BELANDA melanggar tabu," tulis Joseph Fitchest dalam
International Herald Tribune. Bulan September ini akan ada
pendaftaran pasukan tempur wanita di Belanda. Inilah yang
mengundang perhatian internasional. Menurut rencana, yang
memenuhi persyaratan sebagai kadet, bakal dimasukkan skuadron
pesawat tempur 1983.
Di kalangan Barat, keputusan Belanda itu bisa dianggap
gila-gilaan. Sejak zaman Lysistrata, 2000 tahun van lalu.
wanita Barat memang terkenal antiperang. Atau katakanlah, jauh
dari urusan perang. Ingat saja tatkala perang salib berkobar.
Bagi para istri bahkan telah diciptakan kunci-kunci besi penutup
"itu", agar mereka tidak menyeleweng.
Padahal, "asal mendapat perintah, saya pun yakin dapat
membunuh," kata Kapten Yvonne Mullender. "Oleh sebab itulah saya
masuk tentara," tambah kepala unit angkutan tempur Belanda itu.
Sejak semua bidang kemiliteran Belanda dibuka untuk wanita,
Kapten Yvonne yang memang berasal dari keluarga tentara,
mendapatkan jabatan tersebut. Ia yakin para pemudi Belanda pada
umumnya amat bersemangat menyambut persamaan tugas militer ini.
Mereka, kaum Hawa yang masuk ketentaraan itu, mengatakan motif
utamanya adalah semangat patriotis, keinginan bertualang dan
mendapat bayaran tinggi. Meskipun hanya 1.000 prajurit wanita
saja yang diperlukan, banyak pejabat tinggi Belanda yang
mengkhawatirkan hal itu akan membawa problim moral.
Bayangkan saja, bagaimana kalau serdadu-serdadu pria dan wanita
harus berbagi tempat di lubang-lubang perlindungan.
Atau sama-sama tersuruk di geladak-geladak kapal perang. Tetapi
kenyataannya Angkatan Laut Belanda bahkan sudah melepaskan
pasukan-pasukan wanitanya ke laut. Dewasa ini tak kurang dari 20
prajurit wanita bertugas pada kapal HNMS Zuiderkruis, di Laut
Utara. Padahal kapal suplai ini bisa menjadi sasaran pertama
musuh kalau tiba-tiba pecah perang.
Dalam program ini Belanda dibantu Amerika Serikat yang
menyumbangkan ahli-ahli perangnya sebagai penasihat. Di negeri
Paman Sam itu sendiri ada 165.000 prajurit wanita. Atau 8%
dari seluruh anggota angkatan bersenjata AS. Tetapi hanya
seperlima dari jumlah itu tercatat sebagai angkatan tempur --
dan tentu saja tertutup sama sekali buat wanita.
Dan jangan kaget, tak sedikit prajurit wanita AS dipecat
lantaran terlibat lesbian. Sungguh berbeda dengan Negeri Belanda
yang mentolerir homoseksual. Bahkan rambut gondrong sampai
pundak pun boleh dimiliki para prajurit pria. Hal ini mungkin
terpaksa dibebaskan, mengingat semakin menyusutnya tenaga
laki-laki di Nederland.
Sebenarnya itu pula yang menjadi alasan ditariknya wanita-wanita
ke pertempuran. Dan bukannya tanpa pertimbangan. Sebuah laporan
NATO baru-baru ini mengatakan, "Meskipun kaum wanita lebih lemah
dari pria, yakni hanya 55% kekuatan otot dan 47% kemampuan
mempertahankan diri, dibanding kekuatan dan daya tahan pria,
persenjataan dan sistem perang telah makin sempurna. Intelektual
telah menggantikan tenaga-tenaga brutal."
Tambahan lagi, untuk sementara ini, wanita yang berminat menjadi
tentara sedikit. Dengan begitu boleh diharap yang sedikit itu
memang serius.
Tambahan lagi ada pula faktor lain, yang rupanya dianggap
menguntungkan. "Wanita cenderung lebih cepat mantap jiwanya,
lebih berpendidikan dan tak banyak melanggar disiplin," tulis
laporan NATO itu.
Tetapi rencana untuk menyatukan wanita sepenuhnya ke dalam
militer, masih mengundang debat sengit. Masalahnya, dari "apakah
seorang wanita bisa menghunus bayonet" hingga "keperluan tembok
pemisah transparan di kantor tempat wanita bekerja dengan pria."
Entah mengapa hal terakhir itu dipersoalkan benar. Di
kantor-kantor, toh, pria-wanita bekerja dalam satu ruang tanpa
tembok pemisah.
Tapi yang menentang program "wanita masuk tentara" mempunyai
kekhawatiran pokok. "Jangan-jangan justru memperlemah mutu
perang tentara Belanda, yangselama ini terkenal profesional,"
katanya. Kalangan perencana militer pun curiga: "Ini cuma
muslihat politis untuk melunakkan kelompok feminis." Kemungkinan
itu memang tidak tertutup. Di banyak negara Barat, mengerahkan
wanita untuk bertempur memang dianggap pamali.
Toh, Pemerintah Belanda tidak tanggung-tanggung mengeluarkan
biaya ekstra untuk angkatan baru ini.Misalnya ransel yang tidak
membahayakan tetek, akan segera diciptakan. Juga perlengkapan
binatu khusus buat pakaian seragam mereka. Ternyata, meski
mereka telah menjadi tentara, kodrat Hawa tetap saja melekat.
Berdasar serangkaian wawancara, ternyata mereka tetap memerlukan
baju yang lebih rapi dan wangi. Entah, kalau sudah perang
betulan.
Ada keberatan satu lagi. "Kalau seorang wanita terluka, akan
lebih menurunkan semangat rekan seregunya ketimbang jika seorang
laki-laki tertembak," kata seorang pejabat Belanda mengutip
pendapat ahli-ahli perang Israel. Di Israel sendiri, wajib
milisi bagi kaum Hawa berlangsung besarbesaran. Tetapi mereka
percaya, mengerahkan wanita ke medan perang bisa membawa
malapetaka. Maka tak seorang cewek pun boleh menyandang bedil di
front. Padahal pernah juga pasukan-pasukan cewek Israel itu kena
berondong peluru Arab -- peluru betulan, nih.
Sebetulnya Belanda bukan negara pertama di Eropa yang
mempersiapkan tentara wanitanya ke garis depan. Dulu, kaum
Bolshevik di Rusia mempersenjatai wanitanya dalam Perang Dunia
I. Kini meskipun belum ada pertempuran lagi, Belanda sudah
mengadakan berbagai macam gladi resik. Tujuannya untuk
mendapatkan data, seberapa jauh kekuatan kaum Hawa pantas
diandalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini