SEEKOR anjing Argentina, kurus kering, badan penuh kurap,
menyusup sampai perbatasan Brazil. Binatang malang itu
disongsong sekawanan anjing Brazil dengan pandang penuhcuriga.
"Sabar, kawan-kawan, sabar," desis anjing Argentina itu. "Hidup
memang sudah sangat parah di negeri kami. Tapi aku tidak akan
mencuri makanan kalian. Melainkan sekedar ingin menggonggong. Di
Argentina, sambil merampok rakyat habis-habisan, Peron mencabut
pula hak kami menggongong."
Itu adalah 'fabel' yang biasa dibawa pulang oleh para pelancong
dari Buenos Aires, sekitar 1015 tahun lalu. Kini, diktator Juan
Domingo Peron sudah tidak ada. Ia meninggal tujuh tahun lalu.
Sementara itu tampuk kekuasaan berpindah tangan tiga kali. Tentu
saja keadaan jadi ikut berubah-ubah.
"Sejak awal tahun ini saja pengangguran meningkat dua kali
lipat. Inflasi melonjak tiga kali. Mata uangpeso mengalami
devaluasi lebih 200%," tuliswartawanNew York Times Edward
Schumacher bulan kemarin.
Junta yang dipimpin Presiden Roberto Eduardo Viola makin tak
berharga di mata rakyat. Iklim ekonomi memburuk. Pertarungan
kekuatan di dalam negeri kian meruncing
Presiden Bank Sentral dan Bank Nasional negeri itu kewalahan.
Keduanya lalu meletakkan jabatan. Tapi rakyat Argentina yang tak
kehilangan rasa humor itu masih menunggu orang berikutnya
meletakkan jabatan. Yaitu Jenderal Viola sendiri!
Sampai sekarang, kecaman dari kalangan buruh, bisnis, dan
politisi dipusatkan pada pengelolaan ekonomi yang dijalankan
pemerintah. Inisuatu perkembangan baru. Sebelumnya, sasaran
kritik adalah sistem pemerintahan militer yang di Argentina
sudah seperti berkesinambungan.
Di kalangan politisi, rasa mendongkol tampaknya kian
menjadi-jadi. Seperti terkesan pada ucapan Vicente Leonidas
Saadi, bekas senator dan salah seorang Peronis terkemuka.
Pemerintahan yang sekarang ini, "bersendikan kekuasaan yang
tidak sah, menginjak-injak hak asasi manusia, korup, dan tidak
bermoral," katanya.
Sementara itu, kecemasan masyarakat dapat pula dibaca di
lorong-lorong sempit daerah perdagangan. Beberapa minggu
terakhir orang mendadak ramai berjual beli dollar.
Nilai tukar naik turun tanpa kendali. Dari 2000 peso untuk US$ 1
padaawal 1981, bulan kemarin kurs melompat menjadi 6700 peso.
Para pengusaha -- dalam negeri maupun asing -- menunda beberapa
keputusan yang berhubungan dengan penanaman modal.
Dari sudut lain muncul pula berbagai ketegangan. Juni lalu para
pekerja pabrik mobil unjuk gigi. "Serikat ini adalah kekuatan
terorganisasi paling kuat di luar ankatan bersenjata," tulis
Schumacher.
Sudah lima tahun organisasi ini tenang-tenang saja. Tiba-tiba
mereka melancarkan aksi. Polisi menangkap 1100 orang buruh.
Mereka kemudian dilepaskan, kecuali lima orang yang dianggap
tokoh.
Mobil-mobil patroli ditempatkan di depan kantor serikat buruh.
Polisi menggerebek pula rapat politik yang diselenggarakan di
sebuah hotel besar. Tak kurang dari 60 pemuka berbagai partai
ditangkap, kendati beberapa jam kemudian mereka sudah dibebaskan
kembali.
Keresahan di Argentina yang makin memuncak belakangan ini,
agaknya erat berkait dengan masa lalu negeri itu.
Tahun 1945, Argentina dipimpin Presiden Juan Domingo Peron,
sampai ia meninggal, 1974. Ia digantikan istrinya, Isabel Peron,
yang sebelumnya sudah menjabat wakil presiden.
Janda itu hanya sempat bertahta dua tahun. Ia didongkel kudeta
militer yang dipimpin Jenderal Jorge Rafael Videla. Empat bulan
lalu, kedudukan Videla sebagai presiden digantikan Roberto
Eduardo Viola -- pensiunan jenderal, yang dianggap tokoh
kompromis dan pejuang yang berpikiran tajam.
Segera setelah terpilih, ia mulai menjalin hubungan dengan
banyak pemimpin serikat buruh dan partai politik. Tak banyak
bergembar-gembor. Tidak sedikit tokoh kalangan sipil yang
percaya bahwa Viola akan membawa Argentina kembali ke demokrasi.
Ia juga secara terbuka menyatakan hasrat bekerjasama dengan
partai Peronis. Sekalipun partai ini hampir lumpuh dan mengalami
krisis kepemimpinan sejak ditinggal Peron, toh, masih merupakan
partai terbesar dan menghimpun suara kalangan buruh.
Tapi hingga kini pun, keterbatasan kekuasaan Viola sangat
kentara. Misanya tiga bulan lalu, ketika pemerintah Chili
menangkap dua orang perwira Argentina beserta istri
masing-masing, dengan tuduhan spionase. Angkatan Darat segera
bertindak, tanpa perintah dari atas. Mereka menutup perbatasan
Argentina dengan Chili. Baru beberapa jam kemudian mereka
memberitahu Presiden Viola, Mendagrl, dan para pejabat tinggi
lain.
Sementara dikalangan rakyat Viola pun tidak begitu populer. Ia
bukan tokoh yang menggebu-gebu, yang bisa menarik simpati rakyat
yang terkenal bertemperamen panas itu.
Tapi ia pun tidak bisa dipandang enteng. Paling tidak ia
didukung oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara, yang selalu
cemas kalau-kalau muncul jenderal Angkatan Darat yang lebih
galak. Baru-baru ini sekelompok laksamana bahkan mengeluarkan
pernyataan dengan nada mengecam Jenderal Galtieri, panglima
angkatan darat, yang suka mengecam Viola.
Sementara kekuatan politik dan angkatan bersenjata saling
mengintai dan berjaga-jaga, masalah 'kebebasan menggongong' di
Argentina tampaknya tetap tak leluasa. "Lebih 60 orang wartawan
menghilang sejak kaum militer mengambil-alih kekuasaan lima
tahun lampau," tulis Edward Schumacher.
Jurnalis Jacobo Timerman, dalam bukunya Prisoner Without a
Name, Cell Wihtout a Number, mengingatkan pembaca akan korannya
La Opinion. Koran itu suatu kali memberitakan penangkapan dan
pembunuhan oleh satuan-satuan militer atas beberapa orang yang
sebelumnya hanya dinyatakan hilang. Untuk tulisan itu, Timerman
meringkuk 2« tahun di dalam penjara.
Nasib para 'penggonggong' seperti wartawan memang lagi suram di
Argentina. Kerunyaman itu terjadi juga pada kolumnis Manfred
Shonfeld dari La Prensa, koran konservatif dan independen yang
belakangan ini menyerang pemerintahan militer bertubi-tubi.
Shonfeld baru keluar dari taksi-akhir Juni lalu -- ketika
seorang tak dikenal maju menyongsongnya dan kontan
menghadiahinya bogem berlapiskan tembaga. Lima biji giginya
langsung mencelat.
Tapi wartawan itu tak mau kapok. "Mereka gagal lagi," tulisnya
beberapa hari kemudian bagai berolok-olok. Semangatnya untuk
memblejeti kebobrokan rezim militer yang tengah berkuasa di
Argentina terus menggebu.
Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki yang mengaku polisi
menyerbu kantor La Prensa tanpa permisi. Mereka mengancam akan
datang lagi untuk menyensur nomor berikutnya. Janji itu memang
tak dipenuhi. Tapi sebuah kelompok yang menamakan diri Komando
Argentina Baru menyatakan bertanggungjawab atas teror terhadap
La Prensa. Termasuk pemukulan tadi. Tapi, entah hanya basa-basi
entah sungguhan, pemerintah Argentina secara resmi mengutuk
serangan itu.
"Kaum militer memang tidak melakukan sensur terhadap pers di
Argentina," tulis-Schumacher. Tapi mereka sekolah-olah hidup
dalam kepungan. Banyak editor yang ditahan dengan pelbagai
tuduhan. Misalnya: menjalankan kegiatan subversif, memerosotkan
moral masyarakat, atau membantu komunis.
Di samping itu, aksi-aksi terhadap kalangan pers menciptakan
semacam sensur diri sendiri yang cukup efektif. Tidak sedikit
editor yang 'melapor' dulu kepada penguasa militer sebelum
menyiarkan sebuah artikel yang agak "merangsang".
Dengan pengecualian untuk The Buenos Aires Herald, sebuah koran
berbahasa Inggris yang kecil tapi berpengaruh, semua surat kabar
Argentina 'diarahkan' untuk tidak memberitakan masalah
'lenyap'nya beberapa tokoh masyarakat. Atau tentang penyiksaan
yang dituduhkan kepada petugas-petugas pemeriksa.
Kritik pers ini memang meningkat sejak tahun lalu. Tapi tak ada
yang lebih berani dari 'La Prensa. Dari ratarata 85 ribu, sampai
minggu-minggu terakhir ini oplahnya berkembang hingga 100 ribu.
Gaya dan filosofi La Prensa diletakkan oleh Maximo Gainza,
generasi keempat dari keluarga penerbit yang memulai bisnis
koran sejak 113 tahun silam. La Prensa terkenal teguh membela
hak-hak sipil dan individu, serta sistem ekonomi kapitalis.
Koran ini terang-terangan tak bersemangat mendukung kediktatoran
militer.
Serangan terhadap La Prensa dimulai oleh Walikota Buenos Aires
Osvaldo Cacciatore. Jenderal Angkatan Udara itu berang, karena
La Prensa menuduhnya selingkuh dalam menangani beberapa proyek.
Tambahan pula, hampir dua tahun lalu koran itu memuat daftar
nama empat orang yang diketahui 'hilang'. Salah satu kolom
Manfred Shonfeld menyebut para perwira militer pengecut, karena
tidak mau mengaku bertanggungjawab atas 'hilang'nya warganegara
tersebut.
Dari para pembaca datang sambutan luar biasa. Ketika La Prensa
kehilangan iklan akibat 'permainan' tertentu, pembaca-pembaca
koran itu menyampaikan sumbangan secara beramai-ramai.
Di tengah kesewenangan itu, eh, tiba-tiba, muncul pula suara
untuk mendudukkan kembali Isabel Peron, 50 tahun, sebagai
presiden. "Jika besok ada pemilu," ujar seorang pejabat senior
di Buenos Aires, "Isabel bakal terpilih ."
PEREMPUAN itu kini menetap di villanya di Madrid, Spanyol.
Sebelum nya ia dikenai tahanan rumah di negerinya karena dituduh
menyelewengkan dana sebuah yayasan pemerintah. Tapi pengadilan
pembanding telah memotong hukumannya, dari delapan menjadi tujuh
tahun. Juli lalu masa hukumannya itu sudah habis dijalani.
Begitu bebas, ia langsung ke Spanyol.
Ketegangan situasi politik itu menyebabkan bahkan warganegara
biasa -- yang dulu cenderung mendukung rezim militer -- kini
mulai memperlihatkan amarah. Mereka yang tadinya takut-takut
berbicara, tampak menjadi lebih berani.
"Satu-satunya tindakan yang tepat untuk negeri ini ialah menutup
sekolah militer," ujar Pedro Yusef, sopir truk berusia 53 tahun
kepada Edward Schumacher. "Saya tahu apa yang dilakukan
serdadu-serdadu itu," katanya mengomentari lenyap dan dibunuhnya
sejumlah penduduk. "Saya tidak peduli, saya tidak takut,"
sambungnya bersemangat.
Di kalangan militer sendiri terdapat kecenderungan mengorbitkan
seorang diktator yang sama kuatnya dengan almarhum Juan Domingus
Peron. Golongan ini agaknya muak melihat persaingan antara para
jenderal dan laksamana. Dan tak percaya pada kemampuan Viola.
Sementara itu, nasib kedua puluh delapan juta penduduk negeri
itu agaknya akan terus terombang-ambing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini