Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Patah Arang Kawan Seiring

Gara-gara pemberontakan PRRI/Permesta, lingkaran inti Partai Sosialis Indonesia pecah.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU siang pada awal 1957. Jaksa Agung Muda Intelijen Priyatna Abdurrasyid mendatangi kediaman Sumitro Djojohadikusumo di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dia membawa surat perintah penangkapan Bung Cum—demikian Sumitro, tokoh teras Partai Sosialis Indonesia, biasa dipanggil kawan-kawan dekatnya.

”Waktu itu saya memang mendapat perintah menangkap Sumitro. Ketika saya tanya apa kesalahannya, jawaban atasan saya: tangkap saja, titik,” kata Priyatna kepada Tempo dalam sebuah wawancara pada Agustus 2008.

Pada 1956-1957, gerakan pemberantasan korupsi memang sedang gencar. Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi sampai level menteri dibongkar. Namun, kata Priyatna, belakangan Presiden Soekarno memprotes melihat hampir semua menteri yang ditangkap berasal dari Partai Nasional Indonesia. ”Bung Karno sempat tanya, mana menteri dari Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia,” kata Priyatna, yang ketika itu anggota Tim Pemberantasan Korupsi Kejaksaan Agung.

Salah satu pentolan Partai Sosialis Indonesia di parlemen saat itu adalah Djoeir Moehamad. Dia mengaku masih ingat koran-koran yang berafiliasi pada Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur, terus memberitakan kasus dugaan korupsi Sumitro. ”Ada desakan agar dia diajukan ke pengadilan,” tulisnya dalam buku Memoar Seorang Sosialis yang terbit pada 1997.

Sumitro tentu heran dengan tudingan itu. Kepada Priyatna, dia sempat bertanya, apa kesalahannya. Priyatna tak bisa menjelaskan. ”Pokoknya, perintahnya adalah tangkap, titik,” katanya. Bung Cum menolak. Setelah bernegosiasi sebentar, Priyatna mengaku setuju membiarkan Sumitro ”menghilang”. Priyatna tak pernah menyesali perbuatannya. ”Saya lakukan itu dengan keyakinan dia tidak bersalah,” katanya kemudian.

Dengan restu Sjahrir, Sumitro menyeberang ke Sumatera. Di sana, dia bergabung dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Permesta.

lll

”WAKTU itu memang ada isu bahwa Sumitro melakukan korupsi, memberikan dana kepada PSI dalam pemilihan umum,” kata wartawan senior Rosihan Anwar, awal Februari lalu. ”Saya kira isu itu ada benarnya, tapi jumlahnya kecil. Tidak seperti sekarang ini, besar-besar.”

Minarsih Soedarpo, kawan dekat keluarga Sjahrir, mengaku masih ingat ketika Sumitro, yang tersudut oleh berbagai kabar rencana penangkapan dirinya, bergegas menemui Sjahrir. ”Oleh Sjahrir, dia diminta ke Padang, Sumatera Barat, membantu mengajar di Universitas Andalas,” kata Minarsih, istri tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soedarpo Sastrosatomo. Dalam diskusi dengan Tempo tiga pekan lalu, Minarsih (Mien) Soedarpo memastikan Sjahrir tak pernah mengutus Sumitro untuk bergabung dengan PRRI/Permesta.

Pada Mei 1957, Sumitro naik kereta api dari Stasiun Tanah Abang ke Stasiun Merak, Banten. Asisten pribadinya, Priasmoro, turut mendampingi. ”Dari Merak, Sumitro naik perahu bermotor ke Lampung, terus naik kereta api ke Palembang, lalu ke Padang,” tulis Djoeir.

Pada Januari 1958, tersiar kabar telah terjadi pertemuan penting di Sungai Dareh, Sumatera Barat. Para petinggi militer yang memberontak terhadap Jakarta, Letnan Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Maluddin Simbolon, Kolonel Dahlan Jambek, dan Kolonel Ventje Sumual, berkumpul di sana. Sumitro Djojohadikusumo juga bergabung. Pada Februari 1958, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dideklarasikan. Sumitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran Kabinet PRRI.

Keterlibatan Sumitro dalam pemberontakan di Sumatera mengejutkan pengurus pusat Partai Sosialis Indonesia. ”Sjahrir sudah menegaskan kepada Sumitro, boleh melakukan oposisi, tapi jangan bentuk pemerintah tandingan,” kata tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soebadio Sastrosatomo, saat diwawancarai Rosihan Anwar pada November 1994. ”Sumitro tidak menggubris ucapan Sjahrir,” ujar Rosihan kepada Tempo.

Sebelum deklarasi PRRI, sejumlah petinggi Partai Sosialis Indonesia sudah berusaha mengingatkan Sumitro. Djoeir Moehamad diutus menemui Sumitro di Padang. Setelah Djoeir gagal, giliran Soedarpo Sastrosatomo yang menjumpai Bung Cum. Terakhir, kakak Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo, berbicara panjang dengan Sumitro di Singapura. Semuanya gagal menarik Sumitro dari PRRI.

”Waktu itu Sjahrir berpesan kepada Soedarpo agar menanyakan kepada Sumitro berapa kebutuhan hidup sehari-hari dia sekeluarga,” kenang Mien. Tak disangka, Sumitro tersinggung ditanyai seperti itu. ”Dia marah sekali,” kata perempuan 72 tahun yang daya ingatnya masih kuat dan jernih ini. Sumitro balik menuding kawannya telah kehilangan semangat revolusioner. ”Kita mesti bikin revolusi, kita mesti melawan Soekarno,” kata Sumitro seperti diingat Soebadio.

Setelah pertengkaran itu, Sumitro dan rekan-rekannya di Partai Sosialis Indonesia putus hubungan.

Ketika diwawancarai Tempo pada 1999, Sumitro punya penjelasan berbeda 180 derajat. Dia mengaku mendapat restu Sjahrir untuk memberontak. ”Dua hari sebelum ke Sumatera, saya berbicara dengan Sjahrir. Saya bilang, ’Bung, saya mau hijrah dan bergabung dengan daerah.’ Sjahrir mengatakan, ’Oke, Cum. Tapi kok daerah seperti tersingkir sendiri. Ada Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Usahakan semua itu agar bisa bersatu’,” kata Sumitro.

Saat itu, Sumitro terus terang mengaku sudah tak sejalan lagi dengan Partai Sosialis Indonesia. ”Saya tidak mungkin kembali. Setiap kali saya masuk kabinet, saya dibilang bukan wakil PSI. Kalau gagal, mereka bilang itu kesalahan saya. Kalau berhasil, mereka bilang, ’Dia (Sumitro) orang kita.’ Bagaimana itu?” kata Sumitro getir.

lll

PERJUANGAN PRRI/Permesta tak berumur panjang. Di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dan Jenderal Abdul Haris Nasution, Tentara Nasional Indonesia memukul balik pasukan pemberontak.

Mundurnya bala bantuan Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA)—yang balik kanan setelah salah satu pilotnya, Allan Pope, tertembak jatuh di Ambon pada Mei 1958—menjadi faktor penentu gagalnya PRRI/Permesta. Pasukan terakhir kaum gerilyawan ini turun gunung dan menyerah pada 1961.

Sumitro sendiri lari ke luar negeri. Bersama keluarganya, dia hidup sebagai buron selama sepuluh tahun. Demi keamanan, Sumitro tak mau tinggal di satu tempat lebih dari dua tahun. Dia berpindah-pindah dari Singapura, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, London, sampai Bangkok.

Masa pelarian itu, kata Sumitro, adalah periode paling pahit dalam hidupnya. ”Bahagiakah orang yang menjadi buron, dimaki-maki, berpindah-pindah negara, tanpa paspor, uang, dan kewarganegaraan, tanpa bisa memastikan apa yang akan terjadi setelah itu?” katanya dalam wawancara 10 tahun silam itu.

Rasa pahit tak hanya dirasakan keluarga Sumitro. Pada 21 Juli 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia dipanggil menghadap Presiden Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta. Sjahrir datang, didampingi pengurus pusat partai: Djohan Sjahruzah, Soebadio Sastrosatomo, T.A. Murad, dan Djoeir Moehamad. Mereka diminta menjelaskan posisi Partai Sosialis Indonesia terkait dengan pemberontakan PRRI/Permesta.

Sepekan kemudian, Sjahrir mengirim surat jawaban ke Istana. ”Sekalipun kami paham dan membenarkan perjuangan daerah, pembentukan pemerintahan pusat yang baru di samping pemerintahan yang ada kami anggap sebagai malapetaka,” tulis Sjahrir, seperti dikutip Djoeir Moehamad dalam buku memoarnya, ”Perpecahan bangsa pasti tidak membawa penyelesaian, bahkan sebaliknya.”

Namun jawaban Sjahrir tidak bisa mengubah pendirian Soekarno. Pada 17 Agustus 1960, Presiden membubarkan Partai Sosialis Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960. Dua tahun kemudian, Sjahrir dan sejumlah tokoh Partai Sosialis Indonesia lain ditangkap. Pada April 1966, Sjahrir meninggal sebagai tahanan politik.

lll

LIMA tahun setelah tragedi pembubaran Partai Sosialis Indonesia, pecah Gerakan 30 September 1965. Rezim berganti. Naik ke kursi presiden, salah satu tindakan politik pertama Soeharto adalah merangkul kembali musuh-musuh Soekarno. Para pentolan PRRI/Permesta tidak lagi dikucilkan. Tak terkecuali Bung Cum.

Soeharto bahkan secara khusus mengutus salah satu tangan kanannya, Ali Moertopo, menjemput Sumitro di Bangkok, Thailand, pada November 1966. Enam bulan kemudian, Sumitro pulang ke Indonesia, langsung diangkat menjadi Menteri Perdagangan pertama Orde Baru.

Meski Sumitro sudah kembali ke lingkaran elite kekuasaan, perseteruan lama dengan bekas kawannya sebarisan di Partai Sosialis Indonesia terus berlanjut. ”Dalam sejumlah pertemuan, meski sudah bertemu muka, Sumitro tak pernah menyapa saya,” kata Rosihan. Mien Soedarpo membenarkan. Katanya, ”Hubungan kami sudah patah arang.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus