus ini sedang diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (baca ”Paduan Suara Pemberi Maaf”).
Tuntutan juga datang dari keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia. Kamis pekan lalu, sekitar 50 anggota keluarga korban kasus Tanjung Priok, kasus Lampung, tragedi Trisakti, dan korban peristiwa 1965 berunjuk rasa di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Mereka mengusung poster ”Adili Soeharto”. ”Sakitnya Soeharto harus menjadi penggerak untuk memproses Soeharto secara hukum,” kata Evi Indriyani, salah seorang peserta unjuk rasa.
Soal status hukum Soeharto, Siti Hediati—salah seorang putri Soeharto—percaya Presiden Yudhoyono memberikan keputusan terbaik. ”Kami percaya Presiden SBY akan memberikan keputusan yang arif, adil, dan bijaksana sesuai dengan jasa yang telah beliau berikan untuk bangsa ini,” katanya kepada wartawan di lobi depan Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, Senin pekan lalu.
Wahyu Muryadi, Wens Manggut, Anton Septian,Imron Rosyid (Solo), L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo