Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dilarang menggonggong di argentina

Sekilas pemerintahan militer yang tengah berkuasa di argentina. penduduk negeri argentina agaknya akan terus terombang-ambing.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEEKOR anjing Argentina, kurus kering, badan penuh kurap, menyusup sampai perbatasan Brazil. Binatang malang itu disongsong sekawanan anjing Brazil dengan pandang penuhcuriga. "Sabar, kawan-kawan, sabar," desis anjing Argentina itu. "Hidup memang sudah sangat parah di negeri kami. Tapi aku tidak akan mencuri makanan kalian. Melainkan sekedar ingin menggonggong. Di Argentina, sambil merampok rakyat habis-habisan, Peron mencabut pula hak kami menggongong." Itu adalah 'fabel' yang biasa dibawa pulang oleh para pelancong dari Buenos Aires, sekitar 1015 tahun lalu. Kini, diktator Juan Domingo Peron sudah tidak ada. Ia meninggal tujuh tahun lalu. Sementara itu tampuk kekuasaan berpindah tangan tiga kali. Tentu saja keadaan jadi ikut berubah-ubah. "Sejak awal tahun ini saja pengangguran meningkat dua kali lipat. Inflasi melonjak tiga kali. Mata uangpeso mengalami devaluasi lebih 200%," tuliswartawanNew York Times Edward Schumacher bulan kemarin. Junta yang dipimpin Presiden Roberto Eduardo Viola makin tak berharga di mata rakyat. Iklim ekonomi memburuk. Pertarungan kekuatan di dalam negeri kian meruncing Presiden Bank Sentral dan Bank Nasional negeri itu kewalahan. Keduanya lalu meletakkan jabatan. Tapi rakyat Argentina yang tak kehilangan rasa humor itu masih menunggu orang berikutnya meletakkan jabatan. Yaitu Jenderal Viola sendiri! Sampai sekarang, kecaman dari kalangan buruh, bisnis, dan politisi dipusatkan pada pengelolaan ekonomi yang dijalankan pemerintah. Inisuatu perkembangan baru. Sebelumnya, sasaran kritik adalah sistem pemerintahan militer yang di Argentina sudah seperti berkesinambungan. Di kalangan politisi, rasa mendongkol tampaknya kian menjadi-jadi. Seperti terkesan pada ucapan Vicente Leonidas Saadi, bekas senator dan salah seorang Peronis terkemuka. Pemerintahan yang sekarang ini, "bersendikan kekuasaan yang tidak sah, menginjak-injak hak asasi manusia, korup, dan tidak bermoral," katanya. Sementara itu, kecemasan masyarakat dapat pula dibaca di lorong-lorong sempit daerah perdagangan. Beberapa minggu terakhir orang mendadak ramai berjual beli dollar. Nilai tukar naik turun tanpa kendali. Dari 2000 peso untuk US$ 1 padaawal 1981, bulan kemarin kurs melompat menjadi 6700 peso. Para pengusaha -- dalam negeri maupun asing -- menunda beberapa keputusan yang berhubungan dengan penanaman modal. Dari sudut lain muncul pula berbagai ketegangan. Juni lalu para pekerja pabrik mobil unjuk gigi. "Serikat ini adalah kekuatan terorganisasi paling kuat di luar ankatan bersenjata," tulis Schumacher. Sudah lima tahun organisasi ini tenang-tenang saja. Tiba-tiba mereka melancarkan aksi. Polisi menangkap 1100 orang buruh. Mereka kemudian dilepaskan, kecuali lima orang yang dianggap tokoh. Mobil-mobil patroli ditempatkan di depan kantor serikat buruh. Polisi menggerebek pula rapat politik yang diselenggarakan di sebuah hotel besar. Tak kurang dari 60 pemuka berbagai partai ditangkap, kendati beberapa jam kemudian mereka sudah dibebaskan kembali. Keresahan di Argentina yang makin memuncak belakangan ini, agaknya erat berkait dengan masa lalu negeri itu. Tahun 1945, Argentina dipimpin Presiden Juan Domingo Peron, sampai ia meninggal, 1974. Ia digantikan istrinya, Isabel Peron, yang sebelumnya sudah menjabat wakil presiden. Janda itu hanya sempat bertahta dua tahun. Ia didongkel kudeta militer yang dipimpin Jenderal Jorge Rafael Videla. Empat bulan lalu, kedudukan Videla sebagai presiden digantikan Roberto Eduardo Viola -- pensiunan jenderal, yang dianggap tokoh kompromis dan pejuang yang berpikiran tajam. Segera setelah terpilih, ia mulai menjalin hubungan dengan banyak pemimpin serikat buruh dan partai politik. Tak banyak bergembar-gembor. Tidak sedikit tokoh kalangan sipil yang percaya bahwa Viola akan membawa Argentina kembali ke demokrasi. Ia juga secara terbuka menyatakan hasrat bekerjasama dengan partai Peronis. Sekalipun partai ini hampir lumpuh dan mengalami krisis kepemimpinan sejak ditinggal Peron, toh, masih merupakan partai terbesar dan menghimpun suara kalangan buruh. Tapi hingga kini pun, keterbatasan kekuasaan Viola sangat kentara. Misanya tiga bulan lalu, ketika pemerintah Chili menangkap dua orang perwira Argentina beserta istri masing-masing, dengan tuduhan spionase. Angkatan Darat segera bertindak, tanpa perintah dari atas. Mereka menutup perbatasan Argentina dengan Chili. Baru beberapa jam kemudian mereka memberitahu Presiden Viola, Mendagrl, dan para pejabat tinggi lain. Sementara dikalangan rakyat Viola pun tidak begitu populer. Ia bukan tokoh yang menggebu-gebu, yang bisa menarik simpati rakyat yang terkenal bertemperamen panas itu. Tapi ia pun tidak bisa dipandang enteng. Paling tidak ia didukung oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara, yang selalu cemas kalau-kalau muncul jenderal Angkatan Darat yang lebih galak. Baru-baru ini sekelompok laksamana bahkan mengeluarkan pernyataan dengan nada mengecam Jenderal Galtieri, panglima angkatan darat, yang suka mengecam Viola. Sementara kekuatan politik dan angkatan bersenjata saling mengintai dan berjaga-jaga, masalah 'kebebasan menggongong' di Argentina tampaknya tetap tak leluasa. "Lebih 60 orang wartawan menghilang sejak kaum militer mengambil-alih kekuasaan lima tahun lampau," tulis Edward Schumacher. Jurnalis Jacobo Timerman, dalam bukunya Prisoner Without a Name, Cell Wihtout a Number, mengingatkan pembaca akan korannya La Opinion. Koran itu suatu kali memberitakan penangkapan dan pembunuhan oleh satuan-satuan militer atas beberapa orang yang sebelumnya hanya dinyatakan hilang. Untuk tulisan itu, Timerman meringkuk 2« tahun di dalam penjara. Nasib para 'penggonggong' seperti wartawan memang lagi suram di Argentina. Kerunyaman itu terjadi juga pada kolumnis Manfred Shonfeld dari La Prensa, koran konservatif dan independen yang belakangan ini menyerang pemerintahan militer bertubi-tubi. Shonfeld baru keluar dari taksi-akhir Juni lalu -- ketika seorang tak dikenal maju menyongsongnya dan kontan menghadiahinya bogem berlapiskan tembaga. Lima biji giginya langsung mencelat. Tapi wartawan itu tak mau kapok. "Mereka gagal lagi," tulisnya beberapa hari kemudian bagai berolok-olok. Semangatnya untuk memblejeti kebobrokan rezim militer yang tengah berkuasa di Argentina terus menggebu. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki yang mengaku polisi menyerbu kantor La Prensa tanpa permisi. Mereka mengancam akan datang lagi untuk menyensur nomor berikutnya. Janji itu memang tak dipenuhi. Tapi sebuah kelompok yang menamakan diri Komando Argentina Baru menyatakan bertanggungjawab atas teror terhadap La Prensa. Termasuk pemukulan tadi. Tapi, entah hanya basa-basi entah sungguhan, pemerintah Argentina secara resmi mengutuk serangan itu. "Kaum militer memang tidak melakukan sensur terhadap pers di Argentina," tulis-Schumacher. Tapi mereka sekolah-olah hidup dalam kepungan. Banyak editor yang ditahan dengan pelbagai tuduhan. Misalnya: menjalankan kegiatan subversif, memerosotkan moral masyarakat, atau membantu komunis. Di samping itu, aksi-aksi terhadap kalangan pers menciptakan semacam sensur diri sendiri yang cukup efektif. Tidak sedikit editor yang 'melapor' dulu kepada penguasa militer sebelum menyiarkan sebuah artikel yang agak "merangsang". Dengan pengecualian untuk The Buenos Aires Herald, sebuah koran berbahasa Inggris yang kecil tapi berpengaruh, semua surat kabar Argentina 'diarahkan' untuk tidak memberitakan masalah 'lenyap'nya beberapa tokoh masyarakat. Atau tentang penyiksaan yang dituduhkan kepada petugas-petugas pemeriksa. Kritik pers ini memang meningkat sejak tahun lalu. Tapi tak ada yang lebih berani dari 'La Prensa. Dari ratarata 85 ribu, sampai minggu-minggu terakhir ini oplahnya berkembang hingga 100 ribu. Gaya dan filosofi La Prensa diletakkan oleh Maximo Gainza, generasi keempat dari keluarga penerbit yang memulai bisnis koran sejak 113 tahun silam. La Prensa terkenal teguh membela hak-hak sipil dan individu, serta sistem ekonomi kapitalis. Koran ini terang-terangan tak bersemangat mendukung kediktatoran militer. Serangan terhadap La Prensa dimulai oleh Walikota Buenos Aires Osvaldo Cacciatore. Jenderal Angkatan Udara itu berang, karena La Prensa menuduhnya selingkuh dalam menangani beberapa proyek. Tambahan pula, hampir dua tahun lalu koran itu memuat daftar nama empat orang yang diketahui 'hilang'. Salah satu kolom Manfred Shonfeld menyebut para perwira militer pengecut, karena tidak mau mengaku bertanggungjawab atas 'hilang'nya warganegara tersebut. Dari para pembaca datang sambutan luar biasa. Ketika La Prensa kehilangan iklan akibat 'permainan' tertentu, pembaca-pembaca koran itu menyampaikan sumbangan secara beramai-ramai. Di tengah kesewenangan itu, eh, tiba-tiba, muncul pula suara untuk mendudukkan kembali Isabel Peron, 50 tahun, sebagai presiden. "Jika besok ada pemilu," ujar seorang pejabat senior di Buenos Aires, "Isabel bakal terpilih ." PEREMPUAN itu kini menetap di villanya di Madrid, Spanyol. Sebelum nya ia dikenai tahanan rumah di negerinya karena dituduh menyelewengkan dana sebuah yayasan pemerintah. Tapi pengadilan pembanding telah memotong hukumannya, dari delapan menjadi tujuh tahun. Juli lalu masa hukumannya itu sudah habis dijalani. Begitu bebas, ia langsung ke Spanyol. Ketegangan situasi politik itu menyebabkan bahkan warganegara biasa -- yang dulu cenderung mendukung rezim militer -- kini mulai memperlihatkan amarah. Mereka yang tadinya takut-takut berbicara, tampak menjadi lebih berani. "Satu-satunya tindakan yang tepat untuk negeri ini ialah menutup sekolah militer," ujar Pedro Yusef, sopir truk berusia 53 tahun kepada Edward Schumacher. "Saya tahu apa yang dilakukan serdadu-serdadu itu," katanya mengomentari lenyap dan dibunuhnya sejumlah penduduk. "Saya tidak peduli, saya tidak takut," sambungnya bersemangat. Di kalangan militer sendiri terdapat kecenderungan mengorbitkan seorang diktator yang sama kuatnya dengan almarhum Juan Domingus Peron. Golongan ini agaknya muak melihat persaingan antara para jenderal dan laksamana. Dan tak percaya pada kemampuan Viola. Sementara itu, nasib kedua puluh delapan juta penduduk negeri itu agaknya akan terus terombang-ambing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus